Analis: Sistem Buatan Manusia Tak Bisa Selesaikan Masalah Korupsi - Tinta Media

Senin, 28 November 2022

Analis: Sistem Buatan Manusia Tak Bisa Selesaikan Masalah Korupsi

Tinta Media - Makin merebaknya kasus pidana korupsi dan sejenisnya yang menyeret para pejabat publik termasuk Wakil Bupati Lumajang baru-baru ini, menunjukkan bahwa selama ini sistem hukum buatan manusia tidak bisa menyelesaikan problem terkait karakter pejabat mental korupsi.

"Mental perilaku korupsi di kalangan para pejabat publik di dalam sistem saat ini tidak bisa diharap bakal selesai," tutur Analis Politik-Media dari Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Hanif Kristianto kepada Tintamedia.web.id, Sabtu (26/11/2022).

Pasalnya meski diperiksa sebagai saksi, kata Hanif lebih lanjut, para pejabat tersebut cenderung saling melindungi. Dan terkadang di dalamnya justru 'bermain' dengan memperjualbelikan hukum.

Untuk diketahui, keterlibatan Wakil Bupati Lumajang, Indah Amperawati terkait dugaan tindak pidana suap pengalokasian anggaran bantuan keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Jatim) dengan tersangka Budi Setiawan.

“Yang bersangkutan diperiksa untuk tersangka BS (Budi Setiawan, red),” ujar Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, Rabu (23/11/2022).

Tak hanya Wabup, ungkap Ali, penyidik KPK juga memanggil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Jember Hadi Mulyono, Mukhtar Matruhan (Wiraswasta), dan Didid Mardiyanto seorang PNS.

Untuk diketahui pula, tersangka Budi Setiawan merupakan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Jatim 2014-2016 dan Kepala Bappeda Jatim 2017-2018.

Sedangkan terkait pemeriksaan atas Indah, dikarenakan Wabup adalah mantan Kepala Bappeda Kabupaten Lumajang waktu itu.

“Saya dipangil KPK, lantaran tahun 2014 lalu pernah menjabat sebagai Kepala Bappeda Lumajang. Agenda tersebut berlangsung,” kata Wabup Lumajang Indah Amperawati via WhatsApp, Kamis (24/11/2022).

Dalam kasus itu, KPK mengungkap ada _fee_ sebesar 7 hingga 8 persen yang diberikan kepada tersangka Budi Setiawan selaku Kepala BPKAD Jatim 2014-2016 dan Kepala Bappeda Jatim 2017-2018. Sehingga total uang yang diterima tersangka Budi Setiawan mencapai Rp10 miliar.

Pun di tahun 2015, KPK juga mengungkap bahwa Kabupaten Tulungagung mendapatkan Bantuan Keuangan Provinsi Jatim sebesar Rp79,1 miliar dan tersangka BS memperoleh fee sebesar Rp3,5 miliar.

Kemudian, pada anggaran perubahan tahun 2017 Kabupaten Tulungagung mendapatkan alokasi Bantuan Keuangan sebesar Rp30,4 miliar dan tahun 2018 sebesar Rp29,2 miliar. Sehingga tersangka BS diduga menerima fee sebesar Rp6,75 miliar.

Oleh karena itu, Hanif menyebut gurita korupsi di pemerintahan negeri ini menjadi tanda bahwa model politik dan tata pemerintahan yang diterapkan saat ini tidak baik. 

Malah dengan tegas ia menyebutnya sebagai sistem rusak dan merusak. "Sistem ini bisa saja rusak dan merusak," tandasnya.

Sistem Islam

"Lain halnya sistem Islam," cetusnya, seraya menyebutkan bahwa para pejabat di dalam sistem pemerintahan Islam haruslah beriman dan bertakwa. 

Yang berarti pula, di setiap aktivitasnya senantiasa merasa sedang diawasi Allah SWT dan malaikat. "Jadi tak perlu zona integritas ataupun CCTV," senyumnya.

Lantas dengan menerapkan sistem Islam secara keseluruhan, maka secara tindak pidana korupsi dan semacamnya bisa dicegah. Sebutlah dengan mendudukkan pejabat yang amanah, berpegang teguh pada syariah kaffah, berikut diberikan gaji yang juga layak tentunya.

"Islam mencegah korupsi dengan cara memberikan gaji layak, pejabat amanah, kaffah, dan berpegang teguh syariah," tuturnya.

Lebih jauh, kalaupun masih terjadi tindak pidana dimaksud, sistem hukum pidana Islam sudah melengkapinya dengan takzir. Yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.

Sedangkan bentuk sanksinya, beber Hanif, mulai dari yang paling ringan seperti sekadar nasehat atau teguran dari hakim, bisa pula berupa penjara, pengenaan denda, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati.

"Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan," pungkasnya, mengutip keterangan dari Abdurrahman Al Maliki di dalam Kitab Nizhamul Uqubat, halaman 78-89. [] Zainul Krian
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :