Tinta Media - Hilangnya pasal Tunjangan Profesi Guru (TPG) dalam RUU Sisdiknas memantik protes dari kalangan guru. Pemerintah pun didesak untuk mencantumkan kembali hak guru tersebut seperti yang dimuat di UU Guru dan Dosen No. 14/2005. (edukasi.sindonews.com, 29 Agustus 2022)
PB PGRI menyayangkan, dalam draft RUU Sisdiknas substansi penting mengenai TPG justru menghilang. PB PGRI menyebutkan, dalam RUU Sisdiknas draft versi April 2022 yang beredar luas, di pasal 127 ayat 3 tertera jelas pemberian tunjangan profesi bagi guru dan dosen. Namun, draft versi Agustus 2022 yang beredar luas di masyarakat pendidikan, pemberian tunjangan profesi guru, tunjangan khusus bagi guru di daerah terpencil, dan tunjangan kehormatan dosen sebagaimana tertulis dalam ayat 3-10 pasal 127 hilang, hanya dicantumkan ayat 1 dari pasal 127 draft versi April dalam pasal 105 draft versi Agustus 2022.(edukasi.sindonews.com, 29 Agustus 2022)
Besaran TPG diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor, berkisar satu juta hingga lima juta lebih tergantung jenis golongan dan kelas PNS. Sedangkan untuk guru non PNS, besaran tunjangan profesinya diberikan sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi guru dan dosen PNS.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Iwan Syahril justru mengatakan, “RUU Sisdiknas mengatur bahwa guru yang sudah mendapat tunjangan profesi melalui proses sertifikasi, baik guru ASN dan non-ASN akan tetap mendapat tunjangan tersebut hingga pensiun sepanjang mereka memenuhi peraturan perundang-undangan.”(kompas.tv.com, 31 Agustus 2022)
Kapitalisme Tidak Berpihak pada Pendidik
Tunjangan adalah bentuk pengakuan dan penghargaan akan ke-profesian guru dan dosen. Terlebih sudah menjadi rahasia umum jika masih banyak guru dan dosen yang belum mendapatkan gaji memadai, terutama di sekolah atau kampus swasta, sehingga penghapusan tunjangan dari RUU jelas mengganggu rasa keadilan terhadap profesi guru. Belum lagi, pada faktanya gaji PNS dipotong dengan berbagai iuran. Gaji ke-13 yang dijanjikan pun turut terhambat. Inilah dampak dari kebijakan yang mengedepankan kepentingan dan egoisme kekuasaan. Kebijakan ini lahir dari sistem kapitalis yang minim rasa keadilan, empati, dan peduli terhadap dunia pendidikan.
Anggaran pendidikan sering dipotong demi alasan efisiensi, sedangkan ketika mereka mengalokasikan dana untuk membeli gorden kantor DPR, renovasi gedung, seragam pejabat, kalender, dan sejenisnya, mereka mengatakan hal tersebut adalah kebutuhan.
Padahal tenaga pendidik seharusnya mendapatkan kesejahteraan sehingga optimal dalam mendidik generasi penerus bangsa. Sayang, kebijakan sistem kapitalisme membuat mereka terbebani dengan biaya hidup. Akibatnya, banyak guru yang tidak optimal dalam mengajar karena harus mencari uang tambahan.
Islam Memberi Tunjangan Pendidik Secara Fantastis
Sangat berbeda dengan sistem Islam, ketika mengurus masalah biaya pendidik serta sarana prasarana pendidikan. Sistem Islam yang memang peduli pendidikan generasi, akan berupaya memberikan tenaga pendidikan yang terbaik, memastikan setiap individu tenaga pendidik mendapat kesejahteraan mereka. Kesejahteraan ini terwujud dalam pemberian gaji yang begitu besar. Dengan gaji itu, para pendidik bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Alokasi gaji para guru diambil dari Baitul Mal melalui dua pos, yakni pos kepemilikan negara, seperti fa’i, kharaj, ghanimah, khumus seperlima harta rampasan perang, , jizyah, dharibah, dan pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak, gas, hutan, laut, dan hima.
Adapun besaran gaji yang akan didapatkan oleh para pendidik sangat besar, seperti apa yang dilakukan Umar bin Khaththab r.a ketika mengatur gaji pendidik, dalam buku ‘Fikih Ekonomi Umar bin Khaththab, Jaribah bin Ahmad Alharitsi’ dijelaskan bahwa gaji pendidik negeri Islam diberikan dalam jumlah tidak kurang dari batas kecukupan, yakni sebaiknya sejalan dengan kondisi umum bagi umat. Artinya, gaji tersebut secara ma’ruf memenuhi kebutuhan pendidik itu sendiri dan keluarganya.
Dengan konsep ini, Khalifah Umar bin Khatthab mampu memberi gaji guru di Madinah yang merupakan guru anak-anak sebesar 15 dinar, jika dikonversikan ke dalam rupiah maka setara dengan Rp62.156.250 (1 dinar = 4,25 gram emas, 1 gram emas 24 karat senilai Rp975.000). Bisa dibayangkan berapa gaji para pegawai negeri lainnya.
Begitu pula pada masa kekhalifahan Shalahuddin al-Ayyubi. Pada saat itu, Syaikh Najmuddin al-Khabusyani menjadi guru di Madrasah al-Shalahiyyah. Setiap bulannya beliau digaji 40 dinar ditambah 10 dinar untuk mengawasi wakaf madrasah. Gaji tersebut setara dengan Rp207.187.500. Angka yang luar biasa fantastis.
Begitu besar gaji dan tunjangan guru jika negara menerapkan aturan Islam dalam semua aspek kehidupan, khususnya dalam bidang pendidikan. Kesejahteraan itu tidak akan tercapai dalam sistem kapitalisme.
Oleh: Evi Avyanti, S.Pd.
Guru SMA di Bandung