Tinta Media - Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Erwin Permana mengkritik sikap mayoritas negeri Islam yang memilih tidak mau mendukung mosi bela Uighur.
“Sungguh keterlaluan, mayoritas negeri muslim di dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB mati kutu, membela Uighur sebagai sesama muslim milih tidak mau,” kritiknya dalam Live Program Aspirasi Rakyat: RI Tolak Debat Isu Muslim Uighur, Takut Cina Baper? Jumat (16/10/2022) di kanal Youtube Justice Monitor.
Menurutnya, mosi ditolak ini disebabkan sikap para penguasa muslim yang dinilai sebagian pihak tidak peduli terhadap kondisi kaum muslim Uighur yang ditindas oleh rezim komunis Cina.
“Alih-alih bersikap tegas, penguasa muslim malah menjalin hubungan erat dengan Cina, dengan alasan kepentingan ekonomi,” ujarnya.
Sikap ini bukan saja terjadi pada Indonesia tapi juga negara-negara Arab termasuk Pakistan dengan alasan itu urusan dalam negeri Cina.
“Padahal dalam perspektif Islam tidak boleh mengatakan ini urusan dalam negeri Cina karena setiap urusan kaum muslim menjadi urusan kaum muslim lainnya di mana pun mereka berada,” ucapnya.
Terbukti dalam pemungutan suara di dewan HAM PBB yang beranggotakan 47 negara, sebanyak 17 negara mendukung draf mosi untuk membahas dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang. Sementara itu 19 negara menentang mosi. Alhasil mosi tersebut gagal disepakati.
“Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Jepang dan Belanda mendukung mosi ini, dan yang menentang selain Cina, ada 9 negara berpenduduk mayoritas muslim ikut menolak, yakni Indonesia, Pakistan, Qatar, Uni Emirat Arab, Uzbekistan, Kazakhstan, Mauritania, Sudan, dan Senegal. Hanya Somalia negeri muslim yang mendukung pembahasan isu Uighur,” tuturnya.
Erwin mengungkap keengganan mayoritas negeri muslim dalam membela Uighur karena ikatan akidah Islam di antara negeri-negeri muslim telah tumpul dan berkarat.
“Nyata ikatan akidah Islam mereka telah tumpul dan berkarat. Sikap itu sangat memalukan dan menegaskan betapa kejinya sekat negara-negara akibat nasionalisme akut lagi sesat,” ungkapnya.
Negara-negara muslim itu tidak peduli dengan nasib muslim Uighur kendati saudara seakidah. “Hanya karena wilayah Uighur saat ini masuk dalam kekuasaan Cina, padahal Cina adalah negara imperialis,” ujarnya.
Ia melanjutkan bahwa negeri-negeri muslim itu tampak lebih memilih cari aman daripada harus melawan Cina meskipun harus membiarkan muslim Uighur terus dihancurkan oleh Cina.
Kondisi ini menurutnya dimanfaatkan oleh negara-negara Barat untuk mengambil panggung, tampil menonjol di hadapan dunia sebagai pahlawan kesiangan.
“Negara-negara Barat hadir sebagai pahlawan kesiangan pembela HAM bagi Uighur atas pelanggaran yang China lakukan di Xinjiang,” tuturnya.
Baginya dalam mekanisme kerja sama politik Barat tidak ada makan siang gratis. Pembelaan mereka pastinya ada udang dibalik batu.
“Selain sebagai serangan politik Barat terhadap Cina juga untuk memojokkan Cina. Tidaklah kita ragukan tampilnya Barat sebagai juru penyelamat Uighur justru memosisikan Uighur lepas dari mulut buaya masuk ke mulut harimau,” bebernya.
Rangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa besarnya jumlah kaum muslim itu telah bercerai-berai dalam sekat nasionalisme hasil imperialisasi dan kolonialisasi Barat.
“Tidak heran kaum muslim begitu mudah dihina kaum durjana, yang mengingkari Allah dan rasul-Nya beserta segala aturannya,” ucapnya.
“Bukti lainnya Indonesia dan OKI tidak bernyali mengungkap pelanggaran HAM Cina terhadap Uighur hanya karena Cina tidak menghendaki adanya intervensi urusan domestik negeri,” kritiknya.
Ia menegaskan kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Uighur membutuhkan bantuan dari sebuah institusi yang setara dengan politik Cina dan pengaruh Barat.
“Bagaimanapun Uighur membutuhkan suatu institusi yang setara untuk menembus politik Cina sekaligus memblokade pengaruh Barat sehingga identitas Uighur terjaga sebagai entitas muslim,” tegasnya.
Erwin mengakhirinya dengan mengatakan nasionalisme telah mengamputasi peran tersebut.
“Sayangnya sekularisme yang menjadi wasilahnya nasionalisme telah mengamputasi peran itu, akibatnya negeri-negeri muslim begitu egois, hanya memikirkan kemaslahatan bangsa dan negerinya sendiri, kepentingan kaum muslim negeri lain tidak dianggap sebagai urusannya juga. Sungguh terlalu,” pungkasnya. [] Ageng Kartika