𝐅𝐍 𝐈𝐓𝐔 ‘𝐌𝐄𝐒𝐈𝐍 𝐖𝐀𝐊𝐓𝐔’ 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐌𝐄𝐌𝐁𝐀𝐖𝐀 𝐏𝐄𝐌𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐊𝐄 𝐌𝐀𝐒𝐀 𝐋𝐀𝐋𝐔 - Tinta Media

Senin, 31 Oktober 2022

𝐅𝐍 𝐈𝐓𝐔 ‘𝐌𝐄𝐒𝐈𝐍 𝐖𝐀𝐊𝐓𝐔’ 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐌𝐄𝐌𝐁𝐀𝐖𝐀 𝐏𝐄𝐌𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐊𝐄 𝐌𝐀𝐒𝐀 𝐋𝐀𝐋𝐔


Tinta Media - Masih ingat 𝑘𝑎𝑛 karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠 /FN) itu apa? Seperti yang sudah dibahas pada artikel yang berjudul 𝑆𝑒𝑛𝑖 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑙𝑖𝑠𝑘𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑟𝑖𝑠𝑡𝑖𝑤𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑔𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑐𝑎 (silakan klik https://bit.ly/3TdiUCG), FN merupakan rekonstruksi suatu peristiwa dalam bentuk cerita yang membuat pembaca seolah-olah berada dalam kejadian tersebut (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒/membayangkan). 
.
Pertanyaannya, lantas bagaimana agar pembaca seolah-olah berada di lokasi tempat peristiwa itu terjadi dan seakan menyaksikan kejadiannya? Ya tentu saja si penulis mereka ulang adegan-adegan yang terjadi dalam peristiwa tersebut dalam berbagai bentuk kalimat cerita. Bila tulisan dianalogikan dengan rekaman video, maka penulis kembali ke masa peristiwa itu berlangsung lalu merekamnya. Kemudian video tersebut ditayangkan kepada pembaca pada saat ini. 
.
Contoh kasus, saya hendak mengajak Anda pada peristiwa pendangkalan akidah yang terjadi di SMK Grafika Desa Putera yang terjadi pada 2005. Maka, dengan berbekal ‘kamera’ dan ‘mesin waktu’ saya masuk pada peristiwa tersebut melalui ‘portal’ berupa wawancara dengan salah satu aktor/tokoh yang terlibat yakni Guru Agama SMK Borobudur Cilandak KKO H Ace Suhaeri pada awal Februari 2012 di Jagakarsa, Jakarta Selatan. 
.
‘Video’ rekamannya bisa Anda baca dari paragraf pertama hingga paragraf keenam FN 𝐴𝑑𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐴𝑘𝑖𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑖 𝑆𝑀𝐾 𝐺𝑟𝑎𝑓𝑖𝑘𝑎 𝐷𝑒𝑠𝑎 𝑃𝑢𝑡𝑒𝑟𝑎 (silakan klik https://bit.ly/3zSQ2t3). Apakah adegan pada 2005 tersebut terbayang di benak Anda? Bila jawabannya iya, berarti saya telah berhasil mengajak Anda ke masa lalu dengan menggunakan ‘mesin waktu’. 
.
Jadi, kejadian di masa lalu (sedetik sebelum ditulis pun termasuk masa lalu ya), disampaikan ulang oleh penulis kepada pembaca. Sesuai definisinya, FN itu rekonstruksi peristiwa yang disampaikan dalam bentuk cerita. 
.
FN itu ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 menyampaikan kejadian 𝑠𝑎𝑗𝑎. (ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 dan 𝑠𝑎𝑗𝑎, kalau dalam bahasa Arab ini disebut taukid [penguatan]. Kalau dalam bahasa Indonesia ini termasuk pemborosan kata. Maksud saya sih, penguatan ya bukan pemborosan, he… he…).
.
𝑻𝒖𝒋𝒖𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂:
Untuk mengambarkan (feature) sedemikian rupa agar seolah-olah pembaca berada di lokasi kejadian dan menyaksikan peristiwa dimaksud.
.
𝑪𝒊𝒓𝒊-𝒄𝒊𝒓𝒊𝒏𝒚𝒂: 
- Semua kalimat yang digunakan baik kalimat langsung maupun tidak langsung hanya kalimat-kalimat yang menginformasikan semua kejadian di waktu itu saja, bukan di waktu lainnya.
- Dialog atau pernyataan dalam kalimat langsung yang disampaikan pun hanya dialog atau pernyataan tokoh dalam peristiwa tersebut dan ditujukan kepada tokoh lainnya saat itu yang sama-sama ada dalam peristiwa tersebut. Bukan ditujukan kepada reporter/penulis ataupun pembaca naskah FN tersebut.
.
Sekilas membuat paragraf bercerita semacam itu mudah namun pada praktiknya tidak jarang penulis malah terjebak kepada dua hal. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, salah pilih waktu kejadian. 𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, salah memilih gaya tulisan. 
.
.
𝐖𝐀𝐊𝐓𝐔 𝐊𝐄𝐉𝐀𝐃𝐈𝐀𝐍
.
Waktu kejadian ada dua macam. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, waktu kejadian yang sesungguhnya alias waktu kejadian ketika peristiwa itu berlangsung. 𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, waktu kejadian ketika reporter/penulis mewawancarai narasumber atau mengutip daftar pustaka (teks, audio, foto, video, audio visual) terkait kejadian pada poin pertama.  
.
Nah, menulis FN yang benar adalah menggunakan tulisan gaya bercerita yang benar-benar masuk ke waktu kejadian poin pertama di atas, bukan poin kedua. 
.
Jadi, bila bermaksud merekonstruksi peristiwa pendangkalan akidah yang terjadi pada 2005, maka paragraf yang dibuat haruslah benar-benar paragraf yang merekonstruksikan kejadian pada 2005, bukan merekonstruksikan kejadian pada 2012 saat narasumber menceritakan pendangkalan akidah yang terjadi pada 2005.
.
𝐂𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡-𝐂𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡
.
𝑪𝒐𝒏𝒕𝒐𝒉 𝒑𝒂𝒓𝒂𝒈𝒓𝒂𝒇 𝒌𝒂𝒍𝒊𝒎𝒂𝒕 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒍𝒂𝒏𝒈𝒔𝒖𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒑𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒉 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝒌𝒆𝒋𝒂𝒅𝒊𝒂𝒏 (2005).
.
.
Meskipun agak risih, namun H Ace Suhaeri, diam dan mendengarkan salah seorang siswa yang berdiri dan memimpin doa sekitar 20 siswa dengan membentuk salib oleh tangan ke kepala dan bahu, sesaat sebelum ujian nasional (UN) dimulai di SMK Grafika Desa Putra, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. 
.
.
Inilah yang dimaksud dengan paragraf bercerita yang tepat dalam memilih waktu. Karena ketika menargetkan merekonstruki kejadian di 2005 maka direkonstruksikanlah kejadian pada 2005, bukan merekonstruksikan kejadian 2012 saat wawancara tentang kejadian 2005.
.
𝑪𝒐𝒏𝒕𝒐𝒉 𝒑𝒂𝒓𝒂𝒈𝒓𝒂𝒇 𝒌𝒂𝒍𝒊𝒎𝒂𝒕 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒍𝒂𝒏𝒈𝒔𝒖𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒆𝒍𝒊𝒓𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒉 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖, 𝒎𝒂𝒌𝒔𝒖𝒅 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒉 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝒌𝒆𝒋𝒂𝒅𝒊𝒂𝒏 (2005), 𝒎𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒆𝒃𝒂𝒌 𝒌𝒆 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒘𝒂𝒘𝒂𝒏𝒄𝒂𝒓𝒂 (2012).
.
.
𝐇 𝐀𝐜𝐞 𝐒𝐮𝐡𝐚𝐞𝐫𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚, dirinya diam dan mendengarkan salah seorang siswa yang berdiri dan memimpin doa sekitar 20 siswa dengan membentuk salib oleh tangan ke kepala dan bahu, sesaat sebelum ujian nasional (UN) dimulai di SMK Grafika Desa Putra, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Padahal, dirinya merasa risih melihat kejadian tersebut. 
.
.
