Narasi Mengancam, Buktikan Saja di Pengadilan - Tinta Media

Kamis, 27 Oktober 2022

Narasi Mengancam, Buktikan Saja di Pengadilan

Tinta Media - Semua orang harusnya menghormati keputusan hukum dalam pengadilan yang adil, bukan hasil rekayasa penguasa. Hukum harus ditegakkan untuk semua orang, termasuk mereka yang berlindung di balik kekuasaan. Penguasa harusnya memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyuarakan kebenaran, bukan menekan dan mengancam mereka yang berani menggugat di depan pengadilan. 

Merupakan kemunduran dalam persepektif hukum jika penguasa mengancam, bahkan menangkap rakyat yang berani menggugat kesalahan penguasa. Tidak usah panik atau tergesa-gesa menangkap siapa saja yang dianggap mengancam, karena bisa jadi kritikan dan masukan memang diperlukan untuk perbaikan. Bisa jadi, gugatan dari rakyat merupakan bentuk cinta pada pemimpinnya agar tidak tergelincir pada kesalahan yang membawanya pada kehancuran dan kehinaan.

Siapa yang paling memungkinkan berbuat zalim pada rakyat biasa? Lalu, untuk apa takut dengan gugatan rakyat, jika memang merasa benar?

Semua bisa dibuktikan di depan pengadilan yang bersih dari intervensi penguasa. Datang untuk menghadiri panggilan dan menunjukkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah, serta mendatangkan saksi yang meyakinkan adalah sikap terhormat dari seorang pemimpin, daripada mengumbar narasi-narasi mengecam dan mengancam di sosial media yang tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali.

Untuk apa sibuk membuat podcast yang membantah suara miring atau tuduhan kepadanya? Itu hanya membuat kegaduhan dan menghabiskan energi yang tidak berarti. Kalau memang merasa benar, untuk apa harus membayar buzzer guna mengintimidasi rakyat yang berani menyuarakan kebenaran? 

Sebagai pejabat publik, harusnya penguasa siap dikritik dan dituntut di pengadilan, jika memang dianggap salah. Pemimpin punya hak dan kewajiban yang sama dengan rakyat biasa di depan hukum. 

Kita teringat dengan keadilan hukum pada sistem Islam melalui kasus baju besi Khalifah Ali bin Abi Thalib. Beliau menemukan baju besinya di tangan seorang Yahudi yang menemukannya dan Ali lalu mengetahuinya.

Ali pun berkata, "Baju besiku jatuh dari untaku yang bernama Auraq (yang berwarna abu-abu)’. Si Yahudi berkata, ‘Ini baju besiku dan ada di tanganku’. Lalu si Yahudi berkata kepada Ali, ‘Kita bawa perkara ini kehadapan seorang hakim kaum muslimin!”

Meskipun seorang pemimpin nomor satu di suatu negara dan yakin bahwa tuduhannya benar, beliau tidak keberatan kasusnya dibawa  ke pengadilan. Beliau sangat menghargai keputusan hukum, meskipun lawannya adalah rakyat biasa. Beliau juga tidak marah atau memaksa hakim untuk memenangkan perkaranya, meskipun yakin bahwa baju besi itu miliknya. 

Tidak ada narasi mengancam di luar pengadilan pada siapa saja yang berani menyerang beliau. Khalifah Ali juga tidak marah saat hakim memutuskan untuk memenangkan rakyat biasa dengan menyatakan bahwa baju besi itu milik seorang Yahudi. 

Pemimpin besar sangat menghormati keputusan hukum, bukan membuat narasi mengancam agar rakyat bungkam dan tidak berani menyampaikan aspirasinya.

Sungguh, seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi dan harus menghormati keputusan pengadilan. Meskipun punya kekuasaan luar biasa dan bisa mengintervensi keputusan hukum, pemimpin yang adil tidak boleh semena-mena menggunakan kekuasaannya agar bisa memenangkan perkaranya. 

Pengadilan harusnya juga terbuka sehingga rakyat bisa secara langsung menilai jalannya peradilan, apakah adil atau hanya skenario dan direkayasa untuk memenangkan penguasa. 

Kegaduhan di sosial media harus segera dihentikan. Narasi mengancam tidak boleh ada untuk membungkam siapa saja yang ingin menyuarakan aspirasinya yang dianggap benar.

Namun, begitulah kebanyakan pemimpin dalam sistem demokrasi. Mereka tidak mampu bersikap adil dengan kekuasaannya. Demokrasi hanya menciptakan pemimpin culas, pembohong, bermuka manis, tetapi menyimpan kebusukan.  mudah mengobral janji untuk mendapatkan simpati dan dukungan rakyat yang ujung-ujungnya untuk kekuasaan. 

Bahkan, seorang yang alim dan saleh akan kehilangan idealismenya saat berpolitik dalam sistem demokrasi karena kekuasaan menjadi tujuannya.   Tujuannya bukan untuk mengurusi rakyat, tetapi menggapai dan mempertahankan kekuasaan agar tetap dalam genggaman. 
Dalam sistem demokrasi, pemimpin bisa membuat hukum dan memainkan sesuai dengan kepentingan.  

Pemimpin yang baik harus bisa menjadi teladan dengan memberikan rasa aman, bukan narasi mengancam yang disebar melalui buzzer bayaran. Ingatlah, rakyat yang membayar dan jangan gunakan uang untuk memusuhi rakyat sendiri. 

Saatnya kita mengganti sistem kapitalisme demokrasi dengan Islam. Seorang pemimpin harus bersikap peduli agar rakyat merasa aman dan sejahtera. Sumber daya alam yang penting untuk memenuhi hajat hidup orang banyak tidak boleh dikuasai swasta. 

Negara tidak memberi jalan oligarki untuk menguasai negeri ini ketika Islam diterapkan secara kaffah. Keadilan hukum bisa dirasakan semua orang, baik rakyat biasa maupun penguasa. 

Pemimpin tidak memusuhi rakyat dengan menebar narasi mengancam dan menangkap siapa saja yang dianggap ancaman, tanpa proses pengadilan. Yang paling penting, akyat cinta pada pemimpin yang peduli dan mengurusi kepentingan mereka.

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :