IJAZAH PALSU DAN ETIKA POLITIK - Tinta Media

Minggu, 16 Oktober 2022

IJAZAH PALSU DAN ETIKA POLITIK

Tinta Media - Bisa dimengerti jika ada anak kecil takut akan gelap, namun sulit dimengerti, hari ini, ada banyak orang dewasa yang justru takut akan terang (Plato)

Berita seputar gugatan ijazah Joko Widodo oleh Bambang Tri Mulyono terus bergulir. Seperti biasanya, setiap kali ada kasus diangkat, maka pro kontra langsung menyeruak di kalangan masyarakat. Namun tak lama, Polri telah menetapkan Bambang Tri Mulyono yang menggugat ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai tersangka kasus ujaran kebencian pada Kamis (Kompas, 13/10/2022).

Adapun Presiden Jokowi digugat ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat ihwal dugaan menggunakan ijazah palsu saat mengikuti pemilihan presiden (pilpres) pada 2019. Gugatan itu terdaftar dalam perkara nomor 592/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst dengan klasifikasi perkara perbuatan melawan hukum (PMH). Bagi Amien Rais, perkara dugaan ijazah ini sebenarnya simpel, yakni pihak tergugat tinggal mendatangi pengadilan dengan membawa ijazah aslinya.

Terlepas dari perkara yang sedang bergulir di atas yang akan dibuktikan di pengadilan, ijazah punya arti penting di negeri ini karena menjadi syarat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya sekaligus sebagai pembuktian intelektualitas seseorang. Ijazah di negeri ini juga memiliki fungsi sebagai status sosial pemiliknya. Ijazah juga menunjukkan identitas diri seseorang, syarat melamar pekerjaan, penentu besarnya gaji, sebagai salah satu syarat kenaikan jabatan pada instansi tertentu serta sebagai bentuk pengakuan yang sah dari negara

Di Indonesia pada era modern, ijazah adalah sebuah sertifikat atau dokumen yang diberikan oleh suatu instansi kepada peserta didik. Umumnya orang akan mendapatkannya setelah tamat belajar dari sebuah instansi pendidikan, baik itu sekolah, madrasah, atau universitas. Ijazah adalah pertanda bahwa seseorang telah lulus dari sebuah institusi pendidikan secara sah dan legal.

Sejumlah pihak menyoroti Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang memasukkan point-point pendidikan di dalamnya berpotensi melegalkan praktik pemalsuan ijazah. Praktik pemalsuan ijazah dimungkinkan karena pasal pidana dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 67, 68 dan 69 dihapus.

Pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah menegaskan sangat tidak setuju sanksi pidana terhadap pemalsuan ijazah dihapus. Apalagi pemalsuan ijazah tidak hanya menyangkut individu tapi merugikan publik dari sisi pembangunan sistem yaitu good governance dan good government.

Sementara itu, pengamat hukum dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Dr Ismail Rumadan, MH juga mengatakan, jika DPR menyetujui UU Ciptaker yang melegalkan tindak pidana pemalsuan ijazah maka bisa mendorong meningkatnya praktik pemalsuan ijazah. Hal ini tentu berakibat buruk terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Dampak buruknya lagi banyak pihak akan melakukan tindakan pemalsuan dokumen yang lain yang terkait dengan aspek legalitas.

Di negeri ini, masalah etika dan hukum dipisahkan, semisal yang tercantum dalam Omnibus Law di atas. Keduanya dianggap dua hal yang berbeda. Namun sering muncul sebuah pertanyaan, apakah etika yang melandasi hukum atau hukum yang melandasi etika. Apakah pelanggaran etika berimplikasi kepada pelanggaran hukum atau tidak ?. Lebih ironi lagi jika keduanya dipandang dalam sudut pandang politik kepentingan.

Hasilnya, keduanya menjadi obyek dari subyektivitas politik. Politik pragmatis dan transaksional seringkali justru tak beretika dan tidak berdasarkan hukum. Akibatnya hubungan antara etika, hukum dan politik tak lagi harmonis. Ketiganya menjadi abu-abu, bergantung kepada dominasi subyektivitas elit politik.

Substansi etika adalah nilai. Dasar etika adalah konsensus sosial dalam masyarakat tertentu yang berdasarkan nilai-nilai yang dijadikan sandaran. Karena itu etika berkorelasi juga dengan budaya masyarakat tertentu. Etika yang berlaku dalam komunitas masyarakat yang satu berbeda dengan masyarakat lainnya. Etika biasanya tidak tertulis. Itulah sebabnya pelanggaran etika biasanya berujung kepada sangsi sosial. Etika bersifat informal.