Jelas sekali frasa yang ditebalkan itu menunjukkan waktu saat wawancara berlangsung (2012). Ini yang dimaksud dengan salah memilih waktu kejadian. Jadi, si penulis bukannya mengajak pembaca ke tahun 2005 tetapi malah ke tahun 2012. 
.
Frasa “bercerita” itu juga merupakan indikasi Ace sedang bercerita, tentu saja bila “Ace sedang bercerita” menunjukkan peristiwa kejadian 2012. Bercerita kepada siapa? Tentu saja kepada reporter/penulis atau pembaca. 
.
𝑪𝒐𝒏𝒕𝒐𝒉 𝒑𝒂𝒓𝒂𝒈𝒓𝒂𝒇 𝒌𝒂𝒍𝒊𝒎𝒂𝒕 𝒍𝒂𝒏𝒈𝒔𝒖𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒑𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒉 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝒌𝒆𝒋𝒂𝒅𝒊𝒂𝒏 (2005).
.
.
Ace pun penasaran dan ingin tahu, apakah ada di antara siswa di kelas itu yang beragama Islam. “𝐀𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐤𝐚𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐦𝐮𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐠𝐚𝐦𝐚 𝐊𝐫𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧?” 𝐩𝐚𝐧𝐜𝐢𝐧𝐠 𝐀𝐜𝐞. 
.
.
Namun, betapa kagetnya dia ketika mendengar jawabannya. “𝐄𝐧𝐠𝐠𝐚𝐤, 𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐫𝐮𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐢𝐧𝐢 𝐬𝐞𝐦𝐮𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐌𝐮𝐬𝐥𝐢𝐦!” 𝐮𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩 𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐢𝐬𝐰𝐚.
.
.
Perhatikan kedua kalimat langsung di atas! Dalam paragraf pertama tersebut jelas sekali Ace berbicara kepada siswa-siswi (sesama tokoh dalam cerita pada 2005). Begitu juga dalam paragraf kedua salah seorang siswa di atas, jelas-jelas menjawab pertanyaan Ace (sesama tokoh dalam cerita pada 2005).
.
Inilah yang dimaksud dengan tepat dalam memilih waktu karena ketika menargetkan merekonstruki kejadian di tahun 2005 maka direkonstruksikanlah kejadian pada 2005, bukan merekonstruksikan kejadian 2012 saat wawancara tentang kejadian 2005.
.
𝑪𝒐𝒏𝒕𝒐𝒉 𝒌𝒂𝒍𝒊𝒎𝒂𝒕 𝒍𝒂𝒏𝒈𝒔𝒖𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒆𝒍𝒊𝒓𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒉 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖, 𝒎𝒂𝒌𝒔𝒖𝒅 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒉 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝒌𝒆𝒋𝒂𝒅𝒊𝒂𝒏 (2005), 𝒎𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒆𝒃𝒂𝒌 𝒌𝒆 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒘𝒂𝒘𝒂𝒏𝒄𝒂𝒓𝒂 (2012).
.
.
Ace pun penasaran dan ingin tahu, apakah ada di antara siswa di kelas itu yang beragama Islam. “𝐒𝐚𝐲𝐚 𝒌𝒂𝒏 𝐩𝐞𝐧𝐚𝐬𝐚𝐫𝐚𝐧, 𝐦𝐚𝐤𝐚 𝐬𝐚𝐲𝐚 𝐭𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚, ‘Apakah kalian semuanya beragama Kristen?’” ujar Ace.
.
.

Ace pun mengaku kaget ketika mendengar jawaban salah seorang siswa. “𝐒𝐚𝐲𝐚 𝐤𝐚𝐠𝐞𝐭 𝐤𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐢𝐬𝐰𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐰𝐚𝐛, ‘Enggak, bahkan di ruangan ini semuanya Muslim!’” ungkapnya. 
.
.

Perhatikan kedua contoh di atas! Dalam kedua contoh tersebut jelas sekali Ace berbicara kepada reporter/penulis (pada 2012) tentang kepenasarannya saat 2005. Indikasinya terlihat dari frasa yang ditebalkan. 
.
Begitu juga paragraf kedua, jelas sekali Ace berbicara kepada reporter/penulis (pada 2012) tentang jawaban salah seorang siswa yang membuat Ace kaget pada 2005. Indikasinya terlihat dari frasa yang ditebalkan.
