Tinta Media - Terbukti secara nyata bahwa sistem demokrasi telah menjadi rumah besar bagi para koruptor, mulai dari pejabat tertinggi hingga pejabat terendah. Di Indonesia, berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak kurang sudah 176 kepala daerah tersandung permasalahan hukum.
Terakhir dan saat ini sedang ramai dibincangkan masyarakat adalah Gubernur Papua, Lukas Enembe. Bagaimana tidak, di balik dugaan gratifikasi Rp 1 miliar yang disangka KPK ternyata turut ditemukan adanya aliran dana tak wajar yang mencapai setengah triliun rupiah. Jika kemudian tudingan dan temuan KPK terbukti, maka Lukas bisa dianggap kepala daerah paling korup sepanjang sejarah.
Aliran dana tak wajar Lukas bukan baru-baru ini terdeteksi, melainkan sejak tahun 2017 sebagaimana disampaikan Ketua Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan. Hal itu menandakan selama lima tahun ke belakang praktis peran inspektorat lemah sebagai aparat pengawas internal pemerintah provinsi Papua sekaligus benteng awal preventif praktik korupsi.
Demokrasi telah melahirkan para koruptor dari level presiden, gubernur, menteri, anggota dewan, hakim, jaksa, polisi, bupati, bahkan hingga tingkat ketua RT. Rumah besar para koruptor ini kini terus dipelihara oleh para cecunguk demokrasi agar mereka tetap langgeng mempertahankan kekuasaan sekaligus melanjutkan korupsinya. Bahkan di negeri ini bansos yang menjadi hak rakyat miskinpun dikorupsi oleh meterinya.
Maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tak kunjung usai mewarnai jagad perpolitikan Indonesia. Bahkan fenomena ini oleh sebagain besar masyarakat Indonesia telah disebut sebagai budaya. Budaya artinya perbuatan yang diulang-ulang karena dianggap telah menjadi kebiasaan. Bisa jadi sistem demokrasi yang bersifat antroposentris yang meniadakan peran Tuhan telah melahirkan politik kleptokrasi, dimana mencuri uang rakyat dianggap sebagai budaya politik.
Biaya politik demokrasi itu sangat tinggi yang bisa menjadi pemicu lahirnya para koruptor ketika berkuasa dalam rangka mengembalikan modal politik sebelumnya. Misalnya saja, berdasarkan temuan Kementerian Dalam Negeri beberapa tahun lalu, anggaran yang harus disediakan calon kepala daerah bisa puluhan miliar rupiah, bahkan untuk level gubernur mencapai ratusan miliar rupiah. Jika dilihat pendapatan setiap bulan, mustahil pimpinan daerah tersebut dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat masa kampanye. Pada titik ini kemudian praktik korupsi merajalela dan berhasil menyeret ratusan kepala daerah ke proses hukum.
Jika dianalogikan, demokrasi itu seperti kolam ikan yang menarik orang untuk mendatanginya, berharap mendapatkan ikan-ikan itu untuk bisa dijadikan makanan. Mereka berduyun-duyun mendatangi kolam, namun sungguh mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya mereka sedang dalam jebakan yang membahayakan mereka sendiri. Ada konspirasi global yang tengah mengancam kehidupan mereka.
Sebenarnya demokrasi itu hanya berisi mitos-mitos indah yang menyihir rakyat, namun rakyat tak bisa banyak berbuat, karena kebodohan dan juga karena kelemahan dirinya. Fakta-fakta dunia akibat hegemoni demokrasi kapitalisme sebenarnya sudah begitu sangat gamblang melahirkan social destructive, namun bagi orang yang telah terkena sihir, seperti sapi yang telah dicocok batang hidungnya. Demokrasi itu seperti jebakan lubang biawak.
Ada bebarapa mitos demokrasi yang telah berhasil menyihir rakyat, termasuk kaum muslimin. Pertama, mitos bahwa demokrasi adalah sistem politik dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Padahal realitasnya adalah bahwa para kepala negara dan anggota parlemen negara-negara demokrasi (AS, Inggris) sebenarnya bukan mewakili rakyat, melainkan mewakili kehendak kaum kapitalis oligarki (pemilik modal, konglomerat).
Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara atau organisasi. Melansir Thoughtco, "Oligarki" berasal dari kata Yunani "oligarkhes", yang berarti "sedikit yang memerintah". Jadi, oligarki adalah struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang, yang dapat terkait dengan kekayaan, ikatan keluarga, bangsawan, kepentingan perusahaan, agama, politik, atau kekuatan militer. Oligarki adalah gembongnya para koruptor.
Mitos kedua demokrasi adalah bahwa demokrasi merupakan pemerintahan rakyat.
padahal realitas dan rasionalitasnya adalah tidak mungkin seluruh rakyat yang memerintah, sehingga tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer.
