Tinta Media - Menanggapi peristiwa Kanjuruhan, Sejarawan Nur Fajarudin menegaskan bahwa Jawa Timur memiliki heroisme tinggi dan kultur bola yang kuat.
“Jadi masyarakat Jawa Timur itu kan heroismenya tinggi dan saya kira Jawa Timur juga memiliki kultur bola yang kuat dan profesional,” tegasnya dalam Program Kajian Online Spesial JKDN Series: Islam, Malang dan Surabaya, Kamis (6/10/2022) di kanal Youtube Khilafah Reborn Channel.
Menurutnya Orang-orang Jawa Timur itu heroismenya tinggi, sejak zaman kerajaan pra Islam sampai di era Islam, lalu masa perjuangan.
“Kita tahu pertempuran Surabaya jadi tahu heroisme orang Jawa Timur itu cukup tinggi, mereka sangat menghormati simbol-simbol kepahlawanan dan inilah yang menarik,” tuturnya.
Fajar mengungkapkan heroisme Jawa Timur ini bisa diperoleh dari sejarah masa lalu bahwa Jawa Timur pernah menjadi pusatnya Majapahit.
“Atau karena Jawa Timur ini dianggap sebagai wilayah-wilayah maritimnya Jawa sehingga memiliki karakter masyarakatnya yang blak-blakan. Surabaya dan Malang itu kan blak-blakan,” ungkapnya.
Karakter blak-blakan, apa adanya masyarakat Jawa Timur disebutkan oleh Fajar menjadikan mereka menyukai simbol kepahlawanannya.
Termasuk dalam sepak bola, di era modern ini, masyarakatnya bukan hanya gemar saja tapi juga kritis. Ia mengatakan bahwa sepak bola Jawa Timur memiliki pembinaan bola yang cukup bagus walaupun secara skill biasa saja.
“Dan kultur sepak bolanya bisa dikatakan sangat positif. Hal ini disebabkan berkaitan dengan kultur masyarakatnya,” katanya.
Heroisme sepak bola masyarakat Jawa Timur menurut Fajar ter gambarkan ketika Final Divisi Utama Perserikatan tahun 1991 antara Persebaya Surabaya melawan Persib Bandung di Gelora Bung Karno (Senayan).
“Terasa heroismenya. Suporter Persebaya itu yang pertama berani keluar dari Surabaya untuk mendukung timnya, di saat suporter lain belum berani,” ujarnya.
Ia melanjutkan bahwa Persebaya saat itu sangat profesional. “Ada bus, saat itu rombongan, ada juga yang pakai kereta api, dengan koordinator dari Jawa Pos masih di bawah pimpinan Dahlan Iskan. Saat itu Persebaya termasuk yang paling besar,” lanjutnya.
Ia menunjukkan profesionalitas klub-klub di Jawa Timur memiliki sekolah sepak bola (SSB) yang berjalan hingga sekarang, liga internalnya berjalan juga.
“Dan pengelolaan suporternya yang cukup bagus, Aremania (suporter Arema) itu kan suporter di Indonesia yang lebih dulu menunjukkan fanatik dan juga rela berkorban,” ucapnya.
Ia membeberkan ketika liga atau klub-klub mulai diswastanisasi, ada pengaturan sedemikian rupa sehingga menjadi bersih dari makelar, calo, dan antrean yang panjang.
“Kita tahu Persebaya itu akhirnya menggunakan sistem ticketing, tiket terusan dan sebagainya,” bebernya.
Ini menunjukkan hal yang luar biasa, baginya Arema dan Persebaya merupakan klub Jawa Timur yang selangkah lebih maju dibandingkan klub-klub lain di Indonesia.
“Termasuk setelah pandemi, itu kan nribun-nribun. Saya masih ingat iklannya Persebaya itu juga menampilkan tribun yang ramah dan aman, sehingga bisa membawa anak-anaknya,” ujarnya.
Makanya ia menuturkan bahwa kultur bola Jawa Timur itu kuat, tidak semua kota punya kultur bola kuat, sekuat Malang dan Surabaya.
“Karena kebanggaan akan simbol kepahlawanan kemudian orangnya kritis, siapa pun yang memegang kekuasaan pasti diomong, apalagi ada media sosial seperti sekarang,” tuturnya.
Ia menambahkan sebagai orang Jawa Timur, mereka bangga dengan identitas ke Jawa Timuran. “Waktu Copa Final Arema lawan Persija, dugaan saya seluruh bahkan Bonek di Surabaya, pasti nonton TV, dukungnya ya Arema sebagai tim Jawa Timur,” tambahnya.
Peluang ingin damai itu sudah lama muncul, karena sepak bola ramah untuk masyarakat apalagi Jawa Timur itu merupakan wilayah santri.
“Kita tahu setelah lepas dari kesultanan Mataram itu, kan Jawa Timur secara arsip pemimpin masyarakatnya adalah Kyai, Ulama, jadi walaupun suporternya brutal, vandalisme, aneh-aneh nribun itu. Ada muncul Bonek hijrah, Nawa hijrah, saya kira itu patut diapresiasi,” ungkapnya.
Sebelum kejadian Kanjuruhan, ia melihat Persebaya Surabaya dan Arema Malang adalah tim paling profesional pengelolaannya. “Dua klub ini memiliki fans suporternya sangat kritis,” ucapnya.
Ia mengharapkan kejadian ini tidak seperti di luar negeri dengan kejadian serupa di mana menewaskan banyak suporter akibat pelemparan gas air mata yang brutal dan efeknya itu besar.
“Dua kejadian di luar negeri tersebut, kejadian pertama menghasilkan kericuhan suporter berujung perang saudara seperti yang terjadi di Yugoslavia tahun 1990 saat situasi politik memanas dengan meninggalnya Josip Broz Tito (Presiden Yugoslavia), terjadi pertandingan bola antara Crvena Zvezda – Dinamo Zagreb,” bebernya.
Lalu kejadian kedua, tahun 2011 di Alexandria, Mesir. Terjadi di Liga Mesir, disebutkan kondisi politik Mesir panas.
“Klub sepak bola Al Masry yang identik dengan rakyat mengalahkan Al-Ahly klub plat merah. Kejadian ini memicu revolusi Mesir,” tuturnya.
Dari kejadian di Kanjuruhan, Fajar mengharapkan tidak demikian (seperti di luar negeri). “Jangan sampai membuat masyarakat Jawa Timur yang hari ini sedang berduka, dicederai dengan opini untuk membalikkan kesalahan jadi ditujukan kepada Aremania,” harapnya.
Menkopulhukam juga menurutnya telah menyampaikan jangan sampai memicu gerakan sosial. Kejadian ini, tambah kesini akan memicu kemarahan orang-orang Jawa Timur jika terus ada upaya untuk membalikkan opini.
“Kita tidak tahu perlawanan orang Jawa Timur itu, tidak hanya di media sosial tapi perlawanan itu bisa terjadi imbasnya nasional,” ujarnya.
“Dan saya melihat itu sesuatu (membalik opini) yang gegabah lalu menganggap Jawa Timur itu seperti wilayah Indonesia yang lain. Karena kultur bola dan kultur masyarakat Jawa Timur itu sangat melekat,” pungkasnya. [] Ageng Kartika