Tinta Media - Mudir Ma’had Khodimus Sunnah Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) menegaskan, tidak boleh meminta bantuan kepada LSM yang didirikan oleh non muslim, dengan syarat tertentu, yang dapat menguasai diri seorang muslim.
"Permintaan bantuan yang ada syarat-syarat tertentu, yang dapat menguasai diri muslim tersebut atau ada ketentuan yang memang memadharatkan dia sebagai Muslim atau memberikan jalan kepada orang-orang non muslim untuk menguasai seorang muslim maka tidak boleh," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (16/10/2022).
Selanjutnya, ia menyampaikan dalil ketidakbolehan tersebut.
وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman," terangnya.
Berdasarkan ayat di atas, Ustaz Yuana, sapaan akrabnya kembali menegaskan bahwa tidak boleh memberikan kesempatan bagi kafir untuk menguasai kaum muslimin. "Ayat tersebut jelas, tidak boleh memberikan kesempatan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum muslimin," ujarnya.
Jika bentuknya adalah akad ijarah, kata Ajengan Yuana, misalnya kerjasama usaha ataukah dalam bentuk syirkah. Seperti ajir misalnya, maka selama itu pekerjaannya halal kemudian juga tidak berdampak pada sesuatu yang dapat memudaratkan kaum muslimin maka boleh-boleh saja jadi bekerja sebagai sebagai Ajir dalam sebuah pekerjaan yang halal.
Namun, menurutnya, jika LSM itu bertujuan memata-matai kaum muslimin dan mengambil manfaat dan mengantarkan pada kemadaratan maka tidak boleh.
"Tetapi kalau memang LSM tersebut Tujuannya adalah untuk memata-matai muslim, kemudian mengambil banyak kemanfaatan atau keuntungan dari kaum muslimin maka harus ditinjau ulang. Dan jika itu adalah bentuk kemudaratan maka tidak boleh," tandasnya.
Kemudian ia juga menjelaskan mengenai fenomena bantuan atau kerjasama dengan non muslim pada masa kekhilafahan dilihat dari dua sisi.
"Fenomena semacam itu, dalam masa kekhilafahan dulu, kerjasama apapun itu termasuk juga jual beli atau ijarah dengan orang-orang asing harus ditinjau dari dua sisi," katanya.
Pertama, adalah status kewarganegaraan. Kalau status negaranya adalah negara yang muhariban fi'lan, maka tidak boleh. "Yaitu negara yang secara nyata memerangi kaum muslimin. Kalau negaranya adalah negara yang muhariban hukman atau yang terikat perjanjian, dengan kata lain kafir muahid, maka melakukan hubungan dagang dan lain sebagainya maka dibolehkan," tutur Ajengan.
Kedua, bentuk kerjasamanya. "Kalau misalnya kerjasamanya sesuatu yang dapat memberikan dharar (bahaya) pada kaum muslimin, sebagaimana poin yang tadi di awal itu, juga enggak boleh. Meskipun misalnya negaranya bukan negara muhariban fi'lan," pungkasnya. [] Nur Salamah