.
.
𝐑𝐀𝐒𝐀 𝐓𝐔𝐋𝐈𝐒𝐀𝐍
.
Rasa tulisan itu ada banyak macamnya, di antaranya adalah rasa FN, bila redaksi kata yang dituangkan itu menggunakan gaya tulisan bercerita sebagaimana yang sudah dibahas di atas. Selain itu ada pula gaya tulisan lainnya. Dua di antaranya adalah gaya tulisan opini (O) dan gaya tulisan berita lugas (𝑠𝑡𝑟𝑎𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑛𝑒𝑤𝑠/SN).
.
Bila gaya tulisan opini dan SN tersebut memperkokoh FN dan jumlahnya sedikit (tidak sebanyak paragraf cerita) maka bisa diterima sebagian bagian dari FN secara keseluruhan. Paragraf gaya SN dan gaya O yang dapat diterima sebagai bagian dari FN utuh tersebut saya beri nama paragraf FN rasa O dan FN rasa SN. 
.
𝑪𝒐𝒏𝒕𝒐𝒉 𝒈𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒖𝒍𝒊𝒔𝒂𝒏 𝑺𝑵:
.
.
Di tempat terpisah, Kristolog Irena Handono menyampaikan pendapatnya terkait kasus tersebut. “Inilah suatu bukti yang konkret bahwa ternyata umat yang dianggap kasih sayang, dianggap toleran justru terbukti sebagai umat yang tidak bertoleransi,” simpulnya kepada 𝑀𝑒𝑑𝑖𝑎 𝑈𝑚𝑎𝑡, pertengahan Februari 2012 di Jakarta. 
.
.
Jelas, gaya tulisan seperti ini tidak boleh satu paragraf pun muncul dalam naskah FN di atas, karena narsumnya bukanlah pihak yang terlibat dalam peristiwa yang diceritakan, bukan pula pihak yang memvalidasi bahwa kejadian tersebut benar-benar terjadi, jadi ini sudah murni SN, sama sekali bukan FN rasa SN. Jadi, sebaiknya pernyataan narsum tersebut dibikin tulisan SN utuh yang terpisah dari FN.
.
Dalam naskah yang sudah dipublikasikan di tabloid (versi panjang yang dimuat pada rubrik 𝑀𝑒𝑑𝑖𝑎 𝑈𝑡𝑎𝑚𝑎 𝐼 tabloid 𝑀𝑒𝑑𝑖𝑎 𝑈𝑚𝑎𝑡 edisi 76 yang terbit pada pertengahan Februari 2012 maupun versi pendek yang dimuat pada rubrik 𝐾𝑟𝑖𝑠𝑡𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖 tabloid 𝑀𝑒𝑑𝑖𝑎 𝑈𝑚𝑎𝑡 edisi 275 yang terbit awal Oktober 2020) paragraf SN tersebut muncul persis setelah paragraf kedelapan. 
.
Namun dalam naskah yang dilampirkan untuk artikel ini, paragraf SN murni tersebut saya hapus karena bukan contoh yang baik dalam menulis FN. Pernyataan saya ini bisa juga dianggap sebagai revisi atas munculnya paragraf SN di atas pada tabloid tersebut.
.
𝑪𝒐𝒏𝒕𝒐𝒉 𝒈𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒖𝒍𝒊𝒔𝒂𝒏 𝒐𝒑𝒊𝒏𝒊:
.
.
𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐮𝐚 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐛𝐞𝐫𝐡𝐚𝐭𝐢-𝐡𝐚𝐭𝐢 𝐦𝐞𝐦𝐢𝐥𝐢𝐡 𝐬𝐞𝐤𝐨𝐥𝐚𝐡 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐚𝐧𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚. 𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐦𝐢𝐥𝐢𝐡, 𝐚𝐥𝐢𝐡-𝐚𝐥𝐢𝐡 𝐚𝐧𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐦𝐚𝐤𝐢𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐭𝐚𝐤𝐰𝐚 𝐦𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐤𝐢𝐝𝐚𝐡𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐦𝐚𝐤𝐢𝐧 𝐝𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐥 𝐥𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐚𝐣𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐩𝐫𝐚𝐤𝐭𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐨𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐚𝐣𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐚𝐠𝐚𝐦𝐚 𝐥𝐚𝐢𝐧 sebagaimana terjadi di SMK Grafika Desa Putra, Jagakarsa, Jakarta Selatan. 