Mitos ketiga demokrasi adalah bahwa sistem politik ini membuka ruang kebebasan bagi siapa saja. Padahal realitas ternyata kebebasan itu hanya diperbolehkan apabila mendukung sekulerisme (azas demokrasi), namun apabila ternyata mendukung azas syariat Islam maka ia akan dihancurkan. Tidak ada kebebasan bagi perjuangan syariat Islam di negara demokrasi. Yang terjadi justru sebaliknya, perjuangan Islam malah dituduh radikalisme dan bahkan terorisme. Pelarangan jilbab di Perancis juga menunjukkan bahwa kebebasan itu hanyalah mitos belaka.
Mitos keempat demokrasi adalah bahwa ideologi transnasional ini akan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Padahal realitasnya dengan propaganda barat agar negara dunia ketiga menerapkan demokrasi untuk kesejahteraan, namun realitasnya hanya memakmurkan negara-negara kapitalis dan agen-agennya (seperti jepang dan singapore). Pada saat Badan Pangan Dunia (FAO) menyatakan 817 juta penduduk dunia kelaparan dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia, maka pada saat yang sama negara-negara maju sibuk melawan kegemukan. Pemenuhan kebutuhan pangan dan sanitasi USD13 miliar = +/- pengeluaran per tahun orang-orang Amerika dan uni eropa untuk membeli parfum mereka.
Kesejahteraan kaum kapitalis, bukan karena demokrasi, namun karena eksploitasi mereka terhadap kekayaan negara-negara lain dengan rakus. Kapitalisme tumbuh besar dengan merampok dan memiskinkan dunia ketiga secara sistimatis (seperti melalui krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian hutang, standarisasi mata uang dolar, dsbnya. Demokrasi dimanfaatkan untuk kepentingan penjajahan ekonomi, pertama dicap sebagai pelanggar demokrasi dan HAM, kemudian blokade ekonomi, dan perampokan kekayaan alam. Adalah mitos, sebab tidak ada relevansinya antara demokrasi dengan kesejahteraan.
Mitos kelima demokrasi adalah bahwa sistem kufur ini menjanjikan stabilitas.
padahal realitasnya menunjukkan bahwa demokrasi justru menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat. Ketika pintu kebebasan dibuka, justru banyak pihak yang menuntut disintegrasi sebagai wujud kebebasan dan kemerdekaan. Reformasi yang memunculkan konflik Timor timur, Aceh, Maluku dan Papua.
Demokrasi juga memunculkan kekisruhan dalam pemilihan kepala daerah juga memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku dan kelompok. Disintegrasi yang berlarut-larut di alam demokrasi mestinya menjadi kesadaran betapa bahayanya sistem politik ini. Topeng demokrasi juga terbukti telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia.
Mitos keenam demokrasi adalah bahwa ideologi ini menjanjikan sebuah kemajuan karena kreatifitas, kreatifitas karena kebebasan, kebebasan karena demokrasi
‘tanpa demokrasi, timur tengah akan menjadi stagnan (jumud)’. Begitulah narasi yang dibangun selama ini. Padahal realitasnya adalah sebaliknya. Persoalannya bukan pada kebebasan atau tidak, namun apakah masyarakat memiliki kebiasaan berfikir produktif atau tidak.
Demokrasi kapitalisme adalah ideologi transnasional yang sejatinya merupakan neoimperialisme negara asing aseng kepada negeri-negeri muslim. Negeri-negeri muslim yang pernah bersatu padu dalam satu kepemimpinan khilafah Islam, kini tercabik menjadi lebih dari 57 negara oleh nasionalisme sempit.
Negara yang menerapkan demokrasi kapitalisme sekuler pada hakekatnya adalah negara komprador, yakni negara budak yang tidak akan pernah merdeka. Watak komprador dimulai dari intervensi asing dan aseng dalam pemilu, dimana banyak calon pemimpin yang didukung dana oleh para kapitalis asing dan aseng untuk dijadikan budak setelah menjadi pemimpin.
Pemimpin komprador sebenarnya tidak lebih dari sebuah boneka tak bernyawa, sebab hidupnya dibawah belenggu dan kendali penjajah kapitalisme dan materialisme. Secara bahasa kata komprador maknya adalah pengantara bangsa pribumi yang dipakai oleh perusahaan atau perwakilan asing dalam hubungannya dengan orang-orang pribumi.
Para pengkhianat yang berkomplot dengan penjajah hanya demi mendapatkan dunia telah terjadi sejak lama. Indonesia dijajah lebih dari 3 abad bukan karena tidak ada para pejuang yang melalawannya, namun karena banyuaknya pengkhianat. Para pengkhianat itu selalu menjadi mata-mata bagi para penjajah untuk memberikan informasi terkait negerinya sendiri. Para pengkhianat juga sering kali mengadu domba rakyat sendiri untuk ditonton oleh para penjajah.
Para pengkhianat juga sering kali menebarkan hoax dan fitnah kepada sesama saudara sebangsa demi mendapatkan materi dari penjajah. Para komprador ini ibarat anjing yang rela makan tulang saudaranya sendiri. Demokrasi adalah rumah besar para koruptor karena sejatinya adalah neoimperialisme dan hegemoni oligarki yang disokong oleh para pemimpin boneka. Demokrasi dan korupsi tak mungkin dipisahkan, sebab telah menjadi budaya politiknya.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 01/10/22 : 08.30 WIB)
Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa