Tinta Media - Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S. H., M.Hum. menilai ada tiga faktor yang menjadi penyebab terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.
“Abuse of power itu terjadi penyalahgunaan kekuasaan yakni dia justru lebih mengutamakan kepentingan dia dan juga kelompoknya atau kroninya dengan mengabaikan tugas yang seharusnya dipikul oleh seorang pemimpin. Jadi, itu bisa karena tiga hal,” tuturnya dalam segmen Rumah Kita : Fokus Special Rumah Kita Bersama Prof. Suteki, Ahad, 16 Oktober 2022 di kanal YouTube UIY Official.
Pertama, needs yaitu keinginan atau kebutuhan. “Bisa jadi seorang pemimpin merasa kurang, mungkin karena tidak bisa memenuhi kebutuhan yang menurut versi dia harus dipenuhi,” ungkapnya.
Kedua adalah greed. Ia menjelaskan, mungkin pemimpin tersebut sebenarnya sudah berkecukupan, tapi karena greed atau keserakahan maka terjadi abuse of power.
Ketiga, chance atau kesempatan. “Jadi, memang karena need, greed and chance ini yang bisa membuat orang itu kemudian menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi,” bebernya.
Meski demikian, menurutnya, faktor paling kuat adalah faktor greed and chance. Hal ini karena dari sisi materi, seharusnya seorang pemimpin sudah berkecukupan. “Akan tetapi karena dia greed dan ada chance, maka orang bisa menyalahgunakan kekuasaan dan hal ini pasti menimbulkan ketidakadilan,” katanya.
Cegah Abuse of Power
Sementara itu, untuk mencegah terjadinya abuse of power ada dua hal yang harus diperhatikan. Guru besar tersebut menyampaikan hal pertama pada tataran filosofis religius harus ada aspek bagaimana seorang pemimpin memiliki tanggung jawab yang bukan hanya di level keduniawian tetapi juga di level ukhrawi. “Jadi, ada visi akherat,” tegasnya.
Kedua, menurutnya, terkait sistem. Menurutnya, sistem ketatanegaraan Indonesia tetap harus ada hukum baik dari sisi legislatif yudikatif maupun eksekutif yang mendukung terciptanya bagaimana seorang pemimpin bisa melahirkan sebuah keadilan.
“Kalau sistemnya tidak mendukung, sistemnya bobrok, itu tidak mungkin bisa mewujudkan keadilan,” imbuhnya.
Ia pun menambahkan, yang sering terjadi adalah ada hukum tapi justru yang dicari celahnya. Meski demikian, celah-celah tersebut bisa ditambal di bagian akhir yaitu personal. “Person itu berarti karakter orang,” katanya.
Prof. Suteki sendiri mempertanyakan, saat ini banyak orang yang memiliki pengetahuan tapi tidak serta-merta membawa orang tersebut untuk berbuat sesuai dengan pengetahuannya, misalnya anti korupsi. Cukup mengherankan, banyak pemimpin Indonesia yang mengerti agama tapi tidak tembus pengetahuannya dalam praktik kehidupan, misalnya masalah jujur.
“Dia beragama Islam tapi tidak islami, karena tidak mencerminkan pribadi seorang muslim seperti apa. Jadi saya katakan tidak tembus,” katanya.
Namun, yang sering terjadi adalah hukum yang ada justru dibalik menjadi alat legitimasi untuk melakukan ketidakadilan. “Justru membuka ruang, membuka celah untuk mengambil kesempatan. Disitulah kenapa diperlukan hukum yang memang betul-betul adil. Hukum yang adil itu tergantung bagaimana cara membentuknya,” tambahnya.
Prof. Suteki kemudian menjelaskan, terkait membentuk hukum nasional di Indonesia, bahannya ada tiga yaitu hukum adat, hukum agama dan hukum moderen.
“Mana yang paling menentukan? Bisa jadi hukum modern. Hukum adat mungkin juga tidak dipakai, hukum agamanya lepas. Maka yang dipakai kadang hukum moderen pun disesuaikan dengan kepentingan politik, kepentingan jabatan, yang itu kemudian merusak,” urainya.
Adapun yang dimaksud hukum moderen adalah hukum yang berpusat pada negara-negara Eropa dan Amerika. “Kalau di Indonesia kan seharusnya hukum adat dan hukum agama menjadi dua sumber yang harus dipakai,” katanya.
Prof. Suteki kemudian mengungkapkan, bahwa Indonesia perlu restorasi kepemimpinan. Merestorasi kepemimpinan, dari ketiga sumber tadi mana yang harus menjadi pijakan apakah hukum adat, hukum agama atau hukum moderen.”Mau mana yang kira-kira pas,” ungkapnya.
Akan tetapi, menurutnya, dalam situasi sistem demokrasi saat ini akan sulit melakukan upaya restorasi. Karena menurutnya, yang berkuasa saat ini terkait penguasa dan pengusaha. Meski demikian, masih ada peluang untuk melakukan restorasi yaitu kembali pada Islam.
“Posisi Pancasila belum bisa mewujudkan keadilan sosial dan lainnya. Pancasila kan sumbernya atau berinduk pada almamater yaitu hukum Islam, ajaran Islam. Kalau anaknya tidak berhasil, kenapa tidak kembali pada induknya? Induknya siapa? Hukum Islam,” pungkasnya. [] Ikhty