.
.
Jelas, gaya tulisan seperti ini tidak boleh satu paragraf pun muncul dalam naskah FN di atas, karena sikap penulisnya terlalu kental, itu sudah benar-benar murni opini, sama sekali bukan FN rasa O. 
.
Memang benar, salah satu tujuan saya menulis FN 𝐴𝑑𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐴𝑘𝑖𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑖 𝑆𝑀𝐾 𝐺𝑟𝑎𝑓𝑖𝑘𝑎 𝐷𝑒𝑠𝑎 𝑃𝑢𝑡𝑒𝑟𝑎 agar pembaca hati-hati dalam memilih sekolah untuk anaknya, namun bukan berarti penulis bisa langsung menuliskan sikap dirinya sedemikian rupa sebagaimana menulis opini. 
.
Mengapa? Karena FN merupakan 𝐫𝐞𝐤𝐨𝐧𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐬𝐢 𝐤𝐞𝐣𝐚𝐝𝐢𝐚𝐧 yang dikemas dalam bentuk cerita, 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐧𝐲𝐢𝐤𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐚𝐭𝐚𝐬 𝐤𝐞𝐣𝐚𝐝𝐢𝐚𝐧. Dalam kejadian yang tertuang di FN tersebut tidak ada indikasi pernyataan maupun perbuatan dari satu tokoh pun yang mengupayakan agar orang tua berhati-hati memilih sekolah untuk anaknya. 
.
Jadi, penulis FN tersebut sama sekali tidak boleh beropini sedemikian rupa di dalam FN yang ditulisnya. Kalau mau, silakan bikin naskah opini yang isinya mengajak pembaca berhati-hati menyekolahkan anaknya di sekolah semacam itu.
.
Nah, kesalahan yang terjadi adalah alih-alih menggunakan gaya bahasa bercerita malah menggunakan gaya bahasa lain (selain gaya bahasa FN), umumnya ke gaya tulisan SN ataupun opini seperti di atas dan tidak memperkokoh rekonstruksi kejadian yang disampaikan dalam paragraf cerita. Walhasil tidak bisa disebut sebagai FN rasa SN ataupun FN rasa O.
.
.
𝐋𝐔𝐋𝐔𝐒 𝐒𝐄𝐍𝐒𝐎𝐑
.
Mungkin di antara Anda ada yang bertanya-tanya, mengapa hanya paragraf SN Irena Handono saja yang dihapus sedangkan paragraf lainnya dibiarkan tetap ada dalam FN tersebut, bukankah seharusnya semua paragrafnya merupakan paragraf bercerita? Tetapi mengapa ada paragraf SN dan paragraf O? Mengapa pula kedua macam gaya tulisan tersebut disebut FN rasa SN dan FN rasa O?
.
Benar, selain paragraf cerita, ada juga paragraf SN dan O. Rinciannya sebagai berikut: FN rasa FN = 56,25 persen (9 paragraf); FN rasa SN = 31,25 persen (5 paragraf); dan FN rasa O = 12,5 persen (2 paragraf).
.
Namun, dapat diterima sebagai bagian dari satu tulisan FN yang utuh. Karena bila dibaca secara keseluruhan, lima paragraf SN dan dua paragraf O tersebut merupakan argumen untuk menguatkan paragraf-paragraf cerita (FN murni/FN rasa FN). Apalagi mayoritas paragrafnya (56,25 persen) murni FN. Sehingga paragraf-paragraf tersebut layak disebut sebagai FN rasa SN dan FN rasa O. 
.
Sedangkan paragraf SN dan paragraf O yang tidak bisa diterima sebagai bagian dari FN tidak bisa disebut sebagai FN rasa SN dan FN rasa O. Ada dua faktor yang membuat kedua macam gaya tulisan tersebut tidak bisa diterima sebagai bagian dari FN.  
.
𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, seperti yang sudah dibahas di atas, paragraf SN dan atau paragraf O tersebut bukan sebagai bagian penekanan rekonstruksi kejadian. 
.
𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, jumlah paragraf SN dan atau paragraf O lebih banyak daripada paragraf bercerita. Bila paragraf SN lebih banyak daripada paragraf bercerita maka bukan FN rasa SN namanya tetapi SN rasa FN. Begitu juga bila paragraf O lebih banyak daripada paragraf bercerita maka nama yang tepatnya adalah O rasa FN, bukan FN rasa O. 
.
Nah, paragraf SN dan O yang ditulis dalam FN di atas (kecuali paragraf pernyataan Irena Handono yang sudah saya hapus) tidak kena delik salah satu dari dua delik di atas. Dengan kata lain lulus sensor dan layak disebut FN rasa SN (karena berupa pernyataan narsum untuk menguatkan FN di paragraf-paragraf awal), dan FN rasa opini (berupa analisis penulis dari pernyataan narsum, sebagai titik tekan pesan yang mesti dituliskan agar sebagian pembaca yang kurang paham menjadi paham).
.
Maksudnya FN rasa SN itu bukan berarti merekonstruksikan kejadian yang langsung kepada pokok permasalahan sebagaimana definisi SN ya, tetapi lebih kepada merekonstruksi kejadian yang mencantumkan sanadnya/sumbernya/narasumbernya sebagaimana lazimnya gaya tulisan SN.
.
𝑪𝒐𝒏𝒕𝒐𝒉 𝑭𝑵 𝒓𝒂𝒔𝒂 𝑺𝑵:
.
.
“Saya kan kaget, sementara siswa saya di SMK Borobudur yang siswa Kristennya dua orang saja, pelajaran agamanya diserahkan kepada Pendeta,” 𝐮𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐝𝐚 𝑴𝒆𝒅𝒊𝒂 𝑼𝒎𝒂𝒕, pada awal Februari 2012. 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐫𝐮𝐭𝐧𝐲𝐚, bahkan praktik ujian agama untuk siswa Muslimnya pun bukan shalat atau baca Al-Qur’an tetapi membuat cerita dari Bibel.  
.
.
Dalam frasa yang ditebalkan tersebut jelas sekali Ace berkata kepada reporter/penulis atau pembaca bukan kepada sesama tokoh yang ada di dalam cerita. Sudah dapat dipastikan ini memang FN rasa SN.
.
Selain pada paragraf kedelapan di atas, paragraf FN rasa SN juga tampak jelas pada: paragraf kesebelas; ketiga belas; keempat belas; dan kelima belas, FN tersebut.
.
Semuanya FN rasa SN tersebut memiliki semangat yang sama: menunjukkan kepada pembaca bahwa penulis itu tidak mengada-ada, tetapi jelas kok sanadnya yakni dari para narasumber tersebut. Jadi FN rasa SN ini menguatkan FN rasa FN yang sudah dipaparkan sebelumnya. Kalau FN rasa SN ini bisa bicara, dia bilang begini, “Wahai Pembaca, FN rasa FN yang disajikan itu jelas kok sanadnya, yakni tercantum dalam paragraf-paragraf saya (FN rasa SN).”
.
Bahkan dalam kasus FN di atas, FN rasa SN tersebut juga memastikan kepada pembaca bahwa FN rasa FN (kejadian pendangkalan akidah) tersebut bukan hanya berlangsung pada 2005 tetapi masih saja berlangsung setidaknya sampai Februari 2012 (ketika reporter/penulis mewawancarai para narasumber dalam paragraf FN rasa SN tersebut).
Jadi, tujuannya dibuat FN rasa SN itu untuk menunjukkan referensi penulisan kepada pembaca. Dengan kata lain, untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa matan (konten) yang disampaikan penulis di paragraf-paragraf bercerita (paragraf FN murni) itu jelas sanad/sandarannya yakni dari narasumber/daftar pustaka dan seterusnya yang tercantum dalam paragraf FN rasa SN, alias bukan khayalan penulis.
.
Begitu juga dengan FN rasa O, penulis tidak boleh menyikapi fakta dari setiap aspek yang ingin disikapi penulis. Dalam FN rasa O, sikap penulis dibatasi hanya sebatas menganilis fakta yang direkonstruksikan dalam FN saja, tidak boleh lebih. 
