Tinta Media - Narator MMC mengatakan, pola konsumsi dalam Islam terkait erat dengan keimanan. “Pola konsumsi tidak hanya sekedar masalah personal tapi adalah sebuah
budaya yang dihasilkan dari sebuah konsep kehidupan. Maka, konsumsi dalam Islam tidak pernah bisa dipisahkan dari peran keimanan,” ujarnya dalam sebuah tayangan bertajuk ‘Pola Konsumsi Islam Menjauhkan Manusia dari Akhlak Tercela’ di laman YouTube MMC, Rabu (12/10/2022).
Menurutnya, keimanan tersebut akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi, baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual. Untuk itu, konsumsi dalam Islam tidak serta merta dibebaskan menurut keinginan manusia. Islam memberi batasan konsumsi yang harus diperhatikan aspek halal haram dan tidak boleh berlebih-lebihan.
“Batasan ini yang menjadi salah satu cara agar manusia tidak terjerumus pada akhlak tercela dalam konsumsi. Sebab, pola konsumsi yang menyeleweng memiliki pengaruh buruk dalam ahlak,” paparnya.
Diantara buktinya, ungkap narator, ketika Khalifah Umar Bin Khattab pergi ke Syam, mereka mendatangkan kepadanya kuda tarik untuk dijadikan kendaraan beliau. Umar menaikinya. Kuda itu angkuh, lalu Umar memukulnya. Namun kuda itu semakin bertambah angkuh.
Maka beliau turun darinya dan berkata, “Tidaklah kamu membawaku melainkan kepada setan. Aku tidak turun darinya hingga aku mengingkari nafsuku. Berikanlah kepadaku kendaraanku,” Lalu Umar pun menaikinya.
“Perkataan Khalifah Umar, 'aku tidak turun darinya hingga aku mengingkari nafsuku' menunjukkan bahwa isyarat tentang pengaruh menaiki kuda tarik angkuh adalah tertanam sebagian akhlak yang buruk di dalamnya,” jelasnya.
Narator menyampaikan, contoh lain dari akhlak buruk dalam pola konsumsi adalah berlebihan hingga menimbulkan rasa ujub atau bangga diri ataupun riya’. “Seperti melampaui kesederhanaan dalam infaq dan menaikkannya dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain hingga sampai ujung riya’ dan berlebih-lebihan,” tuturnya.
Untuk menjauhi akhlak yang tercela ini, sambung narator, Khalifah Umar Bin Khattab mengatakan, “Ya Allah janganlah engkau memperbanyak kepadaku dari dunia ini yang menyebabkan aku lalai dan janganlah engkau mempersedikit kepadaku darinya yang menyebabkan aku lupa.”
Umar, tuturnya, menyebutkan alasan demikian, karena sesungguhnya sesuatu yang sedikit dan mencukupi itu lebih baik daripada yang banyak dan melalaikan.
Narator menyebutkan, “sikap wara’ Khalifah Umar Bin Khattab ini adalah cerminan keimanan dalam konsumsi. Sikap yang demikian harus dimiliki oleh pemimpin, karena pemimpin yang paham syariat akan menjadi contoh bagi pejabat di bawahnya dan rakyatnya pemimpin yang demikian itu juga akan membuat kebijakan konsumsi sesuai tuntunan syariat.”
Sayangnya, papar narator, pemimpin yang memiliki kapasitas seperti Khalifah Umar hanya bisa dihasilkan dari sistem Islam yakni sistem Khilafah. “Sebuah sistem yang menerapkan aturan-aturan Islam secara menyeluruh, termasuk juga dalam hal konsumsi. Sehingga pola konsumsi yang terbentuk jauh dari ahlak tercela,” pungkasnya.[] Wafi