Tinta Media - Menanggapi pemutusan hubungan kerja yang terjadi secara massal, Narator Muslimah Media Center (MMC) menyatakan bahwa ini sebuah kezaliman yang lahir dari sistem kapitalisme.
"Posisi buruh sangat lemah dalam kontrak kerja, mereka direkrut dan di PHK sesuai dengan kepentingan industri. Tentu ini sebuah kezaliman yang lahir dari sistem kapitalisme," tuturnya dalam Serba Serbi MMC: PHK Massal, Fenomena Tak Terhindarkan dalam Sistem Kapitalisme di kanal YouTube Muslimah Media Center, Ahad (9/10/2022).
Ia menjelaskan bahwa kapitalisme memandang pekerja sebagai salah satu bagian dari biaya produksi, sementara konsep produksi kapitalisme harus menekan biaya dan beban produksi hingga seminim mungkin. Alhasil PHK akan selalu menjadi solusi 'wajar' yang diambil oleh pengusaha demi menyelamatkan perusahaannya. Bahkan saat ini solusi tersebut lebih dimudahkan dengan adanya UU Omnibus law. Meski pada awalnya, UU ini diklaim akan menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan perlindungan terhadap Tenaga kerja.
"Nyatanya UU Omnibus law justru merugikan pekerja dan menguntungkan pemilik modal," jelasnya.
Ditambah lanjutnya, negara dalam Kapitalisme tidak memberikan jaminan sosial semisal sektor pendidikan atau kesehatan karena sektor tersebut legal untuk dikomersilkan, akibatnya siapapun yang ingin mendapatkan fasilitas tersebut harus menggantinya dengan sejumlah uang.
"Kapitalisme gagal menjamin dan melindungi hak-hak pekerja, karena asas kapitalisme bertumpu pada modal. Siapapun pihak yang memiliki modal, mereka bisa meraup keuntungan sebanyak-banyaknya sekalipun itu harus mengabaikan hak orang lain," bebernya.
Ia membandingkan dengan sistem Islam yang disebut khilafah yang memiliki berbagai mekanisme yang dapat menjamin pekerja hidup sejahtera. "Mekanisme ini pun sudah terbukti berhasil ketika diterapkan selama 1300 abad lamanya," terangnya.
Ia melanjutkan bahwa dalam Islam, perjanjian antara pengusaha dan pekerja sepenuhnya tergantung pada kontrak kerja atau _akad ijarah_ yang harus memenuhi _ridho wal ikhtiar_ sehingga perjanjian antara kedua belah pihak harus saling menguntungkan, tidak boleh ada yang terzalimi. " Pengusaha mendapatkan keuntungan dari jasa pekerja yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tertentu. Begitu pula pekerja, mereka mendapat keuntungan berupa imbalan yang diberikan pengusaha ketika melakukan pekerjaan tertentu yang telah disepakati dalam kontrak kerja," paparnya.
Adapun dalam penetapan upah atau imbalan tersebut, telah dijelaskan Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya _Nizdam Iqtishadi_ bahwa upah seorang _ajir_ atau pekerja adalah kompensasi dari jasa pekerjaan yang sesuai dengan nilai kegunaannya selama upah tersebut ditentukan diantara keduanya. Perkiraan jasa seorang pekerja untuk diberi upah ini harus dikembalikan kepada ahli yang memiliki keahlian menentukan upah, bukan negara atau bukan pula kebiasaan penduduk suatu negara. "Para ahli tersebut ketika menetapkan upah juga tidak memperkirakan berdasarkan produksi seorang pekerja dan tidak pula memperkirakan berdasarkan batas tarif hidup yang paling rendah dalam komunitas tertentu," ungkapnya.
"Upah juga tidak boleh dikaitkan dengan harga barang yang dihasilkan, sebab hal ini menyebabkan keluarnya pekerja jika barang dipasaran terjadi penurunan atau kemerosotan secara keseluruhan," imbuhnya.
Ia menilai konsep tersebut akan membawa keuntungan dari kedua belah pihak sekaligus mencegah kezaliman yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja atau sebaliknya. Adapun Kezaliman pengusaha kepada pekerja adalah tidak membayar upah pekerja dengan baik, memaksa pekerja bekerja di luar kontrak yang telah disepakati, melakukan pemutusan hubungan kerja secara semena-mena. Termasuk tidak memberikan hak-hak pekerja seperti hak untuk dapat menjalankan kewajiban ibadah, hak untuk istirahat jika sakit dan sebagainya. Sementara kezaliman pekerja kepada pengusaha adalah jika pekerja tidak menunaikan kewajiban yang menjadi hak pengusaha seperti bekerja sesuai jam kerja yang ditentukan, melakukan pengrusakan terhadap aset milik pengusaha dan lain sebagainya.
Dengan kontrak akad ijarah kezaliman tersebut bisa diminimalisir, namun jika masih terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka khilafah menyediakan wadah yang terdiri dari tenaga ahli atau _khubara_ yang diharapkan dapat menyelesaikan perselisihan diantara keduanya secara netral.
"Alhasil, jika khilafah ada ditengah-tengah umat, tidak perlu lagi ada persoalan PHK yang sewenang-wenang terhadap buruh dengan alasan efisiensi produksi atau yang lainnya," tandasnya.[] Ajira