Daerah Pertanian Terkena Rawan Pangan, Kok Bisa? - Tinta Media

Minggu, 30 Oktober 2022

Daerah Pertanian Terkena Rawan Pangan, Kok Bisa?

Tinta Media - Ketua DPRD Kabupaten Bandung, Sugiharto membantah pernyataan Bupati Bandung Dadang Supriatna, yang sebelumnya menyatakan bahwa terdapat 20 desa yang masuk kategori rawan pangan, Salah satunya Desa Sugih Mukti, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. 

Sugiharto menilai, bahwa Desa Sugih Mukti tidak tergolong rawan pangan, karena pertanian di sana cukup baik, bahkan warga desa beternak dan bertani. Oleh karena itu, pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Bandung sebaiknya mulai membangun infrastruktur di desa tersebut, termasuk akses jalan. (Kamis, 6/9/2022)

Sugiharto mengakui bahwa dia tahu betul persoalan yang ada di desa tersebut, yaitu terdapat perkebunan yang dikelola oleh swasta, yang dikenal dengan nama Paranggong. Produktivitas teh di perusahaan itu cukup tinggi, sehingga terjadi persaingan antara perusahaan swasta dengan hasil produksi teh yang dikelola masyarakat lokal.

Menilik dari realitas tersebut, walaupun masih banyak masyarakat yang bertani dan berternak untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan swasta besar yang hadir di tengah-tengah mereka. Wajar jika petani sekitar merasa khawatir dan menilai bahwa kehadiran perusahaan swasta akan menjadi masalah bagi keberlangsungan pertanian dan perkebunan mandiri, milik individu masyarakat.

Persaingan kekuatan modal dan mekanisme pemasaran yang djalankan, tentu saja akan dimenangkan oleh perusahaan besar, sehingga para petani lokal akan kalah. Apalagi jika perusahaan tersebut bukan hanya berskala nasional, tetapi multinasional, bahkan internasional, para petani akan gulung tikar.

Hal tersebut terjadi karena telah dibukanya keran investasi asing secara besar-besaran di hampir seluruh bidang, sehingga berpeluang masuknya para pemodal (kapitalis) asing, dan menjadi pemain utama, dari hulu hingga hilir, dari mulai penyediaan benih hingga panen dan pemasaran. 

Selain itu, kondisi buruk yang dialami para petani akibat tingginya biaya operasional dan rendahnya penjualan hasil pentanian dan perkebunan, sering kali mengakibatkan mereka putus asa, hingga ada yang membuang-buang produk mereka, karena sangat kesal dan kecewa akibat kerugian yang dialami.

Terlebih lagi, adanya para pengepul yang melakukan spekulasi harga di tengah penyesuaian kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Ini menambah kemarahan para petani, karena berakibat anjloknya harga komoditas mereka. Berbagai faktor tersebut telah mematikan kehidupan para petani lokal, sehingga desa yang mata pencaharian utamanya bertani dan berkebun, masyarakatnya terancam krisis pangan. Ketika para petani lokal mati, maka perusahaan swastalah yang menguasai sektor pertanian dan perkebunan ini dan mendapatkan keuntungan besar.

Pembangunan infrastruktur jalan yang diusulkan, bukan solusi terhadap masalah yang dihadapi para petani lokal, tetapi kemampuan untuk aktif dalam berproduksi kembali. Adapun infrastruktur jalan hanya berhubungan dengan kemudahan dalam distribusi. Pada akhirnya, infrastruktur jalan yang dibangun hanya dapat dinikmati oleh perusahaan swasta yang eksis, untuk memudahkan distribusi hasil panen mereka.

Inilah realitas kehidupan di alam kapitalis sekuler, yang mengedepankan kepentingan para kapitalis dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam pertanian. Hukum rimba pun berlaku, yang kaya dan kuat semakin berkuasa, yang miskin dan lemah semakin terpuruk. 

Ketimpangan sosial terjadi di mana-mana. Masyarakat kecil makin terjepit, menjerit, sedangkan pihak-pihak yang berkuasa dan bermodal besar, merasa bebas melakukan apa saja demi kepentingan dirinya sendiri, tanpa merasa berdosa. 

Sistem kapitalis sekuler adalah sistem yang rusak dan merusak, telah menggerus sisi kemanusiaan dan fitrah manusia. Kita butuh sistem hidup yang memanusiakan manusia, dan itu hanya datang dari Zat yang menciptakan manusia, yaitu Allah Swt. Itulah sistem Islam.

Di dalam Islam, ketersediaan pangan dalam memenuhi kebutuhan rakyat menjadi hal yang utama, karena terkait dengan pemenuhan kebutuhan primer manusia. Oleh karena itu, negara akan senantiasa memastikan bahwa para petani senantiasa produktif dalam pertaniannya. Jika perlu, negara akan menyuplai ketersediaan bibit unggul, pupuk, dan pengairan yang memadai bagi para petani, sehingga memudahkan mereka dalam berproduksi. 

Para petani akan berlomba dalam menghasilkan produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, hingga ketahanan pangan tercipta. Jikapun surplus dan memungkinkan untuk dijual ke luar negeri, boleh untuk dilakukan. 

Kebijakan negara tidak membolehkan adanya orang asing dalam pengelolaan pertanian di dalam negeri. Persaingan yang ada hanyalah antar petani dalam negeri yang secara sehat berdasarkan syariat Islam.

Adapun keberadaan para pengepul, mereka diharamkan di dalam Islam. Maka, tidak dibolehkan ada yang menjalankan profesi tersebut. Jikalau ada yang melakukan praktik pengepulan, akan dikenai sanksi ta'zir dari kepala negara (khalifah).

Terkait pembangunan infrastruktur, maka negara sangat memperhatikan keberadaanya untuk memudahkan pendistribusian berbagai komoditas pertanian agar sampai ke tengah masyarakat.

Infrastruktur tersebut mulai dari bendungan untuk irigasi, jalan-jalan, jembatan, dan lain-lain, yang merupakan fasilitas umum bagi seluruh rakyat, sebagai milik rakyat secara umum, dan didanai dari dana milik umum, yang dikelola oleh negara. 

Keberadaan infrastruktur ini adalah murni sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyat. Oleh karena itu, pembangunannya pun tidak akan melanggar hak-hak rakyat, seperti mengambil tanah rakyat secara paksa dengan alasan pembangunan infrastruktur seperti banyak terjadi di dalam negara kapitalis. Kalaupun harus menggunakan tanah rakyat, maka dengan akad yang jelas, semisal jual-beli. Itu pun dengan tetap memperhatikan kelestarian alam sekitarnya, sehingga tidak ada satu pun aspek kezaliman di dalamnya. Kebijakan ini berpijak pada sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya: 

"Imam (pemimpin) ibarat penggembala yang dia akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang dia gembalakan" (HR Bukhari)

Demikianlah, ketahanan pangan di dalam Islam hanya dapat terwujud ketika pengaturannya dikembalikan kepada sistem ekonomi Islam sebagai bagian dari penerapan Islam kaffah oleh negara khilafah. Untuk mewujudkan hal tersebut, butuh perjuangan yang sungguh-sungguh, berdakwah memahamkan umat tentang kesempurnaan dan keindahan Islam, hingga menjadi rahmat bagi seluruh alam. Semoga Allah segera memberikan pertolongan-Nya kepada kita untuk tegaknya syariah Islam kaffah, aamiin.

Wallahu'alam.

Oleh: Dartem
Ibu Rumah Tangga

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :