Tinta Media - PT Freeport Indonesia berjanji akan menambah investasinya hingga mencapai USD 18,6 miliar atau setara Rp282,32 triliun (kurs Rp15.179) hingga tahun 2041 nanti. Chairman of the Board and CEO Freeport McMoRan, Richard C. Adkerson mengatakan PT Freeport sudah menggelontorkan dana investasi sebesar USD 18 miliar pada periode 1973 hingga 2021. Angka tersebut akan bertambah USD 18,6 miliar hingga 2041 mendatang.
PT Freeport mengklaim jika beroperasinya mereka di Indonesia tidak semata menguntungkan pihaknya saja. Selama periode 1992 hingga 2021, negara mendapat manfaat langsung yang diterima sebesar USD 23,1 miliar. Penerimaan negara tersebut didapatkan dari pajak, royalti, dividen, hingga biaya dan pembayaran lainnya.
Melihat proyeksi bisnis yang semakin luas ke depan, Richard pun mengatakan bahwa manfaat langsung yang bisa diterima pemerintah juga akan terus membesar. Dia memproyeksikan hingga 2041 nanti, manfaat langsung yang bisa didapatkan negara mencapai USD 80 miliar atau setara Rp1.214 triliun.
Janji ini memang terlihat manis. Bahkan, PT Freeport seolah-olah mengklaim dirinya sudah memberikan keuntungan dan sumbangsih yang besar terhadap negeri ini. Apalagi dengan klaim akuisisi 51 % oleh pemerintah atas Freeport, seakan-akan penguasa sudah bekerja keras untuk mengelola sumber daya alam (SDA).
Klaim ini jelas tidak sesuai, karena pengelolaan SDA sangat tidak menguntungkan rakyat. Kekayaan alam yang merupakan harta kepemilikan rakyat, dalam sistem kapitalisme yang saat ini berlaku, dikuasai dengan legal oleh sebagian masyarakat bermodal (kapital). Merekalah yang kemudian menikmati keuntungan dari SDA yang dikelolanya, sementara rakyat sebagai pemiliknya tidak mendapat haknya dan tidak jarang justru menimbulkan ketimpangan, kesengsaraan, dan bencana akibat pengelolaan dan eksploitasi yang mereka lakukan.
Contoh nyata adalah yang terjadi di Papua. Sekalipun kekayaan alam bumi Papua melimpah, tetapi masyarakat setempat banyak yang hidup dengan tidak layak dengan infrastruktur yang minim, kecuali di jalur penambangan. Begitu pula dengan pendidikan dan kesehatan, masyarakat setempat tidak mampu mengakses dengan baik, karena mereka miskin.
Sesungguhnya alam mereka kaya, tetapi kekayaan alam yang mereka miliki tersebut dikuasai asing. Hasilnya, kekayaan alam masuk ke kantong-kantong para kapital sesuai aturan pemerintah dan rakyat hanya bisa melihat dan menggigit jari. Demikianlah rakyat hidup dalam kemiskinan, kebodohan, dan kesakitan di tengah kekayaan alam berlimpah yang dirampok secara legal oleh asing.
Jadi, berbagai janji investasi ataupun persentase akuisisi, sejatinya itu hanyalah keuntungan ilusi. Seolah tampak, tetapi sebenarnya tidak berarti. Sebesar apa pun PT Freeport memberikan keuntungan, kita tetap merugi, sebab apa yang diambil dari perut bumi kita itu nilainya jauh lebih besar dari sedikit yang mereka berikan kepada kita sebagai pemiliknya.
Ini bentuk penjajahan gaya baru. Pengelolaan SDA oleh asing hanya akan menguatkan penjajahan tersebut. Mana ada rakyat yang terjajah mendapatkan keuntungan? Jika ada, itu hanya ilusi saja.
Berbeda dengan sistem Islam. Pengelolaan semacam ini tidak dikenal di dalam Islam, sebab Islam memandang kekayaan alam adalah milik rakyat dan yang berhak mengelola adalah negara. Hasil pengelolaannya digunakan untuk menjamin kesejahteraan dan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Islam adalah sebuah ideologi. Islam diturunkan bukan hanya untuk mengatur masalah ibadah ritual manusia, tetapi untuk mengatur seluruh urusan manusia, termasuk bagaimana mengelola SDA. Untuk hal ini Rasulullah ï·º bersabda:
“Kaum muslimin bersekutu (dalam kepemilikan) atas tiga hal: yaitu air, padang rumput dan api” (HR al-Bukhari).
Di hadis yang lain, Rasulullah ï·º juga menjelaskan hal serupa. Abyad bin Hammal pernah mendatangi Rasulullah ï·º dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dia. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Yakni tambang garam yang ada di daerah Ma’rib.” Nabi ï·º pun memberikan tambang itu kepada Abyad. Setelah itu datang seorang laki-laki yang ada di majelis itu, dan berkata kepada Rasulullah,” “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh, Anda telah memberikan kepada dia sesuatu yang seperti air yang mengalir (al-mâ’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah ï·º mencabut kembali pemberian tambang garam itu dari Abyad bin Hammal (HR Abu Dawud).
Dalil ini menjadi dasar pengelolaan SDA dalam Islam. Syekh Taqiyyudin an Nabhani dalam kitab Nidzam Iqtishadi menjelaskan bahwa SDA yang jumlah depositnya melimpah adalah milik rakyat yang tidak boleh ada privatisasi oleh pihak tertentu.
Maka, tambang Ertsberg dan Grasberg Papua, termasuk kategori ini. Sehingga, harusnya negara mengambil kembali hak dalam mengelolanya.
Islam mengatur bahwa distribusi hasil SDA yang dikelola oleh negara bisa melalui dua mekanisme, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung, negara bisa mendistribusikan energi seperti BBM, listrik, dan sejenisnya kepada rakyat dengan harga yang murah. Sebab, rakyat hanya membayar biaya pengelolaanya saja, bukan membeli barangnya.
Adapun mekanisme tidak langsung adalah negara membiayai kebutuhan dasar publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang semua itu didanai dari hasil pengelolaan SDA yang masuk ke dalam pos Baitul Mal.
Jadi, bisa dibayangkan jika tambang Ertsberg dan Grasberg dikelola secara syar’i, sesuai aturan Islam, maka keuntungan nyata akan bisa dirasakan oleh negara dan rakyat.
Oleh: Nonik Sumarsih, S.Si.
Aktivis Dakwah Surabaya