Tinta Media - Dampak kenaikan BBM sudah pasti diikuti kenaikan harga-harga, sehingga pengeluaran semakin besar, sementara pendapatan tidak naik. Hal ini tentu semakin menambah beban hidup masyarakat yang belum pulih dari efek pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir. Nasib rakyat seperti sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Menyikapi musibah ini, Allah Swt. telah memberikan tuntunan bagaimana bersikap. Sebagai seorang muslim, wajib bagi kita untuk terikat dengan tuntunan tersebut.
Pertama, dari sisi keyakinan, Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-Nya untuk bersikap sabar. Allahlah yang mengatur rezeki, bukan penguasa. Selama masih berikhtiar, jangan khawatir tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya, meski BBM dan harga-harga naik.
Kedua, dari sisi syariat, kaum muslimin harus paham bahwa BBM adalah salah satu harta milik rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, air, padang rumput dan api.” (H.R. Abu Dawud).
Allah Swt. memerintahkan kepada penguasa untuk mengelola harta milik rakyat ini sesuai ketentuan syariah, yaitu dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Penguasa tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta, apalagi asing.
Sayangnya, fakta yang terjadi menunjukkan bahwa penguasa tidak mengelola harta milik rakyat ini sesuai dengan ketentuan syariah. Mereka mengelolanya dengan perspektif kapitalisme. Sumber daya minyak milik rakyat dikelola dengan perspektif keuntungan perusahaan, bukan keuntungan rakyat.
Praktik inilah yang menyebabkan harga BBM ditentukan oleh harga internasional, sehingga harga dalam negeri harus menyesuaikan dengan harga internasional. Pada akhirnya, kebijakan ini sangat membebani APBN.
Praktik pengelolaan BBM seperti ini menyelisihi perintah Allah Swt. Dalam bahasa fikih, praktik ini disebut kemungkaran. Allah Swt. mewajibkan seorang muslim agar mencegah kemungkaran jika ia menyaksikan kemungkaran itu.
Maka, sikap seorang muslim terhadap kenaikan BBM ini bukan sekedar sabar kemudian pasrah atau diam saja. Ia wajib membongkar kezaliman penguasa yang mengelola BBM berdasarkan kapitalisme, menjelaskan kepada masyarakat bagaimana seharusnya BBM ini dikelola oleh penguasa sesuai pandangan syariat.
Seorang muslim juga wajib menjelaskan kepada masyarakat bahwa pengelolaan BBM berdasar syariat itu tidak bisa diterapkan dalam sistem demokrasi sekuler, tetapi harus diterapkan dalam sistem Islam. Dalam bahasa fikih, sistem itu disebut daulah khilafah Islam.
Seorang muslim harus bersabar menanggung beban efek kenaikan harga BBM yang semakin menyengsarakan mereka. Di saat yang sama, ia juga harus sabar menyampaikan kritik dan melakukan amar makruf nahi munkar kepada penguasa atas kezaliman mereka karena tidak mengelola BBM sesuai tuntunan syariat.
Mempertentangkan keduanya (antara sabar dan amar ma'ruf nahi munkar) adalah kesalahan. Jadi, tidak cukup bagi kita hanya bersabar menanggung beban, tetapi juga sabar dalam melakukan kritik melawan kemungkaran. Keduanya wajib digabungkan, bukan dipertentangkan.
Bahkan Rasulullah saw. Sebagai suri tauladan kita, juga mendoakan kesusahan untuk para pemimpin yang menyusahkan rakyat.
“Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; dan siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” (HR Muslim dan Ahmad).
Wallahu a’lam bi sawab.
Oleh: Irianti Aminatun
Sahabat Tinta Media