Tinta Media - Direktur Pamong Institute Wahyudi Almaroky menyatakan ada tiga langkah mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang adil.
“Menurut saya minimal ada tiga langkah yang bisa diambil dalam mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang adil,” tuturnya dalam Program Kabar Petang: Solusi Atas Krisis Penegakan Hukum di Indonesia, Sabtu (1/10/2022) di kanal Youtube Khilafah News.
Menurutnya, ketiga langkah tersebut, yakni:
Pertama, membangun kesadaran masyarakat bahwa hukum saat ini memang perlu diperbaiki. “Bahkan harus diperbaiki secara total baik dari segi model pembuatannya maupun spiritnya, jangan ada spirit penjajahan lagi,” ujarnya.
Ia berharap agar jangan sampai kesan hukum itu hanya untuk menghukum dan menangkapi masyarakat. “Memenjarakan rakyatnya sendiri, sehingga masyarakat tersadarkan, jika masyarakat sadar, tentu dia akan bisa melakukan kritik dan koreksi kepada sistemnya maupun aparatnya,” ucapnya.
Kedua, mengoreksi sistem hukumnya, yang semula warisan Belanda lalu menggantinya dengan hukum yang diwariskan oleh warisan nenek moyang sebelum penjajah Belanda datang. Ia mengatakan hukum-hukum yang pernah ada di masa sebelum penjajah Belanda. Ia mengatakan bahwa bisa membuat sistem hukum yang jauh lebih baik.
“Kita sempat punya hukum-hukum itu (warisan nenek moyang), ada hukum Islam, ada hukum adat yang sudah disesuaikan dengan syariat Islam atau adat bersejarah yang sesuai syariat Islam, mungkin kalau kembali ke situ lebih nyaman lagi untuk kita,” katanya.
Ketiga, harus dilakukan dengan cara yang tepat dalam menyadarkan masyarakat. Yakni dengan lemah lembut, tanpa kekerasan sehingga terjadi perubahan pemahaman masyarakat dan aparat penegak hukum.
“Saya pikir kalau itu bisa dilakukan maka masyarakat dan aparat penegak hukumnya sendiri yang akan meminta hukum-hukum yang ada itu diperbaiki,” tuturnya.
Ia menegaskan fakta sekarang ini, hukum-hukum yang masih di produk tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. “Misalnya UU Omnibus Law itu sangat kental muatan untuk kepentingan oligarki bahkan rakyat pun berdemo, berbagai elemen rakyat, baik elemen ulama, mahasiswa, emak-emak, guru, semua demo, tidak didengar juga. UU Omnibus Law tetap disahkan bahkan diundangkan oleh pemerintah,” tegasnya.
Ia berpendapat, diberlakukannya hukum tersebut menunjukkan tidak sensitif dalam melakukan perbaikan hukum. Termasuk UU Minerba, justru banyak UU yang diproduksi memang pro kepada kepentingan oligarki kapitalisme maupun tidak pro kepada kepentingan rakyat.
“Saya pikir kalau hal itu bisa dilakukan (perbaikan hukum), maka kita akan mendapatkan hukum yang adil. Hukum yang adil adalah hukum yang berasal dari zat yang Maha Adil yaitu Allah Swt. Itulah cita-cita kita bersama, dirahmati oleh Allah Swt.,” tuturnya.
Penyebab Lemahnya Hukum
Wahyudi Al-Maroky mengatakan, adanya kasus Sambo dan kawan-kawan, ada hakim agung yang terkena OTT (operasi tangkap tangan) dan seterusnya, bisa dinyatakan bahwa harapan rakyat untuk bisa mendapatkan keadilan itu jauh panggang dari api, “Artinya jauh sekali dari harapan yang diharapkan,” ujarnya.
Merunut penyebabnya, ia mengungkapkan bahwa sistem hukum yang digunakan sekarang ini memang ada masalah. Sistem hukum yang digunakan ini adalah sisa-sisa atau warisan penjajah Belanda yang tertutup spirit pelaksanaan pembuatannya.
“Bukan untuk mengatur sebuah negara yang merdeka atau negara yang mandiri, hukum kita ini kan produk warisan penjajah Belanda tentu banyak yang tidak cocok, mungkin kalau mau harusnya mengambil hukum yang sebelum penjajahan Belanda datang,” ungkapnya.
Ia mengatakan bahwa produk hukum warisan penjajah Belanda memiliki spirit penjajahannya sangat kuat. “Ada spirit memenjarakan rakyat, cobalah di pasal-pasalnya itu kan spiritnya lebih banyak memenjarakan rakyat. Padahal semakin rakyat dipenjarakan, beban negara semakin besar,” katanya.
Ia menguraikan ada tiga persoalan dalam mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan, yakni pertama, sistem hukumnya sendiri bermasalah. “Karena memang ada spirit penjajahan,” ucapnya.
Kedua, aparat penegakkan hukum juga bermasalah karena tidak profesional dan tidak amanah. “Sehingga kita bisa menemukan semestinya dia yang menegakkan hukum tapi dia akhirnya terhukum, harusnya dia menegakkan keadilan, dia tidak adil artinya dia diadili, harusnya menegakkan hukum tidak korupsi, dia malah korupsi bahkan dia bisa tertangkal OTT, dan seterusnya,” urainya.
Ketiga, peran masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap penguasa. Baik yang membuat produk hukum maupun yang melaksanakan, itu harus dikontrol oleh rakyat, terus menerus memberikan nasehat, koreksi atau kritik. “Memang masalah kontrol ini muncul lagi, siapa yang mengkritik dipersoalkan lagi, akhirnya banyak rakyat yang tidak mengkritik. Akhirnya kita kehilangan daya kritis, ini juga masalah,” bebernya.
“Maka saya bilang, sistem hukum yang menghukum para pengkritik itu menunjukkan bahwa sistem kolonialisasi penjajahan di situ sehingga membuat orang tidak merdeka, ngomong saja tidak berani karena takut dikriminalisasi,” pungkasnya.[] Ageng Kartika