Tinta Media - Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menyatakan, alasan kenaikan harga BBM berupa subsidi yang salah sasaran sangatlah klasik.
"Jadi, kalau kita melihat argumen yang diberikan pemerintah. Ini sebenarnya argumen yang klasik," terangnya dalam kabar petang: Buruh Digeprek Kenaikan BBM, Selasa (06/09/2022) di kanal YouTube Khilafah News.
Iwan mengajak untuk melihat bahwa ada ratusan pengguna sepeda motor di Indonesia, dan diantaranya ada pedagang, tukang ojek, pekerja, pelajar, mahasiswa, dan lainnya.
"Yang mereka ini bukan golongan yang dikatakan kemudian mampu atau orang-orang kaya. Karena mereka juga menggunakan kendaraan itu untuk aktivitas ekonomi sehari-hari," jelasnya.
Hal ini menurutnya adalah tindakan kezaliman. "Jadi ini yang pertama memang pemerintah hanya mengambil shortcut saja, jalan pintas, tidak memerhatikan dampak luas" tuturnya.
Lalu yang kedua, lanjutnya, pemerintah mengatakan ada alokasi dana subsidi 502 triliun, kenyataannya bukan. Itu adalah total subsidi energi. "Adapun untuk BBM itu sebesar 401, 8 triliun. Ini pun sampai sekarang masih dihitung rinciannya," terangnya.
Jadi menurutnya, sebenarnya belum transparan berapa anggaran subsidi BBM yang diberikan kepada masyarakat.
Sebetulnya, sambung Iwan, masih ada keuntungan bagi negara ketika menaikkan harga BBM. "Mereka masih punya stok BBM sisa untuk tahun ini. Dan jika stok ini dikalikan harga BBM saat ini, maka pemerintah masih mendapatkan keuntungan hingga triliunan rupiah," ungkapnya.
Iwan menyebutkan, bahwa ini cukup menyelamatkan APBN dan masyarakat, itu tidak tepat. Dari sisi lain jangan lupa, per Juli 2022, ini negara juga punya pendapatan yang besar. Apa itu? Dengan kenaikan harga batubara, misalnya seperti itu," jelasnya.
Menurutnya, ini juga harus menjadi Pemasukan negara yang digunakan seluas-luasnya untuk membantu masyarakat, diantaranya memberikan BBM dengan harga yang terjangkau. "Dan andaikata memang tidak ingin diberikan kepada orang yang mampu atau yang kaya begitu kan, mestinya diperbaiki mekanismenya, bukan kemudian ambil keputusan yang sangat cepat dan paling gampang, menaikkan harga BBM. Jadi dengan seperti ini sebetulnya memang mereka ini tidak mau ambil pusing," bebernya.
Dan yang ketiga, Iwan mengatakan, penyebab beban berat APBN bukan subsidi BBN, tapi adalah utang Indonesia yang sangat besar. "Sehingga kalau dikatakan bahwasanya kita ini, subsidi BBM menjadi beban APBN. Yang paling besar itu adalah beban tadi itu utang. Karena utang yang ditanggung pemerintah Indonesia ini, ini sudah sangat besar sekali, termasuk bunga cicilannya. Sehingga ini kemudian memberatkan pemerintah," paparnya.
Oleh karena itu, sambungnya, jika pemerintah memang ingin meringankan beban APBN, yang diselesaikan adalah cicilan utang. Cicilan utang Indonesia sekitar 500-600 triliun, atau sekitar empat puluh sampai lima puluh persen pendapatan megara. "Nah ini yang seharusnya dinego. Untuk apa? Pembangunan, kesehatan masyarakat ya. Dan bukan kemudian ya langsung mengurangi kesejahteraan masyarakat," tuturnya.
Ia menilai bahwa semua pemerintah, dari zaman dahulu hingg sekarang, selalu mengambil cara yang paling pendek menurut mereka, tapi menyusahkan masyarakat. " Karena mungkin pikirannya kalau nanti mereka menego hutang, ini akan menjudge ya, status Indonesia di mata internasional," sebutnya.
Padahal menurutnya, untuk apa negara ini memiliki citra yang bagus dalam masalah utang, tapi rakyat dalam negeri malah sengsara. "Jadi memang satu tindakan yang menurut saya gegabah hanya ingin mengambil jalan cepat tanpa memerhatikan dampak buat bagi masyarakat," pungkasnya.[] Wafi