Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional seharusnya ada misi untuk mengungkap kebenaran sejarah.
"Kita tentu berharap, penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional bukan sekadar pemenuhan janji bagi kepentingan politik pencitraan tapi harus ada misi yang lebih jauh, yakni usaha untuk mengungkap kebenaran sejarah," tuturnya kepada Tinta Media pada hari Sabtu (22/10/2022).
Menurutnya, misi ini sangat penting karena pelurusan sejarah akan berpengaruh besar dalam ikhtiar membangun kesadaran publik yang benar di masa mendatang.
"Kita tahu, sejarah memang tidaklah netral dan sangat tergantung pada siapa yang menuliskan, dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis. Di sinilah, demi memuluskan kepentingan politik penguasa, kejahatan penulisan sejarah kerap terjadi," ungkapnya.
Cendekiawan Muslim ini mengungkapkan tiga kejahatan penulisan sejarah yang dilakukan dengan tujuan untuk mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa dan negara ini.
Pertama, penguburan atau peniadaan peristiwa sejarah. Ustaz Ismail menyodorkan contoh nyata yakni Resolusi Jihad itu sendiri. Menurutnya, bila sejarah pergerakan kemerdekaan ditulis secara jujur, mestinya akan terbaca sangat jelas peran besar para santri yang tergabung dalam Hizbullah dan para kyai yang tergabung dalam Sabilillah dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
"Khususnya, peran KH Hasyim Asy’ari saat mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajahan Belanda yang ketika itu, dengan membonceng sekutu, hendak kembali bercokol," paparnya.
Ia menyampaikan penuturan cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, bahwa resolusi atau fatwa itu telah mendorong puluhan ribu Muslim untuk bertempur melawan Belanda dengan gagah berani, terutama di Surabaya.
"Peristiwa heroik di Hotel Oranye, Surabaya itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, 10 November," tegasnya.
Cendekiawan Muslim ini memaparkan bahwa resolusi itu meningkatkan semangat melawan Belanda dan sekutu. Namun dalam buku sejarah, peristiwa penting itu tidak ditulis.
"Sungguh aneh, peristiwa 10 November selalu disebut-sebut, tapi Resolusi Jihad yang membuat peristiwa 10 November bisa terjadi malah disembunyikan," jelasnya.
Ia mengulas buku Resolusi Jihad Paling Syar’iy yang ditulis oleh Gugun el Guyanie (Pustaka Pesantren, 2010). Dalam salah satu sub judulnya 'Biarkan kebenaran yang hampir setengah abad dikaburkan catatan sejarah itu terbongkar' menggambarkan semangat untuk mengungkap kebenaran sejarah, khususnya di seputar Resolusi Jihad yang menurut sejarawan Belanda Martin van Bruinessen, peristiwa penting ini memang tidak mendapat perhatian yang layak dari para sejarawan.
Kedua, pengaburan peristiwa sejarah. "Bila sejarah mencatat secara jujur, inspirator kebangkitan nasional melawan penjajah mestinya bukan Boedi Oetomo, melainkan Syarikat Islam (SI) yang merupakan pengembangan dari Syarikah Dagang Islam (SDI) yang antara lain dipimpin oleh HOS Cokroaminoto," bebernya.
Ia mengungkapkan bahwa sebagai gerakan politik, SI ketika itu benar-benar bersifat nasional karena eksistensinya di lebih dari 18 wilayah di Indonesia. Selain itu, memiliki tujuan yang sangat jelas, yakni melawan penjajah Belanda. Sebaliknya, Boedi Oetomo sesungguhnya hanya perkumpulan kecil, sangat elitis, bahkan rasis, serta sama sekali tidak memiliki spirit perlawanan terhadap Belanda. "Mengapa justru sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor kebangkitan?" serunya.
Ketiga, pengaburan konteks peristiwa sejarah. Menurutnya, bukan sebuah kebetulan belaka ketika Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasar pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarekat Islam. Sebagaimana juga Hari Pendidikan Nasional, bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912. "Kemana Ki Hadjar itu banyak belajar? Ki Hadjar sendiri baru mendirikan sekolah Taman Siswa pada 1922," ungkapnya.
Ia menerangkan bahwa jika spirit atau semangat Islam yang mengemuka, maka hal itu sangatlah tidak dikehendaki dalam setting kepentingan politik penguasa saat itu.
"Padahal, spirit Islam sesungguhnya telah lama menjadi dasar perjuangan kemerdekaan di masa lalu," terangnya.
Ustaz Ismail Yusanto memaparkan bahw peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan Belanda tidak lain didorong oleh semangat jihad melawan penjajah. "Ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, maka kebanyakan yang tergugah adalah para ulama dan santri dari pelosok desa," jelasnya.
Ia menambahkan, pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19 selalu di bawah bendera Islam.
"Perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape Belanda," tuturnya.
Ia menambahkan, begitu pun dengan perang Padri. Sebutan Padri menggambarkan bahwa perang ini merupakan perang keagamaan.
"Jelas sekali ada usaha sistematis untuk meminggirkan, bahkan menghilangkan peran Islam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan serta menghilangkan spirit Islam dari wajah sejarah bangsa dan negara ini," terangnya.
Cendekiawan Muslim itu pun berharap penetapan Hari Santri Nasional harus bisa dijadikan momentum untuk melawan kejahatan sejarah itu, serta usaha menulis ulang sejarah. Termasuk di dalamnya tentang kebangkitan nasional, pendidikan nasional, sejarah nasional lainnya, dan juga sejarah pergerakan pra kemerdekaan secara kritis, jujur dan obyektif sehingga peran Islam bisa diletakkan secara tepat.
"Pengaburan apalagi penguburan sejarah dari fakta yang sebenarnya tentu akan menutupi ibrah yang mestinya bisa didapat," bebernya.
Beliau menambahkan, bila mengacu kepada sejarah yang benar tentang peran Syarikat Islam, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihadnya, peran Hizbullah-Sabilillah, dan lainnya sangat jelas terdapat spirit Islam itu.
Kebangkitan Hakiki
Ustaz Ismail menjelaskan kebangkitan hakiki adalah kembalinya kesadaran akan hakikat hidup manusia sebagai abdullah dan khalifatullah dengan misi untuk menyembah Sang Khalik dan memakmurkan bumi dengan menjalankan segala titah-Nya.
"Kebangkitan bukan hanya sebuah kata sloganistik, tetapi suatu kata yang menginisiasi perjuangan bagi sebuah perubahan dalam seluruh aspek kehidupan bangsa dari penjajahan ideologi-ideologi jahiliah yang menyengsarakan rakyat menuju yang memberikan rahmat bagi semua," tegasnya.
Menurutnya, itulah kebangkitan dengan spirit Islam, yang ketika itu digelorakan oleh Cokroaminoto dan Sarekat Islam. "Spirit Islam semacam itulah yang diperlukan sebagai sumber kekuatan perjuangan guna membawa negeri ini ke arah yang lebih baik di bawah ridha Ilahi," pungkasnya.[] Lussy Deshanti W.