Kanjuruhan, Tragedi yang Tak Perlu Terjadi - Tinta Media

Rabu, 12 Oktober 2022

Kanjuruhan, Tragedi yang Tak Perlu Terjadi

Tinta Media - Tak ada yang menduga bahwa 1 Oktober 2022 menjadi tragedi mengerikan di Stadion Kanjuruhan. Lebih dari 130 orang meninggal sia-sia dan 100 lebih luka-luka akibat semprotan gas air mata saat Aremania turun ke lapangan karena protes kekalahan teamnya. Gas air mata tak hanya disemprotkan ke lapangan, tetapi juga ke tribun penonton di atas, akibatnya terjadi kepanikan untuk keluar stadion sehingga banyak yang terinjak-injak karena berdesak-desakan, pingsan, hingga meninggal.

Ketika kita mencermati fakta yang terjadi di lapang, kita bisa melihat bahwasanya tragedi ini seharusnya tak perlu terjadi jika:

Pertama, suporter tidak protes berlebihan. Dalam pertandingan, pasti ada pihak yang menang dan kalah. Harusnya semua bersikap sportif. Namun, hal itu tidak dimiliki oleh banyak suporter sepak bola di negeri ini, bahkan di seluruh dunia. Kematian suporter sepak bola di Kanjuruhan paling mengerikan tahun ini, hingga dunia pun banyak yang mengecamnya.

Kedua, tidak ada fanatik atau ashabiyyah, yaitu kebanggan yang berlebihan atas klub atau team kesayangan. Dalam Islam, ashabiyyah dilarang keras.
Rasulullah saw. bersabda:

“Tidaklah termasuk golongan kami barangs iapa yang menyeru kepada ashabiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barang siapa yang berperang atas dasar ashabiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami, barang siapa yang terbunuh atas nama ashabiyyah (fanatisme kelompok).” (HR. Abu Dawud).

Ketiga, aparat kepolisian tidak bersikap represif dengan menyemprot gas air mata. Bahkan, FIFA sudah melarang penggunaan gas air mata untuk menghalau penonton bola.

Faktanya, tragedi Kanjuruhan mengakibatkan kurang lebih 125 orang meninggal dunia. Hampir seluruh korban jiwa merupakan suporter Arema FC.
Salah satu yang disorot dalam insiden Kanjuruhan adalah penggunaan gas air mata oleh polisi. 

Pasalnya, FIFA melarang penggunaan gas air mata di stadion. Hal itu tercantum dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations.
Pelarangan penggunaan gas air mata dan senjata api tertulis dalam Pasal 19 b.

"No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used (senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan)," begitu bunyi aturan FIFA. Kompas.com (3/10/2022).

Keempat, pihak penyelenggara menyiapkan akomodasi sebaik mungkin. Tiket yang dijual tidak boleh melebihi kapasitas stadion. Penyelenggara juga harus menyiapkan aparat keamanan yang siap melindungi jika ada pihak yang mencoba mengganggu dengan prosedur yang benar. Tidak ketinggalan petugas kesehatan yang cukup, jika ada yang memerlukan pertolongan.

Kelima, negara harus menyelidiki, bahkan menghukum pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut, seperti pihak penyelenggara  dan aparat yang bersikap represif. Jika memang terbukti bersalah, hukuman yang setimpal dan adil harus diberikan bagi siapa saja yang melakukan tindakan sewenang-wenang.

Beginilah negara dengan sistem  kapitalis, menjadikan olahraga sebagai lahan bisnis. Negara menjadi alat kepentingan oligarki. Aparat keamanan sering bersikap represif terhadap suporter yang dianggap membahayakan kepentingan mereka.

Berbeda dengan Islam, negara menjadikan olahraga sebatas aktivitas yang bermanfaat bagi kesehatan. Pertandingan olahraga bukan prioritas, bahkan bisa dilarang jika melupakan waktu buat ibadah, kerja, dan belajar. 

Sudah seharusnya kita menyadari bahwa negara kapitalis sering membuat susah dan merugikan, terutama rakyat bawah. Olahraga yang seharusnya menjadi kegiatan bermanfaat, justru melahirkan berbagai masalah.

Tidakkah kita rindu diterapkannya sistem lslam yang pasti sesuai dengan fitrah, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa karena berasal dari Zat Pencipta alam semesta?
Allahu a’lam

Oleh: Umi Hanifah
Sahabat Tinta Media


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :