Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra menilai isu narasi radikalisme dan terorisme adalah agar umat Islam tidak membawa ajaran Islam ke ranah politik.
“Faktanya umat Islam jadi tertuduh dengan kedua isu tersebut (radikalisme dan terorisme) dengan tujuan agar umat Islam tidak membawa ajaran Islam ke ranah politik,” ujarnya kepada Tinta Media, Kamis (27/10/2022)
Ia mencontohkan pada saat Pilkada DKI yang lalu, isu terbesarnya adalah haramnya pemimpin kafir.
“Isu tersebut semakin membesar ketika ada fakta penistaan terhadap ayat al-Maidah ayat 51, kemudian melahirkan Aksi 212 yang sangat fenomenal hingga acara Reuni 212,” ucapnya.
Dari peristiwa 212 ini kemudian muncul respons negatif dari berbagai pihak termasuk media massa. Mereka menggunakan isu radikalisme untuk memukul umat Islam.
“Di antaranya menuding kelompok Islam yang menolak pemimpin kafir adalah kelompok radikal, intoleran, dan berbagai label buruk lainnya. Mereka menggunakan isu radikalisme untuk memukul umat Islam, hal ini tak mungkin terbantahkan,” tuturnya.
Ia mengungkapkan bahwa seiring perkembangan, istilah radikal atau radikalisme merupakan istilah politik, bukan agama sehingga istilah ini dimaknai dengan kepentingan politik penguasa.
“Kata radikal dan moderat merupakan proxy war, ghozwul fikr atau perang istilah dengan tujuan devide et impera, politik adu domba Barat atas umat Islam, padahal dalam pandangan Islam dituntut menjadi muslim yang bertakwa dan kaffah. Sejatinya radikal kata yang netral, berubah konotasinya menjadi negatif karena dipengaruhi oleh adanya kepentingan politik,” ungkapnya.
Isu radikalisme dan terorisme jika dilihat dari korbannya justru sebagian besar adalah negeri muslim, kelompok muslim, dan orang yang beragama Islam.
“Irak dan Afganistan menjadi negeri korban perang melawan terorisme ala Amerika dengan alasan yang dibuat-buat. HAMAS yang ingin mempertahankan negerinya dari penjajahan Israel masuk dalam daftar kelompok teroris, sebaliknya Israel yang nyata melakukan tindakan terorisme, alih-alih diinvasi, label teroris saja tidak pernah dilekatkan,” bebernya.
Ia membenarkan perkataan seorang jurnalis Australia John Pilgers bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tidak ada perang terhadap terorisme, yang ada perang menggunakan alasan terorisme.
“Bisa di analisa berdasarkan akal sehat bahwa narasi radikalisme dan terorisme adalah narasi Barat untuk menyerang Islam,” ucapnya.
Tuduhan radikal dan radikalisme atas muslim dan Islam oleh Barat dan negara anteknya dapat ditelusuri jejaknya, bersumber dari laporan dokumen yang berjudul Mapping The Global Future oleh Dewan Intelijen Nasional Amerika (National Inteligent Council/NIC).
“Dokumen ini berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia. NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020an,” katanya.
Pertama, Dovod World yakni kebangkitan ekonomi Asia. China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia.
“Kedua, Pax Americana di mana dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh Amerika Serikat,” ujarnya.
Ketiga, A New Caliphate, yakni kebangkitan kembali khilafah Islam. Khilafah Islam adalah pemerintahan global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat.
“Dan keempat, Cycle of Fear, yaitu lingkaran ketakutan. Dari sinilah (keempat hal tersebut) sesungguhnya narasi radikal radikul itu bermula,” ucapnya.
Menghadapi perang pemikiran ini maka sebagai umat Islam yang berakal harus terus berdakwah menjelaskan ajaran Islam yang baik dari Yang Maha Baik dan untuk kebaikan negeri ini.
“Umat juga perlu dijelaskan ancaman sesungguhnya bagi negeri ini adalah sistem kapitalisme-liberalisme, menanamkan kesadaran politik agar umat tidak terjebak dalam konstalasi politik internasional,” ungkapnya.
Ia mengakhirinya dengan mengatakan bahwa pentingnya membina umat dengan pemikiran Islam untuk menghadapi tantangan ghozwul fikr sebab saat ini terjadi pertarungan yang tidak seimbang.
“Penting juga menyadarkan masyarakat untuk memilih sistem yang baik dan benar dalam melepaskan negeri ini dari berbagai persoalan, dan umat Islam harus memiliki kekuatan politik untuk menghadapi propaganda musuh Islam,” pungkasnya. [] Ageng Kartika