Sedangkan hukum adalah seperangkat aturan formal dan tertulis yang mengikat setiap individu dan masyarakat. Pelanggaran hukum berujung kepada sangsi hukum, baik pidana maupun perdata. Dasar hukum sebenarnya sama dengan dasar etika, yakni konsensus sosial. Bedanya, jika hukum adalah hasil konsensus elit politik, sementara etika adalah konsensus elit sosial masyarakat yang terbentuk secara turun temurun.

Namun demikian, antara etika dan hukum tetap memiliki kesamaan fundamental, bahwa keduanya adalah nilai yang didasarkan oleh konsensus sosial dalam memandang dan menimbang realitas, apakah baik atau buruk. Karena keduanya dibentuk oleh subyektivitas sosial, maka etika dan hukum akan berbeda dalam setiap negara dan masyarakat. Perbuatan memalsukan ijazah masuk kategori pelanggaran etika sekaligus hukum.

Sementara politik dalam konsensus kekinian adalah upaya untuk meraih kepentingan individu dan kelompok melalui kekuasaan. Meski secara normatif ada latar belakang ideologis dalam berpolitik, namun secara empirik praktek politik praktis lebih banyak dilatarbelakangi oleh kepentingan individu dan golongan yang kerap mengakibatkan dominasi orientasi pragmatisme dibanding ideologis. Hasilnya, terjadilah perebutan jabatan melalui praktek transaksional yang materialistic, bahkan penipuan dan pemalsuan.

Dalam kondisi inilah etika dan hukum menjadi tidak berlaku. Bahkan seringkali politik justru memperdaya etika dan hukum demi menjaga kepentingan politiknya.

Inilah akibatnya jika kehidupan berbangsa dan bernegara berpusat kepada manusia dan mengabaikan peran Tuhan. Etika, hukum dan politik dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia telah mengakibatkan hilangnya sendi-sendi nilai tergerus oleh kepentingan dan hawa nafsu.       

Kehidupan bernegara dalam pandangan Islam merupakan upaya mengharmoniskan tiga kekuatan sekaligus yakni rakyat, penguasa dan Tuhan. Meski kepemimpinan negara adalah jabatan duniawi, namun amanah ini sangat berat. Seorang pemimpin dalam Islam harus mampu mengejawantahkan hukum-hukum Allah dalam mengatur rakyat yang dipimpinnya.

Karena itu istilah politik dalam Islam dimaknai sebagai upaya untuk mengurus seluruh urusan rakyat dengan timbangan hukum-hukum Allah. Sementara pemimpin sebagai ulil amri adalah orang yang diberi amanah untuk menjalankannya. Ulil amri bukan hanya bertanggungjawab di hadapan rakyat, melainkan harus juga bertanggungjawab di hadapan Allah.  

Dalam Islam, manusia terikat dengan hukum Allah. Dalam sistem sekuler, hukum terikat dengan manusia. Islam mengintegrasikan antara akhlak, hukum dan politik sebagai manifestasi keimanan kepada Allah, sementara sekulerisme memisahkan ketiganya. Politik Islam mengantarkan manusia kepada kebajikan dan kebahagiaan sempurna, sementara sekulerisme mengantarkan manusia kepada kerusakan dan kesengsaraan.

Politik Islam adalah manifestasi kehendak Tuhan, sementara sekulerisme adalah manifestasi kehendak manusia. Dan yang pasti Allah adalah maha mengetahui yang terbaik bagi makhluknya, sementara manusia untuk memahami diri sendiri saja seringkali tak mampu. Saatnya Indonesia lepas dari jeratan sekulerisme dalam memaknai etika, hukum dan politik demi kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki. Islam adalah konsep yang jelas dan terang benderang, mengapa banyak yang justru takut ?

Cukuplah peringatan Allah berikut menjadi renungan untuk bangsa ini, rakyat dan para pemimpinnya, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (QS 20 :124). “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan ( ayat-ayat kami ) itu sehingga Kami mmenyiksa mereka karena perbuatan yang mereka kerjakan”. ( QS 7 : 96)
                    
Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(Ahmad Sastra, KotaHujan,15/10/22 : 14.12 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :