Siapa pun Terindikasi Lakukan Penodaan Agama Islam, Ahmad Sastra: Harusnya Polisi Segera Menangkap - Tinta Media

Selasa, 04 Oktober 2022

Siapa pun Terindikasi Lakukan Penodaan Agama Islam, Ahmad Sastra: Harusnya Polisi Segera Menangkap

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra menegaskan bahwa pihak kepolisian seharusnya segera melakukan penangkapan kepada siapa pun yang terindikasi melakukan penodaan agama Islam.

“Seharusnya pihak kepolisian segera melakukan penangkapan kepada siapa pun terindikasi melakukan penodaan agama Islam,” tegasnya kepada Tinta Media, Senin (3/10/2022)

Menurutnya jika tidak segera dilakukan maka selain dianggap diskriminasi, juga akan menimbulkan kegaduhan dan kemarahan umat Islam lebih luas.

“Sebab meski seharusnya tidak terprovokasi, namun umat Islam dididik untuk membela agamanya. Berbeda lagi ketika negeri ini menerapkan hukum Islam,” ujarnya.

Ia melanjutkan tentang esensi toleransi yang sedang digaungkan oleh negara ini. “Semestinya juga orang non muslim tidak ikut campur urusan agama lain, sebagaimana umat Islam yang tidak pernah ikut campur urusan agama lain,” lanjutnya.

Hal ini terkait dengan konten youtube seorang yang mengaku pendeta, konten tersebut berpotensi menista agama Islam. Ia membeberkan isi konten tersebut.

“Karena meminta kepada menteri agama untuk menghapus 300 ayat Al-Quran yang dituduh memuat paham terorisme. Dia juga menuduh bahwa pesantren adalah sarang radikalisme,” bebernya.

Padahal menurutnya narasi terorisme dan radikalisme adalah narasi transnasional dari Barat yang jelas tidak relevan jika dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Quran.

Potensi penistaan agama tersebut tidak hanya sampai di situ, ia mengatakan para pendakwah dan ustaz juga menjadi sasaran tuduhan sebagai kaum radikal bahkan teroris. Sebab pendakwah atau ustaz adalah orang yang justru menebarkan kebaikan dengan menyampaikan ajaran Islam secara kafah.

“Ini adalah tuduhan keji yang dilontarkan oleh para cecunguk asing aseng. Seorang ustaz bukanlah teroris, menuduh Al-Quran berpaham terorisme, pesantren sebagai sarang radikalisme, dan ustaz sebagai teroris adalah tindakan penistaan atas Islam,” katanya.

Ia menyatakan bahwa delik penodaan agama yang kerap disebut penistaan agama diatur dalam ketentuan Pasal 156 huruf a KUHP ini sesungguhnya bersumber dari Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965).

“Berbunyi, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia,” ucapnya.

Ia pun menguraikan anggapan dari Profesor Suteki tentang ucapan pendeta itu sebagai serius crime, yakni kejahatan serius, selain melanggar UU penodaan agama juga dinilai telah melanggar UU ITE.

“Prof. Suteki menekankan bahwa Indonesia itu selain sebagai negara hukum, juga sebagai negara religius, terutama berdasarkan sila 1 Pancasila,” urainya.

Oleh sebab itu, ia kembali menegaskan semestinya pendeta itu segera diproses hukum. “Namun faktanya negeri ini seringkali tak menegakkan hukum secara adil. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seringkali tidak terwujud, yang ada justru sering terjadi diskriminasi hukum,” tegasnya.

Ia menjelaskan sebagaimana firman Allah Swt. dalam Quran Surat Al-Baqarah ayat 1-5 yang memberikan pemahaman bahwa Al-Quran adalah firman Allah berfungsi sebagai petunjuk bagi orang-orang bertakwa.

“Ketakwaan adalah upaya menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan Allah. Hal ini sejalan dengan ayat-ayat lain dalam Al-Quran yang memang berisi terkait hukum-hukum perbuatan dengan kategori wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram,” jelasnya.

Ahmad Sastra menerangkan juga tentang makna ustaz dalam bahasa Indonesia sebagai pendidik yang diserap dari bahasa Arab dan bahasa Persia dari kata, pelafalan, dan makna yang sama yaitu guru atau pengajar.

“Ustaz juga adalah gelar kehormatan untuk pria yang digunakan di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Dan di Indonesia, digunakan untuk gelar pendidik agama Islam,” ujarnya.

Ia pun mengungkapkan bahwa penyebutan pesantren sebagai sarang radikalisme tanpa memberikan indikator berkaitan radikalisme justru berpotensi menimbulkan kegaduhan di kalangan muslim.

“Pesantren itu kan lembaga yang memiliki program utama pendidikan Islam, justru pesantren telah banyak memberikan sumbangsih bagi kemajuan negeri ini terkhusus dalam meletakkan dasar-dasar keimanan dan akhlak bagi generasi bangsa di tengah sistem pendidikan sekuler yang destruktif,” ungkapnya.

Berdasarkan tulisan Daniel Mohammad Rosyid tentang Pemetaan Pesantren, ia mengatakan upaya mencampuri urusan pengelolaan pesantren melalui UU No. 18/2019 tentang Pesantren dan Peraturan Presiden No. 82/2021 tentang Penyelenggaraan Pendanaan Pesantren, memetakan pesantren dalam perspektif radikalisme.

“Adalah sama dengan tindakan permusuhan penjajah atas pesantren di masa kolonial,” katanya.

Ia menuturkan dari gambaran ini, maka narasi radikalisme yang dikaitkan dengan pesantren adalah kontraproduktif atau bahkan paradoks.

“Narasi terorisme yang disematkan kepada sumber hukum Islam Al-Quran adalah tuduhan keji dari manusia-manusia sampah. Narasi teroris yang disematkan kepada seorang ustaz adalah narasi basi dari para cecunguk asing aseng,” tuturnya.

Ia mengakhirinya dengan menyatakan bahwa terorisme dan radikalisme lahir dan digaungkan oleh Amerika beberapa tahun belakang. Artinya korelasi antara narasi terorisme dengan strategi politik Amerika.

“Narasi terorisme berasal dari Barat maka indikatornya pun dibuat oleh mereka. Indikator terorisme ala Barat inilah yang menjadi faktor utama berbagai kegaduhan akhir-akhir ini,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :