Tinta Media - Terkait narasi yang disampaikan oleh pemerintah bahwa subsidi BBM membebani APBN, dipertanyakan oleh Advokat Ahmad Khozinudin (AK).
"Bahwa narasi yang selama ini disampaikan oleh pemerintah soal subsidi BBM itu akan membebani APBN, soal bahwa harus ada realokasi APBN yang berpihak kepada rakyat miskin, soal bahwa APBN kita akan jebol kalau harga BBM tidak dinaikkan. Nah, ini fakta atau hanya narasi? Bahkan apakah ini malah hoax atau kebohongan?" tuturnya dalam acara Forum Silaturahmi Ulama dan Tokoh Kabupaten Garut yang bertajuk Peran Ulama dan Tokoh Masyarakat Kabupaten Garut dalam menyikapi Kenaikan Harga BBM, Ahad (11/09/2022), yang ditayangkan di Kanal Youtube Ahmad Khozinudin Channel.
Terkait subsidi, ia memandang harus didudukkan dulu yang namanya subsidi itu seperti apa.
Ia mencontohkan seorang tukang kredit panci. Tukang kredit panci itu, dia membeli panci dengan modal 10 ribu. Harga pasaran panci itu 18 ribu. Kemudian dia jual panci itu ke pelanggan sebesar 12 ribu. Dia katakan kepada pelanggan, "Pak, panci itu sebenarnya harganya18 ribu, tapi bapak, saya subsidi 4 ribu. Cukup ke bapak saya jual 12 ribu," ungkapnya mencontohkan.
"Ini subsidi apa subsidi?" tanyanya. "Orang yang nyubsidi panci itu untung apa untung?" cecarnya.
Ia melanjutkan, bahwa tukang panci itu masih untung sebesar 2 ribu. Kenapa dia untung? karena, modal dasarnya 10 ribu. Kalau dia jual 18 ribu, untungnya lebih banyak lagi.
"Berarti, ketika dia jual 12 ribu, dia ngasih subsidi atau ngurangin keuntungan? Hanya mengurangi keuntungan," terangnya.
Ahmad menjelaskan bahwa seharusnya subsidi itu adalah ada biaya beban modalnya tergerus karena kurang. Baru pemerintah menambal modal, "Itulah subsidi," jelasnya.
"Kalau yang dimaksud subsidi itu adalah selisih harga pasar pesaing Pertamina dengan yang dijual Pertamina, ini namanya subsidi ala tukang panci," imbuhnya.
Karena, sambung Ahmad, Pertamina tidak pernah menjelaskan cost (biaya) produksi BBM per liter itu berapa.
"Sekarang bagaimana bisa kita mempercayai, meyakini pemerintah memberi subsidi kepada kita kalau Pertamina tidak pernah menjelaskan cost produksi per liter itu berapa," ujarnya.
Menurutnya, kalau cost produksi atau biaya yang menghasilkan Pertalite seliter itu adalah 18 ribu atau 17 ribu, dijual 10 ribu, baru kita disubsidi 7 ribu.
"Tapi pertanyaannya, pemerintah tidak pernah menjelaskan berapa biaya cost produksi dari minyak kita," sesalnya.
Yang selalu dijadikan acuan itu namanya ICP (Indonesian Crude Price) atau standar harga minyak Indonesia. Harga jualnya itu ICP.
Ia menjelaskan ICP itu yang membentuk komponennya formula itu mereka ada ESDM, SKK Migas, dan Menteri Keuangan. Standar untuk membentuk ICP itu bahan bakunya adalah harga minyak mentah dunia.
"Jadi, kalau harga minyak mentah dunia naik, ICPnya naik. Kalau harga minyak dunia turun, ICPnya turun. Jadi ICP ini dibentuk dari komponen harga minyak mentah dunia," terangnya.
Ahmad mengungkapkan bahwa bahan baku minyak yang dijadikan Pertalite, Pertamax dan yang lainnya tidak semuanya diimpor dari luar negeri.
"Kita punya 70% yang kita produksi dari bumi yang oleh Allah berikan gratis untuk seluruh rakyat Indonesia. Beli ga itu?. Gratis! Cuma biaya ngebor. Biaya ngebor dengan biaya beli ke pasar internasional murah mana?. Murah ngebor," tandasnya.
"Kenapa kita disuruh beli minyak dengan standar minyak dunia, kalau yang distandari begitu orang Singapura, wajar!" kesalnya.
"Kenapa? Karena Singapura enggak punya ladang minyak, kita punya walaupun 70%," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka