Tinta Media - Bahagia sekali, kemarin (Senin, 5/9) penulis dapat berdiskusi dengan Ekonom Senior, Anthony Budiawan. Managing Director Political Economy and Policy Studies yang juga pernah menjadi Rektor Kwik Kian Gie School of Business pada September 2011—Agustus 2015.
Berdiskusi dengan Lulusan Universitas Erasmus, Belanda ini, memberikan banyak manfaat bagi penulis, terutama bagaimana berlogika dalam menata kebijakan fiskal negara. Kebijakan yang tak _an sich_ berorientasi pada kesetimbangan APBN, tetapi juga memperhatikan kepentingan rakyat.
Dalam diskusi virtual yang digelar Pusat Kajian & Analisis Data (PKAD), Prof Anthony menjelaskan hingga akhir periode APBN 2022, pemerintah hanya akan mendapatkan kocek sekitar Rp31 triliun dari kebijakan menaikan harga BBM. Sementara, pada saat yang sama pemerintah juga mengalokasikan bansos sebesar Rp24 triliun untuk kompensasi atas kenaikan BBM. Praktis, perolehan pendapatan bersih dari kebijakan menaikan harga BBM ini hanya sekitar Rp7 triliun.
Padahal, dampak kenaikan harga BBM ini jelas akan mengerek angka inflasi, harga-harga barang naik, jasa angkutan dan transportasi naik, biaya produksi naik, potensi PHK, meningkatnya angka kemiskinan, dan pada akhirnya akan menambah beban dan penderitaan rakyat. Dampak tersebut jelas sangat mahal biayanya, ketimbang perolehan tambahan dana yang hanya sebesar Rp7 triliun dari kebijakan menaikan harga BBM.
Di akhir diskusi, saat Cak Slamet Sugiyanto meminta penulis menyampaikan point preview dan closing statement, penulis sampaikan hal-hal sebagai berikut :
*Pertama,* penulis menghimbau kepada pemerintah agar seyogyanya mengevaluasi kebijakan menaikan harga BBM dengan membatalkannya. Rakyat saat ini butuh kehadiran negara untuk turut meringankan beban rakyat yang baru saja tersapu badai pandemi.
*Kedua,* kebijakan menaikan harga BBM tidak lepas dari usaha melakukan liberalisasi sektor hilir migas, setelah sukses meliberalisasi sektor hulu. Kebijakan ini adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal yang dipraktikan oleh negara.
*Ketiga,* sudah saatnya segenap elemen anak bangsa untuk terbuka dan mau mendengar alternatif solusi khususnya solusi yang berasal dari Islam. Pengelolaan energi termasuk migas dengan perspektif ideologi kapitalisme jelas-jelas tidak adil dan sangat menyengsarakan rakyat.
Kebijakan yang pro kapitalis, pro oligarki, adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal. Karena itu, saat ada tawaran alternatif sistem ekonomi Islam, semestinya solusi perspektif Islam ini harus diberi ruang diskusi dan kajian yang lebih luas, khususnya diskusi soal potensi penerapannya di negeri ini.
Dalam perspektif Islam, BBM dan sumber energi lainnya seperti batubara dan migas adalah Public Good, harta milik umum yang tidak boleh (haram) dikuasai individu, korporasi, swasta, asing maupun aseng. Harta-harta yang terkategori milik umum (Public Property/al Milkiyatul Ammah) sudah semestinya wajib dikelola negara dan dikembalikan manfaatnya kepada rakyat.
Artinya, seluruh swasta yang bermain dalam sektor energi baik tambang minyak, gas hingga batubara harus hengkang, dan tambang-tambang itu wajib dikuasai dam dikelola Negara sebagai wakil rakyat. Dengan pengelolaan oleh negara maka orientasi ekspolitasi sumber energi adalah untuk public service, bukan profit oriented.
Dalam perspekrif Islam, kebijakan fiskal untuk mengelola APBN juga harus dikelola berdasarkan petunjuk syariah. Barang-barang yang terkategori milik umum dan milik negara menjadi sumber pemasukan APBN. Tidak seperti saat ini, sangat tergantung pada pajak dan utang.
Hanya saja, kebijakan pengelolaan energi secara Islami ini membutuhkan otoritas kekuasaan yang Islami yakni sistem kekuasaan Khilafah. Khilafahlah, yang akan mengelola kebijakan fiskal negara secara Islami.
Sayangnya, saat ini diakursus Khilafah justru ditempatkan sebagai diskursus ancaman. Padahal, Khilafah adalah solusi sistemik untuk menerapkan kebijakan energi yang Islami, ekonomi yang Islami bahkan lebih jauh akan menerapkan sistem kehidupan yang Islami, yang dijamin adil dan menyejahterakan. [].
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik