Tinta Media - Menyoroti nestapa pekerja migran Indonesia yang ternyata dijual oleh agen yang ada di Kamboja, Ahli Geostrategi dari Institut Muslimah Negarawan (ImuNe) Dr. Fika Komara mengatakan, negara tidak berdaya menghadapi sindikat oligarki hitam.
“Negara kapitalis tidak berdaya menghadapi kekuatan sindikat oligarki hitam yang berada di balik jaringan terbesar perdagangan manusia ini,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (29/9/2022).
Fika menilai persoalan perdagangan manusia di Kamboja tidak terkait dengan besar kecilnya Kamboja sebagai sebuah negara apabila dibandingkan dengan Indonesia yang jauh lebih luas.
“Tetapi yang dihadapi di sini adalah dark spot capitalism yang bekerja dengan invisible hand. Ia adalah sebuah sindikat perdagangan manusia yang sudah menjadi industri dan jaringan besar di sana. Bahkan sejak lama Kamboja dikenal sebagai ‘pasar’ perdagangan manusia yang akan disalurkan ke Thailand dan Vietnam,” beber Fika.
Berkembangnya sindikat ini, kata Fika, justru dikarenakan ketidakstabilan politik, kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan di negara yang dikenal sebagai neraka dunia tersebut.
“Pemerintah Indonesia sendiri, belum bisa menjamin kesejahteraan warganya dengan lapangan kerja yang memadai. Tak ayal, mereka lebih memilih mencari peluang di luar dengan menjadi TKI/TKW, “ ujar Fika.
Lebih jauh, tambah Fika, lemahnya visi tersebut juga menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap rakyatnya sendiri.
“Dari sisi regulasi justru adanya tenaga kerja Indonesia (TKI) ini dipandang menguntungkan karena ada remitansi (aliran uang dari luar) devisa yang masuk ke dalam negeri,” kritik Fika.
Fika menilai, disfungsi peran negara dalam sistem Kapitalisme, telah membuat kegagalan besar dalam mencegah perdagangan manusia, melindungi kemanusiaan dan menjaga martabat manusia itu sendiri.
“Dalam kapitalisme, rakyat hanya menjadi pasar dan aset ekonomi, termasuk menjadi sumber dana remitansi dari pekerja migran untuk negaranya. Prinsip transaksional ini yang menjadi biang kegagalan negara Kapitalis dalam melindungi dan menyejahterakan rakyatnya,” bebernya.
Perlu Berhenti
Indonesia, Malaysia dan negeri-negeri Muslim lainnya, menurut Fika, perlu berhenti menjadi negara transaksional ala kapitalisme, yang melihat segala sesuatunya hanya dari besaran transaksi, melayani oligarki dan membiarkan rakyat dieksploitasi dan seolah dipandang hanya sebagai aset remitansi. “Cara pandang transaksional begini, dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme,” tukasnya.
Penerapan sistem kapitalisme, nilai Fika, juga yang membuat gurita oligarki korporasi asing maupun aseng leluasa menghisap kekayaan alam negeri, sehingga rakyatnya sendiri laksana ayam yang mati di lumbung padi.
“Mereka (rakyat) harus berjuang demi sesuap nasi, menjadi korban dari berbagai sindikasi, sementara pemerintahannya sibuk bekerja menggaet investasi asing untuk pembangunan negeri. Inilah penyebab utama kenapa negeri ini kehilangan harga diri dan marwah di luar negeri,” urai Fika.
Islam Melindungi Rakyat
Bertolak belakang dengan sistem Kapitalisme yang meminimalisir peran negara dan mengutamakan peran pasar, ucap Fika, Islam justru sebaliknya. “Peran negara sangatlah vital di dalam Islam. Tugas utamanya adalah melayani dan mengurusi kebutuhan rakyat, melindungi kaum lemah dan mencegah terjadinya kezaliman,” ungkapnya.
Prinsip mendasar ini, sambung Fika, akan meminimalkan problem perburuhan di dalam Khilafah. “Jika pun ada akan terpecahkan dengan cepat dengan penerapan aturan syariah Islam yang komprehensif,” yakinnya.
Begitupun, kata Fika, problem perburuhan migran yang mengorbankan jutaan kaum perempuan ini tidak akan ditoleransi oleh Khalifah, negara akan segera mencari jalan untuk memberantasnya sampai ke akar.
“Ini sesuai dengan sabda Nabi SAW
فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam adalah penggembala (ro’in), dan ia bertanggung jawab untuk orang-orang yang digembalakannya,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun