Tinta Media - Perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Tidak perlu data, cukup dengan menilik naiknya berbagai kebutuhan pokok, terutama kenaikan BBM, sudah menerangkan bahwa ekonomi masyarakat Indonesia sedang sulit. Rakyat kecil sudah tercekik, tetapi masih ditakut-takuti bahwa ekonomi tahun depan, yaitu 2023, akan "gelap". Seolah yang sedang dijalani rakyat saat ini belum cukup gelap.
Baru-baru ini, peringatan dini terhadap potensi resesi ekonomi global tahun 2023 mulai digaungkan oleh berbagai institusi finansial global seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Krisis ekonomi yang sudah terjadi di beberapa negara saat ini menjadi indikasi nyata terhadap kemunculan resesi tersebut.
Resesi ekonomi merupakan kondisi di saat perekonomian suatu negara mengalami penurunan aktivitas secara signifikan dalam jangka waktu yang lama. Di antara tanda-tanda terjadinya resesi adalah penurunan produk domestik bruto (PDB), kenaikan angka pengangguran, dan menurunnya kepercayaan atau daya beli konsumen.
Tentu saja, yang paling merasakan dampak dari resesi ekonomi adalah rakyat kecil atau masyarakat ekonomi bawah. Hal paling lumrah yang akan mereka alami adalah kesulitan membeli berbagai kebutuhan disebabkan naiknya harga. Selain itu, rakyat harus siap berhadapan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pada saat resesi, akan banyak industri yang mengurangi produksi mereka, atau bisa berhenti sama sekali, sehingga PHK tidak bisa dihindarkan.
Bencana resesi semacam ini pernah dialami Indonesia sebelumnya, yaitu di tahun 1963 dan 1998. Yang paling segar diingatan adalah resesi ekonomi tahun 1998 yang memicu banyak kerusuhan di berbagai daerah. Rakyat melakukan penjarahan di pusat-pusat perbelanjaan sebagai bentuk protes dan keputusasaan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Demonstransi rakyat dan mahasiswa terjadi di mana-mana. Buntutnya, Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden yang telah ia duduki selama 32 tahun.
Resesi ekonomi juga dialami negara-negara lain di dunia, seperti Myanmar, Afganistan, Pakistan, Turki dan Mesir. Baru-baru ini, Inggris, sebagai salah satu negara maju tak luput dari hantaman resesi. Bahkan, dikabarkan banyak rakyat Inggris menjadi pekerja seks demi membayar tagihan listrik dan membeli BBM.
Fakta-fakta yang terpampang di hadapan kita ini, merupakan bukti bahwa sistem perekonomian yang berlaku saat ini rentan ambruk dan hancur. Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan oleh hampir seluruh negara di dunia, meniscayakan terjadinya resesi. Dengan kata lain, dalam sistem kapitalisme, resesi ekonomi tidak mungkin tidak terjadi. Dalam sistem ini, rakyat kecil pasti menjadi korban yang paling menderita.
Beberapa hal dalam sistem kapitalisme yang menjadikan sistem ekonomi rapuh adalah digantikannya emas sebagai cadangan mata uang dengan dolar. Utang-utang riba semakin menggelembungkan utang itu sendiri dan sering kali membuat pengusaha gulung tikar. Sistem yang digunakan di bursa dan pasar modal yaitu jual beli saham, obligasi, dan komoditi, tanpa adanya akad serah terima yang jelas, serta kebebasan dalam hak kepemilikan yang berpotensi terjadinya praktik monopoli. Menyadari hal ini, logis bila kita mencari sistem lain untuk diterapkan menggantikan sistem kapitalisme.
Sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis. Sistem Islam dibangun di atas landasan akidah yang kokoh, sehingga mampu terhindar dari berbagai krisis. Islam memastikan, bukan hanya sistemnya, tetapi juga para pelakunya adalah manusia-manusia amanah yang jauh dari keserakahan.
Dalam perspektif sistem Islam, segala sesuatu harus didasarkan pada keimanan dan rasa takut kepada Allah. Demikian juga dalam urusan ekonomi. Seorang muslim, sebagaimana perintah Allah Swt., tidak boleh berlaku individualis, bergaya hidup hedonis, khianat, atau curang. Dari satu aspek ini saja, sudah sangat besar pengaruhnya bagi kemajuan ekonomi negara. Secara praktis, negara terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang saat ini menjamur di Indonesia.
Negara dengan sistem ekonomi Islam juga memiliki tata kelola yang sempurna. Kontrol harga dan regulasi barang sangat diawasi. Negara juga sangat memperhatikan para laki-laki agar bisa mencari nafkah. Sesuai dengan perintah syariat Islam, bahwa seorang laki-laki, terutama yang telah menjadi kepala keluarga, wajib menafkahi keluarganya. Negara tidak akan membiarkan jika ada rakyatnya yang menjadi pengangguran. Ia akan diberikan lapangan pekerjaan atau lahan untuk digarap sebagai mata pencaharian. Negara mengutamakan rakyat sebagai tenaga kerja, tidak dengan mudahnya menerima tenaga kerja asing.
Keunggulan lain sistem ekonomi Islam adalah penggunaan mata uang berbasis dinar dan dirham. Dinar-dirham merupakan alat tukar yang adil bagi semua pihak, terukur, dan stabil. Dalam perjalanan sejarah penerapannya, dinar-dirham sudah terbukti sebagai mata uang yang nilainya stabil karena didukung oleh nilai intrinsiknya, tidak seperti mata uang kertas yang nilainya mudah dipermainkan. Selama ini, Amerika Serikat bisa dengan mudah memanipulasi ekonomi negara-negara berkembang menggunakan dolar.
Aspek penting lainnya, Islam mengatur tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan pribadi, umum, dan negara. Seluruh barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak dan masing-masing saling membutuhkan, dalam sistem ekonomi Islam, terkategori sebagai barang milik umum, seperti Sumber Daya Alam (SDA) berupa air, tanah atau tambang. Maka, SDA ini dilarang untuk dimiliki oleh swasta atau individu. Kepemilikan umum wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Bukan seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, semua kekayaan negara dikelola oleh asing. Praktis rakyat tidak mendapat apa-apa, hanya makin sengsara dan menderita.
Tidak ada cara lain bagi negeri ini jika ingin keluar dari keterpurukan, selain mengganti sistem sekuler kapitalis yang berlaku sekarang ini dengan sistem Islam. Kembalinya kekayaan negara ke tangan rakyat hanya mungkin terjadi di bawah naungan sistem Islam yang disebut Khilafah. Kriminalisasi ide khilafah yang gencar dilakukan saat ini, bisa diduga kuat bahwa di belakang mereka adalah para kapitalis dan negara-negara penjajah. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Oleh: Dinda Kusuma Wardani T.
Sahabat Tinta Media