Tinta Media - Media sedang menyorot aktivitas Menteri Investasi Bahlil Lahadalia terkait perkembangan investasi tahun 2022, bahwa pemerintah akan memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia atau PTFI. Kontrak PTFI dengan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) akan berakhir pada tahun 2041 mendatang. (Tempo, 8/10/22)
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Presiden Joko Widodo yang menyebut bahwa 70 persen pendapatan PT Freeport Indonesia kini menjadi milik Indonesia. Hal ini terjadi pasca 51 saham perusahaan diakuisisi pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). (CNN, 11/10/22)
Merujuk kembali pada divestasi saham yang dilakukan oleh pemerintah, PT Inalum telah melakukan divestasi saham sejumlah 51,2 persen. Melalui Inalum, 2018 silam pemerintah membayar $3.85 miliar USD atau setara 55,7 triliun rupiah untuk meningkatkan sahamnya di PT Freeport Indonesia (PTFI). Dari 9,36 persen menjadi 51,2 persen.
Agaknya berlebihan jika menyampaikan bahwa tambang emas ini telah menjadi milik Indonesia, karena faktanya Indonesia melalui PT Inalum membeli hak partisipasi pada PT Rio Tirto yang dikonversi menjadi saham PT Freeport, dan menggenapinya dengan membeli dari Freeport McMoran.
Serangkaian usaha untuk menunjukkan bahwa pemerintah sudah menguasai saham mayoritas ini sumber pendanaannya dari surat utang atau Global Bond sebesar US$ 4 miliar atau sekitar Rp58,4 triliun yang dicatatkan di Amerika Serikat (AS). Obligasi global tersebut dalam empat seri yang baru berakhir setelah 2028 dan tentu berbunga besar. Imbasnya negara harus membayar utang Rp55 triliun plus bunganya yang dipakai untuk membeli saham PT Freeport.
Tak bisa dipahami, di mana keuntungan yang didapat negara jika diketahui 58,9% kepemilikan saham PT Inalum dimiliki oleh Nippon Asahan Aluminium (NNA) milik Pemerintah Jepang? Keuntungan yang digambarkan masuk dalam keuangan negara Indonesia justru sebagian besar masuk kantong Jepang.
Apalagi jika mengingat bagaimana PT Freeport selalu mangkir saat membayar pajak dan royalti.
Selain itu, kondisi lingkungan yang rusak pun tidak dipertanggungjawabkan oleh perusahaan, yang justru melakukan disinformasi dan pembohongan publik terkait proses tailing yang tidak sesuai antara pernyataan PT Freeport dengan kondisi faktual di lapangan.
Pemerintah menyuarakan narasi tentang PT Freeport yang memberikan keuntungan pada Indonesia. Padahal, jika ada untungnya, semua itu tidak akan pernah sebanding jika dikomparasikan dengan dampak besar pada Indonesia yang kekayaannya dikeruk semenjak 1976. Kerugian besar dan bertubi-tubi seakan tidak cukup untuk menjajah negeri ini. Penderitaan yang seharusnya berakhir pada 2021, malah akan berlanjut hingga 2041.
Ilusi ini hanyalah sebuah propaganda rezim kapitalis untuk membanggakan capaiannya yang telah menyelamatkan kekayaan Indonesia. Padahal, jika ingin mengambil alih kepemilikan sumber daya alam, seharusnya bukan membeli saham, melainkan merebut kembali tanah yang berada di teritori Indonesia sendiri.
Faktanya, tambang emas yang dikelola PTFI merupakan 10 tambang terbesar di dunia. Nilai cadangannya mencapai US$ 42 miliar, ditambah dengan cadangan tembaga senilai US$ 116 miliar dan perak senilai US$ 2,5 miliar. Total cadangan terbukti mencapai US$ 160 miliar atau setara Rp2.290 triliun.
Sumber daya emas yang menjadi kepemilikan swasta ini memberikan kerugian dan kerusakan besar. Sebaliknya jika sumber daya alam ini dikelola oleh negara, maka secara pengolahan pasti akan lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Terlebih jika negara menerapkan syariat Islam, maka pengelolaan sumber daya alam tidak akan dilakukan dengan eksploitasi massif.
Dalam pandangan Islam, tambang Freeport merupakan milik umum yang wajib dikelola oleh negara. Haram diserahkan kepada swasta, apalagi asing. Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menyatakan setiap syarat atau perjanjian yang bertentangan dengan firman Allah adalah batil walaupun ada 100 syarat. Karena itu, dalam pandangan Islam, tambang Freeport harus segera diambil alih oleh negara saat ini juga, tanpa menunggu 2021 atau tanpa melalui proses disvestasi.
Rasulullah saw. telah menjelaskan mengenai kewajiban mengelola sumber daya alam untuk kepentingan umum.
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum muslimin bersekutu (dalam kepemilikan) atas tiga hal: yaitu air, padang rumput dan api (HR al-Bukhari).
Air, padang rumput, dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali dibolehkan Rasulullah saw. untuk seluruh manusia. Harta ini tidak terbatas yang disebutkan pada hadis di atas, tetapi meliputi setiap benda yang terkandung di dalamnya.
Dalam pandangan Islam, tambang di Papua yang dikelola oleh PT Freeport merupakan milik umum yang wajib dikelola oleh negara, haram dikuasai oleh pihak asing. Sementara itu, yang melegalkan asing untuk mengeruk tambang adalah regulasi pemerintah yang bercorak kapitalisme sehingga liberalisasi menjadi spirit dalam pengelolaan SDA. Oleh karena itu, pemerintah harus melepaskan sistem ekonomi kapitalisme dan beralih pada ekonomi Islam. Islam adalah satu-satunya jalan kesejahteraan dan keberkahan bagi seluruh umat manusia.
Oleh: Bilqis Inas Nur H., S.K.G
Sahabat Tinta Media