Tinta Media - Sudah cukup banyak regulasi yang ditujukan untuk mewujudkan perlindungan anak. Meski demikian, anak Indonesia belum aman dari tindak kekerasan. Tren kekerasan terhadap anak justru semakin meningkat.
Kekerasan seksual misalnya, miris! Mungkin itu kata paling tepat untuk mengomentari kasus kekerasan seksual pada anak. Bukan hanya korban yang masih anak-anak, pelakunya pun masih anak-anak. Lebih miris lagi, pelakunya justru orang-orang terdekat dengan korban.
Data Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengungkap 34,5% anak laki-laki dan 25% anak perempuan sudah pernah melakukan kegiatan seksual.
Bukan hanya kekerasan seksual yang menimpa anak, tetapi juga kekerasan fisik dan psikis, seperti menjadi korban traficking, korban prostitusi, penyekapan, pembunuhan, dan lain-lain.
Kota layak anak yang dirintis sejak 2006 dengan tujuan akhir 2030 Indonesia mencapai kondisi 'Indonesia Layak Anak' nampaknya masih sebatas cita-cita. Hingga 2022, anak masih menjadi korban kejahatan luar biasa di kota-kota yang bahkan dianggap kota layak anak.
Peraturan Presiden 101/2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan kekerasan terhadap Anak yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 15/5/2022 sepertinya juga sekadar harapan palsu.
Kegagalan regulasi yang ada menunjukkan bahwa persoalan mendasar kekerasan terhadap anak bukan pada kurangnya regulasi, melainkan penerapan sekularisme dalam kehidupan yang juga sebagai dasar dalam pembuatan regulasi.
Kehidupan sekuler yang berorientasi pada materi dan pemenuhan hawa nafsu telah membutakan mata dan hati sehingga hukuman pidana, denda, bahkan kebiri tidak menumbuhkan rasa takut. Pembuatan regulasi tanpa memperbaiki akar masalah tidak akan memberikan banyak arti.
Hanya dalam Naungan Islam Anak Terjamin
Anak akan mendapat perlindungan hakiki hanya jika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai khilafah. Negara diwajibkan menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk anak sehingga anak hidup aman, serta tumbuh dan berkembang secara sempurna.
Anak yang belum baligh berada dalam pengasuhan orang tuanya. Islam mewajibkan kepada orang tua untuk memberikan pengasuhan terbaik sesuai tuntunan syariat, juga pengasuhan penuh kasih sayang untuk menjaga fisik dan mental anak.
Rasulullah saw. memberikan arahan bagi orang tua melalui sabdanya, “Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR Bukhari).
Memukul anak memang dibolehkan dalam Islam untuk membangun kesadaran anak-anak akan kewajiban salat. Meski demikian, pukulan yang dimaksud adalah untuk mendidik menuju perbaikan, bukan pukulan yang menimbulkan luka, apalagi mencelakai anak. Pukulan juga tidak boleh di wajah atau tempat yang membahayakan.
Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat. Negara berkewajiban memahamkan nilai-nilai, norma, moral, budaya, pemikiran, dan sistem Islam melalui beragam institusi, saluran dan sarana, semisal jalur pendidikan formal, non-formal, pengajian dan lain-lain.
Islam juga menetapkan adanya keimanan kepada hari akhir sehingga setiap individu sadar akan ada pertanggungjawaban di akhirat kelak. Dengan keimanan ini, rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalangi dirinya untuk berbuat kriminal, terhindar dari gaya hidup hedonis, akan bisa menyaring pemikiran yang merusak, serta merasa selalu diawasi oleh Allah Swt.
Sistem sangsi Islam yang diterapkan berfungsi sebagai pencegah (jawazir) dan penebus (jawabir). Keduanya menjadi benteng yang akan melindungi masyarakat dari tindak kejahatan, termasuk kejahatan terhadap anak.
Jadi, penerapan syariat Islam kaffah dalam bingkai Khilafah adalah jaminan perlindungan anak yang sebenarnya dalam kehidupan.[]
Oleh: Irianti Aminatun
Sahabat Tinta Media