.
𝑪𝒐𝒏𝒕𝒐𝒉 𝑭𝑵 𝒓𝒂𝒔𝒂 𝑶:
.
.
Ucapan Sumadiyono itu 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐧𝐣𝐮𝐤𝐤𝐚𝐧 bahwa 𝐬𝐞𝐤𝐨𝐥𝐚𝐡 𝐊𝐚𝐭𝐨𝐥𝐢𝐤 𝐥𝐚𝐢𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐭𝐨𝐥𝐞𝐫𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐡𝐚𝐝𝐚𝐩 𝐬𝐢𝐬𝐰𝐚 𝐌𝐮𝐬𝐥𝐢𝐦. 
.
.
Nah, opini semacam ini masih bisa ditoleransi masuk ke dalam FN karena pendapat tersebut hanyalah menyimpulkan 𝐫𝐞𝐤𝐨𝐧𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐬𝐢 𝐤𝐞𝐣𝐚𝐝𝐢𝐚𝐧/𝐮𝐜𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐧𝐚𝐫𝐬𝐮𝐦 yang terlibat dalam upaya pendangkalan akidah. Jadi, sebatas itu saja opininya, sehingga layak dikatakan FN rasa O. Rekonstruksi kejadian tersebut diungkap pada paragraf 12, paragraf FN rasa SN yang berbunyi:
.
.
 “Secara jujur kami sampaikan 𝐮𝐣𝐢𝐚𝐧 𝐩𝐫𝐚𝐤𝐭𝐢𝐤 𝐝𝐢 𝐤𝐚𝐦𝐢 𝐛𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐥𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐞𝐝𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐬𝐞𝐤𝐨𝐥𝐚𝐡 𝐊𝐚𝐭𝐨𝐥𝐢𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐢𝐧, (sekolah Katolik yang lain, red) 𝐢𝐭𝐮 𝐦𝐢𝐬𝐚𝐥𝐧𝐲𝐚 𝐚𝐝𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐤𝐢𝐭𝐚𝐛 𝐬𝐮𝐜𝐢, 𝐤𝐞𝐦𝐮𝐝𝐢𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐚𝐧𝐲𝐢, 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢𝐧𝐲𝐚, 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚 𝐢𝐧𝐢 𝐦𝐮𝐧𝐠𝐤𝐢𝐧 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐫𝐚𝐤𝐭𝐢𝐤 𝐤𝐚𝐦𝐢 𝐜𝐮𝐤𝐮𝐩 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐝𝐨𝐚. Dan itu doanya sesuai dengan doa-doa agamanya masing-masing,” ujarnya kepada 𝑴𝒆𝒅𝒊𝒂 𝑼𝒎𝒂𝒕, Selasa (7/2/2012) pagi di ruang tamu SMK Grafika Desa Putera.
.
.
𝐒𝐈𝐌𝐏𝐔𝐋𝐀𝐍
.
- Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan penulisan FN itu mestilah ditulis menggunakan paragraf bercerita (paragraf FN). Tidak boleh menggunakan paragraf lainnya kecuali paragraf lain tersebut (paragraf SN, paragraf O) memang hanya untuk menunjukkan sanad dan memperkuat rekonstruksi kejadian yang ditulis dalam bentuk paragraf cerita. 
.
- Paragraf-paragraf tersebut disebut sebagai FN rasa SN/FN rasa O. Sedangkan bila tidak ada kaitannya dengan paragraf bercerita, maka itu paragraf SN atau paragraf O murni yang tidak bisa disebut sebagai paragraf FN rasa SN atau FN rasa O dan tidak boleh dijadikan bagian dari FN utuh.
.
Bila sudah paham bahwa menulis FN itu seperti itu, cermat memilih waktu kejadian dan tidak lagi salah menggunakan gaya tulisan, insyaAllah, FN yang kita buat menjadi ‘mesin waktu’ yang membawa para pembaca kepada peristiwa di masa lalu. Coba bikin yuk! Bismillah...[]
.
.
Depok, 27 Rabiul Awal 1444 H | 23 Oktober 2022 M
.
𝐉𝐨𝐤𝐨 𝐏𝐫𝐚𝐬𝐞𝐭𝐲𝐨
Jurnalis
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :