Tinta Media - Berbicara tentang mental, maka tidak akan terlepas dari problema hidup. Ada orang yang sejak lahir memang bermasalah, tetapi tak jarang ada juga yang bermental rusak karena kondisi keluarga atau pun lingkungan tempat ia hidup.
Setiap tanggal 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Jiwa. Hari kesehatan dunia ini dibentuk oleh lembaga kesehatan internasional bernama World Federation of Mental Health (WFMH). Lembaga ini bertanggung jawab untuk mengawasi kesehatan global dan mengedukasi negara-negara tentang pentingnya menjaga kesehatan mental warganya.
Menurut data WFMH, lebih 75 persen penduduk pengidap depresi di negara maju tidak mendapatkan penanganan yang memadai. Sedangkan pada negara berpenghasilan menengah ke bawah, penderita gangguan mental nyaris tidak memperoleh pengobatan sama sekali.
Negeri Nusantara ini bisa disebut sebagai negara yang tidak ramah kepada penderita gangguan mental, menurut badan kesehatan nasional tersebut. Pasalnya, ekonomi Indonesia termasuk menengah ke bawah.
Melalui laman resminya, World Federation of Mental Health (WFMH) telah menetapkan tema 'Make Mental Health & Well Being for ALL a Global Priority' untuk peringatan Hari Kesehatan Nasional tahun 2022.
Tema ini, menurut badan tersebut memiliki makna bahwa kesejahteraan orang-orang dengan gangguan mental, tidak hanya ditanggung oleh pemerintah saja, tetapi juga masyarakat umum. Oleh karenanya, seluruh elemen masyarakat juga bertanggung jawab atas kesehatan mental orang-orang di sekitarnya.
Sejarah Hari Kesehatan Mental Global
Dikutip dari National Today, para pendiri WFMH awalnya memahami bahwa perlu adanya tindakan secara global untuk menanggulangi adanya kerusakan mental. Maka, dibentuklah badan ini pada tahun 1992. Program yang dilaksanakan adalah sosialisi kepada negara-negara di dunia mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental dan mendorong agar pemfasilitasan dan perbaikan penanganan seputar kesehatan mental.
Bukan Solusi
Niat baik lembaga WFMH memang perlu diapresiasi. Namun, apa yang mereka lakukan sejatinya bukan solusi mengatasi masalah kesehatan mental. Solusi mereka sebatas solusi parsial yang tidak menyelesaikan masalah hingga pada akarnya. Buktinya, sudah lebih dari 20 tahun melakukan edukasi, akan tetapi angka gangguan mental tetap terus bertambah.
Solusi yang ditawarkan lembaga ini malah memalingkan dunia dari masalah dan solusi sejati dari problem kesehatan mental. Dunia melihat imajinasi adanya air di tengah gurun pasir. Dunia diperlihatkan dan diminta puas dengan solusi yang tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah.
Menemukan solusi hakiki dari sebuah problem harus diawali dengan mencari akar dari masalah tersebut. Sebagaimana jika daun tampak layu, maka bukan daun yang perlu diobati, namun akarlah yang membutuhkan asupan gizi.
Maka, jika seseorang memaksa untuk mengobati daunnya saja, daun tersebut tidak akan pernah sembuh, sebesar apa pun usaha orang tersebut. Sebab, masalah utama pohon tersebut bukan terletak pada daunnya, tetapi akar.
Perumpamaan ini juga berlaku untuk seluruh masalah yang ada di dunia ini. Selama yang diperbaiki bukanlah akarnya, tetapi sebatas cabang, maka baik masalah cabang atau pun akarnya tidak akan pernah terpecahkan.
Akar Masalah Kerusakan Mental
Lingkungan kapitalistiklah yang menjadi penyebab utama kerusakan mental masyarakat di dunia saat ini. Di dunia kapitalis ini, hukum rimba menjadi makanan sehari-hari. Dalam masyarakat kapitalis, siapa yang beruang, maka dialah yang berkuasa.
Maka, di dalam masyarakat seperti ini, karier, nilai, pandangan orang, kekayaan sangatlah dipandang tinggi. Orang yang tidak memiliki salah satu di antaranya akan merasa terusir dari masyarakat. Stres pada orang-orang seperti ini tidak terhindarkan.
Fakta di lapangan telah membuktikannya sendiri. Beberapa minggu yang lalu, mungkin masih hangat di benak kita, seorang pemuda yang bersumpah untuk bunuh diri jika dirinya tidak diterima di perguruan tinggi.
Kemudian beberapa hari yang lalu, ada seorang mahasiswa baru UGM yang nekad loncat dari salah satu hotel di Jogja. Polisi menyebutkan pelaku memiliki gangguan mental. (detik.com)
Namun, prestasi dan jabatan tinggi pun tidak bisa menghindarkan seseorang dari gangguan kesehatan mental. Sebab, kekayaan dan nilai tidak memastikan seseorang bisa bahagia dalam hidupnya. Buktinya, Jepang yang merupakan negara dengan tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi yang tinggi, tetapi angka bunuh dirinya tercatat nomor 1 sedunia. (kompas.com)
Di sisi lain, manusia tidak pernah puas dengan apa yang telah ia gapai. Sifat asli manusia jika tidak terkendali dengan baik adalah haus akan prestasi dan kekayaan. Walaupun memiliki kekayaan sebanyak gunung pun, karena kerakusannya, ia akan tetap berusaha mendapatkan yang lebih dan lebih lagi. Sifat ini jugalah yang selama ini menjadi bom waktu, merusak masyarakat secara perlahan.
Misalkan saja kasus broken home. Broken home selama ini menjadi penyebab terbanyak gangguan mental, terutama pada generasi muda. Dikutip dari laman halodoc.com, broken home pada anak dapat menimbulkan gangguan mental, termasuk depresi berat. Sedangkan 73,7 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di rumah, baik kekerasan secara emosional atau pun fisik. Sebagian kekerasan tersebut diakibatkan oleh broken home (https://tirto.id/cAnG)
Broken home itu sendiri diakibatkan karena berbagai faktor yang tidak terlepas dari nilai materi. Ayah bekerja, tetapi hasil jerih payahnya terasa tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Ibu pun bekerja dengan alasan membantu memenuhinya, atau dengan alasan agar hidup mereka bisa lebih mapan.
Alhasil, anak ditinggalkan di rumah dengan pembantu, jarang bertemu kedua orang tua. Kasih sayang dan perhatian pun tidak ia dapatkan. Akhirnya anak tersebut menjadi pribadi yang tertutup, tidak jarang malah terikut arus pergaulan yang semakin merusaknya dari sisi mana pun. Ia juga bisa menjadi anak nakal yang suka melampiaskan emosinya dengan hal-hal berbahaya, seperti menyakiti diri sendiri, tawuran, membuli orang lain, dan lainnya.
Belum lagi, kedua orang tuanya yang tidak menjalin hubungan baik satu sama lain karena sibuk pada karier sendiri-sendiri pun rentan terlibat pertengkaran kecil maupun besar dan kerap kali akan berakhir pada perceraian. Karenanya, lagi-lagi anak pun menjadi korban.
Semua peristiwa tersebut tidak lain terjadi karena standar materi yang mereka junjung tinggi. Standar materi ini merupakan buah dari penerapan sistem kapitalis dalam kehidupan. Maka, untuk menyelesaikan masalah kerusakan mental, tidak cukup dengan mengedukasi masyarakat, menyelesaikan masalah broken home setiap keluarga, menyediakan layanan konseling, dan semisalnya. Namun, penyelesaian tersebut harus secara mendasar, yaitu mengganti sistem yang menyebabkan seluruh problematika sebelunya terjadi.
Selama kapitalisme, dengan standar kehidupan materialistiknya masih mencengkram kehidupan umat manusia, maka masalah gangguan mental pun tidak akan pernah terselesaikan.
Sejatinya, negara pun bertanggung jawab menjadi penyebab maraknya gangguan mental hari ini. Negara lalai dalam meyediakan fasilitas pendidikan, menjamin kesejahteraan setiap keluarga, sehingga banyak keluarga yang tertuntut pencapaian ekonomi tinggi dan melupakan keluarga terutama ibu yang melupakan peran utamanya untuk mendidik generasi.
Sebab, dalam kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai regulator, bukan pelayan. Maka, dia hanya memberikan sarana tanpa perlu memerhatikan apakah setiap orang telah mendapatkan layanan yang baik dan mencukupi.
Islam Sebagai Solusi
Hal ini sangat berbeda dengan negara Islam. Dalam Islam, kepala negara berfungsi sebagai ra’in atau penggembala. Sebagaimana penggembala, kepala negara bertanggung jawab atas apa yang dibutuhkan oleh setiap gembalaannya, baik dari kesehatan hingga keselamatan. Kepala negara akan bertanggung jawab di hadapan Allah Swt. terkait apa pun yang terjadi kepada setiap individu rakyatnya.
Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
Islam juga menetapkan kebahagian sejati adalah saat mendapatkan rids Allah Swt., bukan materi. Dengan begitu, manusia terhindar dari tuntutan dunia materialistik yang menyesakkan.
Dengan standar hidup demikian, manusia akan berusaha untuk taat semaksimal mungkin kepada Allah Swt., termasuk taat pada ketentuan bahwa ibu adalah pendidikan pertama bagi anak. Karenanya pula, negara pun akan mengatur bagaimana ibu agar bisa memenuhi peran tersebut dengan baik dan tidak tersibukkan dengan perkara lain, termasuk ekonomi.
Oleh karenanya, hanya Islam yang berhak menggantikan kapitalisme sebagai konsep hidup dunia hari ini. Kapitalisme sejatinya adalah masalah pokok penyebab kerusakan mental di seluruh dunia. Maka, ia harus diganti dan Islamlah yang bisa menggantikannya. Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Wafi Mu’tashimah
Sahabat Tinta Media