Gontor Bukanlah Pesantren Biasa - Tinta Media

Sabtu, 01 Oktober 2022

Gontor Bukanlah Pesantren Biasa

Tinta Media - Pesantren kenamaan ini kini tengah dirundung duka. Menjadi pesantren besar dan rujukan pesantren se-Indonesia menunjukkan betapa pesantren ini bukan pesantren biasa. 

Di tengah banyaknya persepsi masyarakat yang notabane menyudutkan, mungkin mereka tengah lupa dengan sebuah nasihat bijak, bahwa jika ada maling masuk ke dalam hutan, jangan bakar hutannya, melainkan tangkap malingnya. Bahkan, lakukan pencegahan agar pencurian tak lagi terulang.
Pesantren layaknya hutan, dan pelaku kekerasan di pesantren adalah malingnya. Tindak tegas pesantren terhadap pelaku kekerasan sudah dilakukan, tinggal upaya antisipasi dan mitigasi yang kini harus diterapkan.

Pesantren Gontor tidak sendirian, Kemenag terjun langsung agar apa yang menimpa pesantren Gontor tidak terjadi di pesantren lain. Sebuah regulasi pun sedang dalam proses untuk diterbitkan dengan harapan dapat meminimalisir dan mencegah kasus.
Sebaik dan sebagus apa pun pola pendidikan ala Gontor, bukan berarti aman dari celah pelanggaran terhadap aturan. Adalah keliru bila masyarakat memberikan judgment buruk terhadap pola pendidikan terbaik yang telah membesarkan dan mengharumkan pesantren ini. Justru yang perlu diperbaiki adalah upaya dalam menutup ruang-ruang penyalahgunaan di tengah sistem pendidikan yang sudah sangat baik tersebut.

Tidak ada pesantren yang pro terhadap kekerasan. Hanya saja, dalam tataran praktisnya, celah penyelewengan aturan menjadi semacam ujian yang tak hanya terjadi dan menimpa pesantren ini, tetapi juga pesantren mana pun.

Pola Pendisiplinan Santri

Bukan soal tidak adanya upaya pesantren menegakan aturan sebagai tindakan preventif dari pelanggaran, tetapi yang nampaknya rawan di sini rupanya adalah sistem pengadilan dalam rangka penegakan kedisiplinan.

Dalam hal ini, perlu dipikirkan pola yang tepat agar upaya pendisiplinan tidak melibatkan kekerasan. Tentu ini menjadi catatan para pengasuh pondok. Misalnya, dengan memisahkan penyidikan dan penghukuman yang tidak seluruhnya dilimpahkan kepada santri yang atau kita sebut sebagai santri senior.

Berarti, tidak semata-mata fokus menangkap maling, tetapi juga pencegahan untuk mengurangi pencurian. Artinya, berkaca dari kasus Gontor, pesantren harus memikirkan seni mengurangi pelanggaran yang dalam hal ini adalah kekerasan. Dan satu hal lagi, hindari keputusan membakar hutan.

Membakar hutan untuk selevel Gontor adalah keputusan amat keliru. Merombak total pola pendidikan bukanlah langkah yang tepat, apalagi kualitas pendidikan pesantren Gontor tidak bisa dinafikan begitu saja. Hanya karena musibah nama baik mendera, bukan berarti menerapkan langkah fatal yang beresiko menjadi bencana jangka panjang.

Ada PR lain dari Gontor untuk segera dibenahi. PR ini sekaligus menjadi catatan dan cambuk bagi pesantren lain, yaitu mengenai penanganan kasus. Ini bukanlah perkara mudah.

Gontor di tengah pertaruhan nama baiknya harus mampu menuntaskan perkara yang menyulitkan. Hal iniiperlukan SOP yang jelas dalam menuntaskan perkara, apalagi menyangkut pidana. Kasus menghalang-halangi hukum (obstruction of justice) yang justru bisa terjadi pula di internal kepolisian menunjukan betapa rumit dan tidak mudahnya upaya pendisiplinan itu. 

Sebentar lagi regulasi dari kemenag terbit. Semoga hal ini bisa memudahkan seluruh pesantren di Indonesia dalam menegakan aturan dan mencegah kekerasan. Satu hal yang menjadi optimisme pesantren adalah para ulama. Di tangan kelemahlembutan dan ketulusan mereka, pesantren masih bisa berbesar hati dan semangat berbenah menuju pesantren yang lebih baik. Karena bagaimanapun, metode keteladanan selalu menjadi andalan dunia pendidikan yang selalu dinomersatukan. Diharapkan ketulusan mereka menancap ke hati para santri. Dalam Islam, keikhlasan akan dapat memengaruhi bekas pembelajaran.

Sungguh, pesantren membutuhkan jiwa-jiwa yang ikhlas dan tokoh-tokoh teladan terbaik. Zaman sudah begitu meresahkan, dan sentuhan spiritual diharapkan mampu meredam ujian-ujian yang tidak memanusiakan manusia di sekitarnya.

Langkah Tepat Orang Tua Korban

Sedih tentunya yang dirasakan hati orang tua. Mereka berharap anaknya menjadi manusia berkualitas di masa depan. Pesantren Gontor adalah pilihan demi impiannya itu. Pilihannya itu pun tidaklah keliru, mengingat betapa tersohornya pesantren tersebut dengan kualitas pendidikan yang menjadi teladan pesantren lainnya. 

Ironinya, harapan itu menjadi pupus kala mengetahui bahwa ia menerima sang anak bukan dalam keadaan sebagaimana diharapkannya. Ia harus lebih cepat menerima kepulangan anaknya, bahkan dalam keadaan sudah tak lagi bernyawa.

Masyarakat tidaklah keliru dengan keberpihakannya pada orang tua tersebut. Apa yang dilakukan orang tersebut merupakan langkah yang tepat agar seluruh pesantren di Indonesia semangat berbenah. Ia justru menjadi 'hero'nya pesantren Gontor. 

Berkat kejadian ini, persoalan jalur hukum agar tidak selamanya dipersepsikan sebagai pencemaran nama baik dan penghambat keberlangsungan pesantren. Dan juga, tidak seluruh konflik dapat ditangani dengan konteks kekeluargaan.

Gontor bukanlah pesantren biasa. Pola pendidikannya bahkan menjadi sentral seluruh pesantren di Indonesia. Banyak yang memimpikan anaknya menempuh pendidikan di sana. Satu kasus ini tidaklah bijak untuk menghapus prestasi dan kualitas pesantren ini seutuhnya. 

Menghapus sistem pendidikan terbaik sama dengan bencana. Bangsa ini sudah rawan dengan bencana. Kasus kejahatan di pesantren saja sudah mengindikasikan bencana. Lantas, bagaimana mungkin hendak menambah bencana baru dengan menghapuskan pendidikan emas bangsa? Seperti sebuah nasihat, satu kesalahan bukan berarti menghapuskan banyak kebaikan. Dan itulah kelirunya masyarakat kita.

Oleh: Shopiah Syafaatunnisa
Guru
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :