Tinta Media - Paradigma dalam disiplin intelektual memiliki arti cara pandang (worldview) orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.
Paradigma atau worldview biasanya digunakan kaum intelektual untuk membaca pandangan alam yang lain. Misalnya seorang muslim, dengan paradigma Islam dipakai untuk melakukan pembacaan atas isme-isme yang bertentanganan dengan Islam. Sebagai contoh adalah ketika paradigma Islam digunakan untuk membaca paham sekulerisme, liberalisme dan pluralisme agama, maka ketiganya adalah paham sesat dan haram hukumnya.
Misalnya saat MUI menggunakan paradigma QS. Ali Imran [3]: 85 dan QS. Ali Imran [3]: 19) dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/Munas VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dalam Musyawarah Nasional MUI VII, Pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa ketiga paham di atas haram hukumnya.
Kritik paradigmatik dalam tulisan ini maknanya paradigma Islam dijadikan sebagai timbangan pembacaan atas sebuah cara pandang atas realitas dengan paham tertentu. Dalam hal ini paradigma Islam akan dijadikan sebagai alat baca atas Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2022 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Peraturan menteri agama ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 2022 dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2022 oleh Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2022 dimulai dari 3 aspek timbangan, pada point (a) tertulis bahwa kekerasan seksual merupakan perbuatan yang bertentangan dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Dari point timbangan ini saja sudah bisa dianalisa bahwa yang dijadikan timbangan peraturan menteri ini adalah nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), bukan nilai-nilai dari agama.
Setidaknya dalam peraturan di atas, nilai agama tidak dijadikan sebagai salah satu timbangan dalam menyusun aturan, apalagi sepenuhnya dipakai. Pemisahan antara nilai agama dan kepengurusan kehidupan berbangsa dan bernegara menunjukkan bahwa negeri ini berpaham sekulerisme. Ini kritik paradigmatik yang pertama. Sementara sekulerisme telah dinyatakan haram oleh fatwa MUI tahun 2005.
Tepat jika saeculum disinonimkan dengan kata wordly dalam bahasa inggrisnya. Sekulerisme secara harfiah adalah faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini (keduniaan an sich). Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematian yang notabene adalah inti dari ajaran agama. Padahal jika mau berpikir lebih dalam dan serius, berbagai pelanggaran moral seperti perzinahan, pelacuran dan kekerasan seksual itu justru diakibatkan oleh penerapan sekulerisme ini. Mestinya peraturan menteri agama ini didasarkan oleh nilai etika dan hukum agama, terkhusus Islam. Sebab hukum Islam telah jelas memberikan petunjuk dan hukum atas berbagai perilaku menyimpang manusia. Hukum Islam juga dengan jelas dan tegas telah memberikan hukuman dan solusi secara tuntas.
Pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 point (5) tertulis bahwa yang dimaksud kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa atau tidak secara paksa, atau bertentangan dengan kehendak seseorang atau dengan kehendak karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang menyebabkan seseorang mengalami penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Penting dicatat bahwa kekerasan seksual yang tertulis di atas tentu saja dimulai dari adanya interaksi antara pelaku dan korban, begitulah setidaknya yang sering terjadi di tengah masyarakat. Artinya semestinya peraturan menteri agama ini juga menyentuh penyebab utama terjadi kekerasan seksual, yakni adanya kebebasan interaksi antar lawan jenis. Sering terjadi pembunuhan dan kekerasan seksual justru dilakukan oleh pacarnya sendiri. Hal ini menandaskan bahwa semestinya ditulis juga tentang larangan pergaulan bebas yang justru dari situlah awal mula pelanggaran moral ini terjadi.
Kedua, sebagai kementarian agama yang fokus kepada satuan pendidikan di bawah kementerian agama memberikan larangan soal kebebasan seksual yang dilakukan suka sama suka yang tentu saja tidak ada indikator kekerasan seksual. Jika hanya fokus kepada tindak kekerasan seksual, maka secara tidak langsung peraturan menteri agama ini tidak memandang penting kebebasan seksual atau perzinahan atas dasar suka sama suka. Maraknya kebebasan seksual di kalangan pelajar hingga berakhir aborsi atau pembunuhan akibat sekulerisme mestinya menjadi perhatian utama pemerintah, khususnya kementerian agama dan pendidikan. Sebab kekesaran seksual hanyalah akibat, bukan sebab.
Padahal antara kasus perzinahan atas dasar suka sama suka lebih banyak kasusnya dibandingkan dengan kekerasan seksual. Hampir setiap hari kita bisa melihat siswa dan siswi berpacaran dan boncengan motor, padahal inilah awal terjadinya perzinahan dan tentu saja menjadi indikator kerusakan karakter anak bangsa. Bukankah dalam visi misi pendidikan nasional tercantum klausul beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia ?.
Islam sendiri sangat tegas dalam memberikan hukuman bagi perilaku perzinahan bahkan dimulai dari larangan mendekati perzinahan. Allah berfirman : Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32).
Tafsir Kementerian Agama menjelaskan, dalam ayat ini, Allah SWT melarang para hamba-Nya mendekati perbuatan zina. Maksudnya adalah melakukan perbuatan yang membawa pada perzinaan, seperti pergaulan bebas tanpa kontrol antara laki-laki dan perempuan, membaca bacaan yang merangsang, menonton tayangan sinetron dan film yang mengumbar sensualitas perempuan, dan merebaknya pornografi dan pornoaksi. Semua itu benar-benar merupakan situasi yang kondusif bagi terjadinya perzinaan. Catatan, mungkin yang paling banyak mengakses pornografi dan pornoaksi adalah di kalangan pelajar.
Selanjutnya Allah SWT memberikan alasan mengapa zina dilarang. Alasan yang disebut di akhir ayat ini adalah karena zina benar-benar perbuatan yang keji yang mengakibatkan banyak kerusakan, di antaranya sebagai berikut : Pertama, merusak garis keturunan, yang mengakibatkan seseorang akan menjadi ragu terhadap nasab anaknya, apakah anak yang lahir itu keturunannya atau hasil perzinaan.
Kedua, menimbulkan kegoncangan dan kegelisahan dalam masyarakat, karena tidak terpeliharanya kehormatan. Betapa banyaknya pembunuhan yang terjadi dalam masyarakat yang disebabkan karena anggota masyarakat itu melakukan zina.
Ketiga, merusak ketenangan hidup berumah tangga. Nama baik seorang perempuan atau laki-laki yang telah berbuat zina akan ternoda di tengah-tengah masyarakat. Ketenangan hidup berumah tangga tidak akan pernah terwujud, dan hubungan kasih sayang antara suami istri menjadi rusak.
Keempat, menghancurkan rumah tangga. Istri bukanlah semata-mata sebagai pemuas hawa nafsu, akan tetapi sebagai teman hidup dalam berumah tangga dan membina kesejahteraan rumah tangga. Kelima, merebaknya perzinaan di masyarakat menyebabkan berkembangnya berbagai penyakit kelamin seperti sifilis (raja singa).
Dalam hukum Islam, di dunia, pelaku zina layak mendapat hukuman berupa hukum cambuk 100 kali (bagi yang belum pernah menikah) (QS an-Nur: 2) dan diasingkan selama setahun (HR al-Bukhari). Adapun pezina yang sudah menikah atau belum pernah menikah tetapi sering berzina dikenai hukum rajam (dilempari dengan batu) sampai mati. Ketegasan hukum Islam ini tentu saja agar manusia tidak melakukan perbuatan zina.
Pada point (8) tertulis bahwa pencegahan adalah segala tindakan atau usaha yang dilakukan untuk menghilangkan berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya Kekerasan Seksual dan keberulangan Kekerasan Seksual. Tentu saja rumusan pencegahan ini tidak tepat, mestinya yang dimaksud pencegahan adalah segala usaha dilakukan untuk menghilangkan berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya kebebasan seksual yang pada akhirnya bisa menyebabkan terjadinya kekerasan seksual. Pencegahan harus dimulai dari akar masalahnya terlebih dahulu, bukan pada akibatnya. Selama akar persoalannya tidak dicegah, maka kekerasan seksual akan terus terjadi.
Pada point (9) tertulis bahwa penanganan adalah tindakan yang dilakukan untuk memberikan layanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial. Namun, seringkali penanganan kasus-kasus tindak kekerasan seksual tidak memberikan pelakunya jera. Faktanya, perilaku perzinahan dan kekerasan seksual semakin marak di tengah masyarakat.
Di pasal 2 point (c) tertulis bahwa tujuan pencegahan dan penanganan mewujudkan lingkungan di Satuan Pendidikan tanpa Kekerasan Seksual. Mestinya tujuannya adalah untuk mewujudkan lingkungan satuan pendidikan yang terbebas dari kebebesan pergaulan dan kebebasan seks. Dengan pembinaan agama dan akhlak siswa, maka jangankan kekerasan seksual, budaya pacaranpun tidak akan terjadi di sekolah-sekolah berbasis agama.
Bagian Kelima Penindakan Pasal 13 point (1) Pimpinan Satuan Pendidikan melakukan penindakan terhadap terlapor Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Peserta Didik yang berusia lebih dari 18 (delapan belas) tahun. Pasal ini juga sangat bermasalah, sebab perilaku kekerasan seksual sekarang ini bisa dilakukan oleh berbagai usia siswa, yang nota bene kurang dari 18 tahun. Apakah ini berarti jika yang melakukan kekerasan seksual adalah siswa berusia 17 tahun tidak dilakukan tindakan kepada pelaku ?.
Pada pasal 19 tertulis di point (1) bahwa Satuan Pendidikan yang tidak melakukan upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dapat dikenakan sanksi administratif berupa : a. teguran lisan; b. peringatan tertulis; c. penghentian bantuan; d. pembekuan izin penyelenggaraan Satuan Pendidikan; e. penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan pendidikan; f. pencabutan izin penyelenggaraan Satuan Pendidikan; atau g. pencabutan tanda daftar Satuan Pendidikan.
Pasal ini mestinya lebih komprehensif lagi, yakni pentingnya satuan pendidikan memberikan pembinaan iman, taqwa dan akhlak kepada para siswanya, serta melakukan berbagai bentuk pembinaan masalah bahaya pergaulan bebas. Pencabutan izin dan tanda daftar satuan pendidikan bagi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual adalah terlalu berlebihan. Logikanya, jika masih menerapkan sekulerisme yang akan menyebabkan terjadinya kebebasan dan kekerasan seksual, maka akan banyak sekolah yang dicabut izinnya.
Akhirnya, ibarat sumber mata air, jika keruh dari asalnya, maka air yang mengalir jauhpun akan keruh, meski telah dibersihkan sekalipun, jika sumber mata airnya kotor, maka seterusnya aliran air itu akan tetap kotor. Begitupun, sekulerisme yang menyimpang dan mengajarkan logical fallacy karena menyelisihi nilai-nilai kebaikan agama, pun akan melahirkan berbagai peraturan dan perundang-undangan yang tidak menyelesaikan masalah.
Logikanya, bagaimana mungkin aturan akan menjadi solusi, jika akar masalahnya justru dijadikan pertimbangan dalam menyusun peraturan tersebut. Secara paradigmatik, karena peraturan ini masih bersifat sekuleristik, maka tidak akan efektif menjadi solusi bagi maraknya kebebasan seks dan kekerasan seksual di kalangan pelajar di satuan pendidikan keagamaan. Ini adalah masukan, silahkan diterima, silahkan juga ditolak.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,16/10/22 : 11.50 WIB)
Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad