Fenomena Generasi Sandwich, Dr. Fika: Akibat Penerapan Kapitalisme - Tinta Media

Sabtu, 01 Oktober 2022

Fenomena Generasi Sandwich, Dr. Fika: Akibat Penerapan Kapitalisme

Tinta Media - Menyoroti fenomena lebih dari 50 juta warga Indonesia di usia produktif tergolong generasi sandwich (generasi yang terhimpit beban ekonomi karena mesti menghidupi anak-anaknya sekaligus menopang kebutuhan generasi di atasnya), penulis sekaligus ahli geostrategi dari Institute Muslimah Negarawan (ImuNe) Dr. Fika Komara mengatakan, akibat penerapan Kapitalisme.  
 
“Penyebab fenomena generasi Sandwich di Indonesia sesungguhnya berpulang pada dua, yakni pertama,  gaya hidup konsumtif akibat tatanan nilai sekularisme-materialisme dan kedua lemahnya peran negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (29/9/2022).
 
Fika menilai, penerapan sistem ekonomi kapitalisme di banyak negeri Islam memang telah memaksa banyak keluarga Muslim untuk fokus hanya pada perjuangan memenuhi kebutuhan dasar keluarga mereka, akibat kesenjangan dan kemiskinan yang terus dipelihara oleh sistem kufur ini.
 
“Promosi nilai-nilai materialisme sekuler juga telah mempengaruhi kualitas interaksi sosial dan mendehumanisasi hubungan keluarga menjadi serba ‘transaksional’,” kritik Fika.
 
Contoh hubungan transaksional itu, lanjut Fika,  anak adalah investasi, orang tua adalah mesin ATM, atau biaya pendidikan anak harus ‘balik modal’ dengan penghasilan dari pekerjaan anak. “Tabiat ‘transaksional’ dari gaya hidup kapitalis telah meracuni banyak keluarga Muslim ditambah kondisi ekonomi yang makin sulit akibat kebijakan negara yang neo-liberal seperti kenaikan BBM,” imbuhnya.
 
Fika menyayangkan, beberapa pakar keuangan di Indonesia menyebut penyebab generasi sandwich lebih kepada kegagalan generasi sebelumnya dalam merencanakan keamanan finansial yang berkelanjutan bagi generasi berikutnya.  
 
“Analisis seperti ini cenderung parsial dan berpotensi menimbulkan sentiment negatif (saling menyalahkan) antar generasi. Padahal penyebabnya tidak bisa berhenti di tataran keluarga saja, melainkan itu lebih luas dan mendasar yakni kehadiran peran negara,” ujar Fika memberikan argumen.  
 
Kesempitan Hidup
 
Menurut Fika, Al-Qur'an sesungguhnya telah memberi peringatan akan sempitnya hidup maʻīsyat[an] ḍanka  jika manusia berpaling dari peringatan Allah, yakni kesempitan hidup di dunia, tidak memperoleh kebahagiaan, dada mereka sempit karena kesesatannya.
 
Ia lalu membacakan Quran surat Thaha ayat 124.

﴿وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى﴾

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”
 
“Jelas sekali bahwa kesempitan hidup yang dirasakan generasi hari ini adalah akibat penjajahan ekonomi modern oleh Barat, akibat kelalaian kita meninggalkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan,” ungkap Fika.  
 
Ia menambahkan, negara abai dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat dan memberi karpet merah pada sektor privat untuk mengurusi layanan publik untuk umat.
 
“Produk hukum Islam dilecehkan dan lebih senang dengan hukum buatan sendiri. Sistem ekonomi didasarkan atas riba. Dan sistem sosialnya mentah-mentah meniru peradaban Barat yang dipenuhi paham kebebasan syahwat,” sesalnya.
 
Politik Ekonomi Islam
 
Padahal, menurut Fika,  prinsip politik ekonomi Islam yang dijelaskan Syaikh Taqiyuddin an Nabhani menekankan vitalnya peran negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat kepala per kepala atau orang per orang, bukan dinilai secara akumulasi seperti teori ekonomi kapitalis.
 
“Prinsip ini memiliki dampak sosiologis yang dahsyat. Kebutuhan dasar rakyat adalah kunci pertama sehatnya sebuah peradaban, penentu dalam pembangunan manusia, yang akan meng’unlock’ kualitas generasi peradaban secara berkelanjutan,” analisnya.  
 
Saat kebutuhan dasar terampas, jelas Fika, maka mereka akan terus menjadi inward looking dan individualis, tidak mampu memberi perhatian pada masalah besar lain, dan selalu berada dalam mode krisis di level rendah.
 
“Sebaliknya saat kebutuhan dasar terpenuhi maka manusia bisa bertumbuh dan berkembang lalu terbukalah (unlocking) banyak potensi akalnya dan perhatiannya pada masalah-masalah besar umat. Mereka akan menjelma menjadi manusia yang mampu mengukir prestasi dan karya peradaban yang lebih besar sehingga peradaban masyarakat terus berjalan dalam keluhuran dan kemuliaan,” ungkapnya.
 
Mereka, kata Fika,  akan menjadi generasi terbaik, manusia yang menjalani kehidupan yang baik karena ketaatan mereka pada Rabb-nya.
 
 “Balasan bagi mereka yang beriman dan beramal shalih, yakni kehidupan yang di dalamnya diliputi rasa kebahagiaan sehingga seseorang menjadi tenang dan lapang dalam menjalani kehidupan, tanpa rasa sesak dan beban yang menghimpit,” pungkas  Fika sambil membacakan Qur’an surat an-Nahl ayat 97.

﴿مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ﴾

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [] Irianti Aminatun
 
 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :