Tinta Media - Pengamat Kebijakan Publik Rizqi Awal mengkritik kenaikan harga BBM oleh Pertamina di saat BBM dari Vivo bisa dijual lebih murah.
“Vivo ini jelas perusahaan swasta yang tidak mendapat subsidi sekalipun. Tetapi mengapa mereka berani menurunkan harga Rp8.900? Sementara Pertamina jauh lebih mahal,” tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (4/9/2022).
Diketahui SPBU Vivo menurunkan harga BBM di tengah kenaikan harga BBM Pertamina.
“Untuk BBM jenis Revvo 89 yang harga sebelumnya Rp9.290 per liter turun menjadi Rp8.900 per liter. Kemudian Revvo 92 sebelumnya dijual Rp17.250 per liter menjadi Rp15.400 per liter. Lalu Revvo 95 menjadi Rp16.100 dari sebelumnya Rp18.250,” ujarnya.
Rizqi menjelaskan bahwa kualitas bensin terbagi menjadi tiga, yaitu pertama, kualitas rendah dengan angka oktan 87. Kedua, kualitas menengah dengan angka oktan 89-90. Ketiga, kualitas premium dengan angka oktan 91-94. “Sebagai perbandingan, bensin Premium dari SPBU Pertamina memiliki nilai oktan atau RON (Research Octane Number) 88, Pertalite memiliki angka oktan 90, sedangkan Revvo 89 dari SPBU Vivo nilai oktannya sebesar 89. Artinya nilai oktan Revvo 89 satu angka lebih rendah dibandingkan Pertalite,” jelasnya.
Ia merasa heran atas keberanian Vivo menurunkan harga, sementara Pertamina jauh lebih mahal meskipun angka oktannya lebih baik.
“Perlu kita bertanya, meskipun sebagian besar kita impor minyak, lantas kenapa Vivo berani dengan nilai segitu, sementara Pertamina jauh lebih mahal meskipun angka oktannya lebih baik? Berapa sebenarnya ongkos total produksi minyak 'bersubsidi' itu menurut Pertamina?” urainya.
Kembali ia mengemukakan pertanyaan atas harga Vivo yang lebih murah.
“Kenapa Vivo jauh lebih murah?” tanyanya.
Menurutnya Vivo memiliki alasan kuat atas penetapan harga ini.
“Apakah ada yang menyubsidi mereka? Padahal sekali lagi, mereka adalah perusahaan swasta. Tidak mungkin Vivo bakar uang meskipun alasan yang kita dengar bahwa Vivo tengah menghabiskan stok Revvo 89 sehingga dijual murah,” tuturnya.
Terkait penetapan harga Revvo 89 yang dijual jauh dari nilai angka pertalite 90 dengan selisih Rp1.100, menurut Rizqi hal ini membuat pemerintah kebakaran jenggot, terbukti telah ada pembicaraan antara Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji dengan manajemen Vivo terkait hal ini.
“Menurut Dirjen Migas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji bahwa dengan adanya penyesuaian harga Pertalite, maka Vivo akan segera menyesuaikan harganya,” ujarnya.
Ia menilai cengkeraman kapitalisme tampak jelas dari persaingan SPBU ini.
“Ini belum melibatkan Shell, Total dan sejumlah SPBU asing dan swasta di Indonesia yang menjual BBM non-subsidi dengan selisih harga hanya Rp1.000 dengan Pertamax,” ujarnya.
Ia pun mengungkapkan beberapa pertanyaan terkait persaingan SPBU ini.
“Apakah memang betul tambang minyak di Indonesia relatif sedikit? Atau jangan-jangan riset dan inovasi kita untuk mencari ladang minyak lain dan energi terbarukan yang alinnya belum serius? Atau jangan-jangan selama ini cengkeraman kapitalisme nyata dalam urusan BBM di negeri ini,” ungkapnya.
Pada akhirnya ia menyerukan kepada pemerintah untuk mengembalikan harga BBM di nilai yang paling murah dan mudah diakses warga negara secara umum dan meminta kepada warga negara untuk menolak setiap kenaikan BBM yang menzalimi rakyat banyak.
“Pemerintah juga harus meningkatkan kapasitas dan kualitas transportasi publik dan menjadi fasilitator dalam alur logistik kebutuhan masyarakat, dengan aman, murah dan terjamin,” pungkasnya. [] Ageng Kartika