Tinta Media - Sangat disayangkan jika pemerintah membatalkan suatu kebijakan setelah terjadi gelombang protes masyarakat. Seharusnya, pemerintah memiliki rasa kepekaan tinggi hingga tak membuat rencana kebijakan yang menyusahkan rakyat hingga memicu reaksi protes, seperti halnya program konversi kompor gas 3 kg ke kompor listrik. Program tersebut belum disetujui DPR, tetapi sudah menyerap anggaran untuk dilakukan uji coba. Padahal, masyarakat sementara dihadapkan dengan kenaikan harga BBM, ibarat ‘sudah jatuh, tertimpa tangga pula’.
Hapus Daya Listrik 450VA?
Sebelumnya, netizen heboh dengan isu penghapusan daya listrik 450VA. Pihak PLN kemudian memberi klarifikasi, tidak ada penghapusan daya listrik 450VA. Namun, jika dikaitkan dengan program konversi kompor listrik yang sasaran utamanya keluarga miskin, maka butuh penambahan daya listrik. Kompor listrik membutuhkan daya minimal 800VA. Kondisi ini selaras dengan gelaran promo PLN ‘Nyalakan Kemerdekaan’. Biaya penambahan daya listrik yang biasanya Rp5.330.900 menjadi Rp170.845 saja.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasojo menjelaskan, masyarakat yang menerima program kompor listrik gratis adalah pelanggan dengan daya listrik 450VA dan 900VA. Pemerintah tidak akan menghapus atau mengalihkan daya listrik 450VA menjadi 900VA. Sebaliknya, pemerintah akan menyediakan jalur kabel listrik khusus dengan daya yang cukup. Menurutnya, jalur tersebut terpisah dengan jalur listrik yang sudah ada sehingga tarif listrik tidak mengalami perubahan (tribunnews.com, 26/9/2022).
Meski program tersebut batal, pihak PLN masih melakukan uji coba di Denpasar dan Solo. Ada 2.000 paket kompor listrik gratis yang dibagikan untuk uji coba tersebut. Harga kompor listrik sendiri tidak murah. Katakanlah harga kompor listrik RP1,8 juta, jika dikalikan dengan 2.000 paket saja sudah Rp3,6 miliar. Sebelum program konversi kompor listrik dibatakan, pemerintah sempat berencana membagikan 300.000 kompor listrik gratis. Tampaklah, program tersebut butuh dana tak sedikit, baik anggaran untuk pengadaan kompor listrik maupun rencana proyek jalur kabel listrik khusus.
Zero Emisi Karbon
Jika mau jujur, program konversi kompor listrik tidak menguntungkan rakyat maupun negara. Setelah rakyat miskin mendapat kompor listik gratis dan penambahan daya, siapa kiranya yang membayar tagihan listrik per bulan? Lagi pula, umumnya para emak membutuhkan lebih dari satu alat masak, sementara yang dipakai adalah alat masak khusus. Artinya, alat masak sebelumnya tidak bisa dipakai dan harus membeli alat masak baru dengan harga cukup mahal. Kompor listrik pun memiliki masa manfaat, mengalami penyusutan kemudian rusak. Akhirnya, rakyat miskin harus membeli sendiri dengan harga tak merakyat.
Pemerintah beralasan, konversi kompor gas ke listrik harus dilakukan demi mengurangi impor gas. Alasan yang tak bisa diterima akal, mengingat, sumber gas alam Indonesia melimpah. Penggunaan kompor listrik juga disebut-sebut demi mendukung upaya zero emisi karbon. Mungkinkah pemerintah lupa bahwa pembangkit listrik saat ini masih banyak menggunakan ‘uap panas’ untuk memutar turbin? Batu bara digunakan sebagai bahan boiler untuk menghasilkan energi. Artinya, semakin banyak listrik yang diserap, semakin banyak batu bara yang dibakar dan semakin banyak emisi karbon yang dihasilkan.
