Tinta Media - Guna memonitoring perkembangan pendidikan sekolah di era digital di Jawa Barat, saat ini Gubernur Ridwan Kamil akan memastikan setiap sekolah SMA, SMK, dan SLB menerapkan kurikulum toleransi dan antiradikalisme. Menurutnya, kurikulum ini mempersiapkan ketahanan ideologi dengan menanamkan nilai-nilai wawasan kebangsaan. Harapannya akan menjadikan generasi muda jauh dari pertengkaran, tercipta kedamaian, serta memiliki sikap toleran.
Bahkan, pria yang akrab disapa Kang Emil ini menggelar acara bertema "Moderasi Beragama dan Berbangsa yang Menyenangkan" di daerah Arcamanik, Bandung tanggal 4 Agustus 2022 lalu. Acara tersebut merupakan pembekalan kepada ribuan siswa yang merupakan perwakilan dari tiap SMA, SMK, dan SLB se-Bandung Raya.
Pada acara yang dikemas dengan mengombinasikan tausiah dan humor milenial ala Gus Miftah ini diharapkan akan menjadi perpanjangan tangan agar para siswa yang ikut serta bisa meneruskan materi kebangsaan tersebut kepada lingkungan terdekatnya. Hal inilah yang akan menjadi investasi untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air, sehingga akan menciptakan kedamaian dan menghargai perbedaan seperti apa yang dicita-citakan.
Lalu, benarkah kurikulum toleransi dan antiradikalisme merupakan solusi dari berbagai masalah yang dialami pelajar saat ini? Benarkah pengaplikasiannya dapat menghindarkan generasi muda dari kerusakan moral, karena yang kita tahu masalah generasi muda kita tak hanya berkutat pada perbedaan yang dapat menimbulkan pertengkaran ataupun perilaku radikal?
Radikalisme dan intoleran selalu dianggap masalah terbesar di negeri ini. Padahal, persoalan besar bangsa yang nyata terasa adalah dampak kenaikan BBM hingga kelangkaannya, pengangguran yang terus meningkat, korupsi yang dilakukan para pemimpin dan pejabat publik semakin menggurita, adanya tebang pilih hukum antara yang kaya dan miskin, kejahatan meningkat setiap harinya disertai kerusakan moral manusia, dll. Terlebih, para pemimpin negeri ini abai dan zalim kepada rakyatnya sendiri.
Masalah perbedaan tidak pernah menimbulkan kerugian apa pun pada negeri ini, karena setiap rakyat memahami bahwa hidup di negeri yang majemuk adalah hal lumrah. Apalagi sebagai negeri dengan mayoritas muslim, masyarakat menganggap perbedaan merupakan anugerah dari Sang Pencipta, Allah Swt. Jadi, mengapa intoleran dan radikalisme selalu menjadi kambing hitam atas permasalahan negeri?
Menganggap problem pemuda karena terpapar paham radikalisme adalah tuduhan tanpa dasar. Masalah pemuda bukan hanya aksi kekerasan, perundungan, ataupun tawuran yang disebabkan sikap intoleran. Bukankah pergaulan dan seks bebas, penyimpangan seksual, miras, dan narkoba merupakan masalah serius yang juga dibutuhkan penanggulannya? Jelas hal itu tidak berhubungan dengan toleransi maupun radikalisme.
Seperti kita tahu, radikalisme dan intoleran selalu disematkan kepada umat Islam yang ingin menerapkan ajarannya secara kaffah. Berbagai cara dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menjauhkan kaum muslimin dari menerapkan Syariat Islam. Bahkan, kafir Barat melalui para agennya di negeri ini, dengan massif melakukan berbagai upaya agar umat Islam menyimpang dari ajaran Islam yang lurus. Generasi muda yang merupakan tonggak peradaban menjadi sasaran untuk terus melanggengkan tujuan mereka.
Moderasi agama semakin digaungkan, bahkan diselipkan melalui kurikulum pendidikan. Tentu saja atas dukungan para pemimpin negeri yang menjadi boneka mereka.
Padahal, dengan menjauhkan agama Islam melalui penerapan kurikulum, serta mengajarkan moderasi agama, menunjukkan bahwa negeri kita semakin sekuler.
Bukankah tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, dan berilmu? Ini artinya, tujuan pendidikan adalah untuk mengubah perilaku manusia. Maka, dengan menanamkan nilai sekuler pada kurikulum, akan melahirkan sosok generasi liberal yang tidak ingin terikat dengan aturan Allah.
Sekulerismelah yang menjadikan generasi muda saat ini rusak dan tak tahu tujuan hidup. Akhirnya, mereka akan mencari jati diri tanpa arahan yang jelas, melakukan berbagai penyimpangan pun tak menjadi masalah, asalkan mereka mendapatkan kepuasan. Inilah sebenarnya biang kerusakan generasi penerus kita, yakni penerapan sistem sekuler liberalisme dengan mengusung demokrasi.
Sehingga, setiap individu manusia bebas bertingkah laku, tanpa mempedulikan halal ataupun haram. Sistem ini lahir dari kesepakatan manusia, pemilik kepentingan. Padahal, manusia hakikatnya memiliki berbagai kelemahan.
Ini bertolak belakang dengan sistem Islam yang lahir dari Allah, pemilik alam semesta. Sistem Islam memiliki segala aturan untuk menyelesaikan segala urusan manusia dengan tuntas.
Salah satunya, Islam mengharuskan umat melahirkan generasi yang berakhlak bersih dan memiliki keimanan yang kuat dengan selalu taat dan patuh kepada perintah Allah. Penerapan kurikulum yang sesuai dengan akidah Islam, akan menjadikan generasi muda selalu terikat dengan hukum syara' serta memiliki adab dan perilaku sopan. Generasi muda akan memiliki cara berpikir intelek dengan keilmuan yang mempuni. Mereka akan mampu melawan hawa nafsu dan tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat, apalagi melakukan tindakan zalim yang merugikan diri atau orang lain.
Jika ingin mengubah output pendidikan dan generasi, maka bukan hanya dengan menerapkan atau mengubah kurikulumnya saja. Namun, harus dengan mengubah sistem hidup, yaitu dengan ideologi Islam yang shahih.
Wallahu'alam bishawab.
Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom
Sahabat Tinta Media