Tinta Media - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet pernah menyatakan bahwa pencabutan subsidi dalam negeri menunggu momentum yang tepat, saat ekonomi telah membaik. Artinya, jika tahun ini subsidi listrik dicabut, maka terbukti bahwa ekonomi negeri telah membaik. Benarkah demikian?
Sudah membaikkah ekonomi negeri ini pasca pandemi Covid-19 dan kenaikan harga BBM, sehingga mau dicabut pula subsidi listrik? Faktanya, demo penolakan pencabutan subsidi semakin massif. Ini justru membuktikan bahwa ekonomi rakyat kian terhimpit.
Jika kita jeli mengamati, sejatinya rencana pencabutan subsidi listrik bukan semata-mata karena ekonomi telah membaik. Namun, ini lebih ditujukan untuk mengurangi biaya kompensasi negara kepada PLN. Jika tarif listrik tidak disesuaikan, pemerintah menganggap besarnya kompensasi dalam bentuk subsidi kepada PLN semakin membebani negara.
Miris, pemerintahan di sistem kapitalis menganggap bahwa pemenuhan kebutuhan rakyat sebagai beban negara. Padahal, negara wajib menjadikan rakyatnya makmur melalui pemenuhan segala kebutuhan dasar hidup dengan harga yang murah, bahkan gratis.
Rencana pemerintah mencabut subsidi listrik juga membuktikan upayanya melepas tanggung jawab dalam mengurus rakyat. Bahkan tidak cukup menghapus subsidi, ternyata negara juga melakukan liberalisasi kelistrikan.
Hal ini menjadikan pihak swasta bisa ikut campur dalam pengadaan listrik rakyat. Dengan dalil efisiensi, produktivitas dan segala sebutan yang seolah baik, maka jalur swasta dan asing dibuka lebar. Itu artinya, sektor listrik dijadikan sebagai barang komersial untuk mengeruk keuntungan dari rakyat. Sungguh, ini merupakan kezaliman.
Kenapa zalim? Karena sesungguhnya listrik merupakan barang milik umum yang bisa dinikmati oleh siapa pun. Namun, ketika diliberalisasikan, statusnya berubah menjadi ladang bisnis bagi pengusaha yang bekerja sama dengan penguasa. Saat itu terjadi, maka harapan rakyat untuk bisa memanfaatkan listrik dengan harga murah, bahkan gratis, hanyalah mimpi belaka. Itulah kezaliman yang nyata.
Pengelolaan listrik yang merupakan kebutuhan pokok umat, dikelola sebagai komoditi dan hasilnya dijual kepada rakyat. Atas nama investasi, swasta mengelola kelistrikan yang justru dapat melemahkan peran negara sebagai pelayan rakyat. Inilah konsep kapitalis yang bertumpu pada keuntungan semata.
Konsep pengelolaan energi ala kapitalis seperti di atas sangat berbeda dengan Islam. Jika kapitalisme menghalalkan segala cara guna meraih keuntungan, walau mengabaikan kesejahteraan rakyat, maka Islam justru berusaha menyejahterakan masyarakat.
Dalam Islam, negara berfungsi untuk mengurusi kepentingan rakyat dan memenuhi kebutuhannya. Karenanya, masalah bidang kelistrikan PLN dapat diselesaikan dengan cara menghentikan liberalisasi energi dan mengembalikannya kepada negara sebagai pengelola utama. Itu karena listrik termasuk barang kepemilikan umum, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad bahwa umat muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (termasuk energi listrik).
Ketika negara menjadi pengelola utama, maka hasilnya dapat dinikmati masyarakat sepenuhnya dengan harga murah, sekadar mengganti biaya operasional. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. bahwa dalam implementasinya negara berperan sebagai pengelola energi dan hasilnya diberikan untuk kemaslahatan umat dalam bentuk pelayanan. Oleh karenanya, negara akan mengelola energi, tidak dengan prinsip komersial. Semua dapat dinikmati secara merata, di kota maupun desa. Tidak dibedakan antara rakyat kaya maupun miskin, semua memiliki hak sama dalam menikmati barang hasil kepemilikan umum.
Semua ini hanya dapat terwujud dalam kehidupan yang diatur oleh sistem sahih. Sistem ini berasal Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta, yaitu Allah Swt. yaitu Negara Khilafah. Karenanya, perjuangan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah menjadi agenda yang harus diutamakan umat Islam saat ini. Allahu a’lam bish shawab.
Oleh: R. Raraswati
Sahabat Tinta Media