Pemerintah juga mengaku, konversi kompor listrik berguna menyeimbangkan over supply listrik. Pemerintah melalui PLN bersama Independent Power Producer (IPP) merencanakan dan membangun mega proyek ketenagalistrikan 35 ribu mega watt hingga terjadi surplus listrik di Jawa dan Bali. Jika hasil dari mega proyek ternyata melebihi kebutuhan listrik rakyat, tak seharusnya rakyat yang menanggung beban, bukan? Seperti ramai diberitakan, 50% lebih pembangkit tenaga listrik di Indonesia bukan milik PLN, melainkan milik IPP.
Di sisi lain, Kementerian Perindustrian sempat memberi kepercayaan kepada rekanan PT Hartono Istana Teknlogi (Polytron) sebagai pemasok kompor listrik. Nettizen pun heboh dan semakin yakin kebijakan konversi tersebut hanya melindungi kepentingan oligarki. Selain kompor listrik, pemerintah mendorong masyarakat menggunakan mobil listrik. Pemerintah telah menyiapkan 55 unit ‘Hyundai lonic 5’ untuk persiapan kegiatan 8th G20 Parliamentary Speakers’ Summit (P20) pada Rabu-Jumat tanggal 5-7 Oktober 2022 di Jakarta.
Bayangkan, jika segala aktivitas digerakkan dengan listrik. Semakin banyak listrik terserap, semakin banyak pembakaran batu bara dan menghasilkan lebih banyak emisi karbon. Hal ini akan semakin menghambat target Indonesia bebas emisi karbon tahun 2060. Ke depan, jika segala sesuatunya bergantung pada listrik, seketika listrik mati semua aktivitas terhenti. Seharusnya, pemerintah lebih fokus menggunakan anggaran untuk melakukan inovasi, pengembangan, dan perluasan energi baru terbarukan.
Menuju Indonesia Tangguh
Miris. Indonesia memiliki sumber energi yang melimpah. Namun, rakyat tampak dipermainkan saat memanfaatkan energi tersebut. Padahal, sumber daya alam merupakan barang milik umum (rakyat). Energi merupakan barang vital bagi rakyat. Seharusnya, rakyat bisa menikmati dengan harga terjangkau. Bahkan kalau bisa, gratis. Namun, yang terjadi sebaliknya, harga elpiji, listrik maupun energi lain seperti BBM terus mengalami kenaikan.
Kebijakan demi kebijakan justru membuat hidup rakyat semakin ruwet. Alasan yang tak logis muncul demi membenarkan kebijakan. Beginilah kondisi imbas dari liberalisasi sektor energi. Pemerintah mengekspor bahan mentah kemudian mengimpor dalam kondisi siap pakai. Pengelolaan sumber energi dari hulu sampai hilir dicampuri oligarki, mulai dari pengelolaan bahan baku yakni batu bara dan gas, pembangunan dan pengelolaan infrastruktur ketenagalistrikan, termasuk perusahaan baterai mengandalkan swasta dan asing untuk berinvestasi. Sementara, investasi hakekatnya istilah halus untuk menguasai negeri.
Rakyat masih menunggu sikap pemerintah, akankah program ini benar-benar batal ataukah hanya ditunda menunggu gelombang protes reda? Jika program konversi kompor listrik tetap dilanjutkan di kemudian hari, maka patut waspadai. IPP bisa sewaktu-waktu menaikkan tarif dasar listrik. Demikian pula dengan perusahaan kompor listrik yang bisa mengubah harga seenaknya, hingga rakyat pun tak bisa berbuat apa-apa.
Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Penerapan sistem demokrasi saat ini jauh berbeda dengan sistem Islam. Islam merupakan ajaran yang sempurna dan paripurna. Dalam Islam, energi digolongkan sebagai api yang tidak diperbolehkan dikuasai swasta, apalagi asing. Negara wajib mengelola sumber energi benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat. Andai saja Indonesia siap sedia menerapkan Islam secara menyeluruh, termasuk dalam pengaturan energi, insyaallah akan menjadi negara yang tangguh tak dikendalikan oligarki. Islam memiliki struktur negara yang mampu mengatasi hal itu.
Wallahu ‘alam bish shawab.
Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos.
Sahabat Tinta Media, Pemerhati Kebijakan Publik