Penegakan Perda PGOT Belum Efektif Kurangi Pengemis dan Gelandangan - Tinta Media

Jumat, 09 September 2022

Penegakan Perda PGOT Belum Efektif Kurangi Pengemis dan Gelandangan

Tinta Media - Merespon rencana penegakan Perda  Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar (PGOT) Semarang per 1 Oktober 2022, ahli hukum dari Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H. menilai perda tersebut belum efektif mengurangi pengemis dan gelandangan.
 
“Keberadaan perda tersebut, dalam perspektif jangka panjang, belum efektif mengurangi fenomena PGOT di Kota Semarang. Pemerintah Kota Semarang hanya melihat pada aspek hilir belum pada hulunya (akar masalah sesungguhnya),” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (7/9/2022).
 
Meski demikian, Sjaiful menilai keberadaan perda tersebut, dapat menjadi instrumen pembinaan secara sosial, agar warga semarang tidak menggantungkan nasibnya menjadi pengemis atau peminta-minta. Juga mendidik agar dibiasakan bekerja untuk mencari nafkah.
 
“Namun dalam perspektif menyeluruh, seharusnya pemerintah daerah Semarang, harus bisa mencermati pokok persoalan sesungguhnya mengapa fenomena Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar (PGOT), khususnya di Kota Semarang terjadi,” kritiknya.
 
Sjaeful mengatakan, fenomena PGOT adalah akibat dari belum tersentuhnya pelayanan sosial atau pengurusan kebutuhan dasar warga. “Padahal sejatinya, Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, 'Fakir Miskin dan Anak-Anak terlantar dipelihara oleh Negara' dan selanjutnya dalam Pasal 27 Ayat (2) menyatakan, 'Bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan',” bebernya.
 
Amanah konstitusi tersebut, lanjutnya, seharusnya menjadi landasan hukum bagi pemerintah Indonesia termasuk pemerintah daerah Kota Semarang untuk menjamin kebutuhan dasar warga negara termasuk menyediakan akses pekerjaan yang lebih luas bagi warga negara guna mencegah fenomena PGOT.
 
“Problematika mendasarnya, pemerintah kurang memberikan perhatian khusus menyediakan akses lapangan kerja agar tidak ada lagi warga negara yang terjerat dalam kondisi PGOT. Jangankan untuk itu, memberikan pelayanan sosial termasuk sentuhan memenuhi kebutuhan dasar warga negara belum tampak sama sekali,” nilainya.
 
Sjaiful yakin, warga kota Semarang, kalau diberikan pembinaan atau pelatihan keterampilan kerja, punya semangat bekerja.
 
“Masalahnya sekarang, fakta menunjukkan bahwa akses lapangan kerja hanya bisa ditembus orang-orang tertentu. Malahan selentingan kabar menyebutkan, seorang pencari kerja harus membayar atau menyogok oknum tertentu, agar bisa mendapatkan akses lapangan kerja yang layak,” bebernya. 
 
Begitu pun, lanjut Sjaiful  penyediaan pembinaan atau pelatihan kerja bagi warga negara yang tidak punya skill belum diseriusi oleh pemerintah. “Bantuan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai, Kartu Prasejahtera, Kartu Pintar, dan semacamnya yang diklaim sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap kebutuhan dasar warga negara, belum maksimal,” kritiknya.
 
Indikasinya, beber Sjaiful,  sasaran yang diklaim sebagai bantuan sosial tersebut, terjadi pilih kasih, konon ada manipulasi data, bahkan dugaan penyalahgunaan keuangan bantuan sosial itu sendiri, masih terjadi sembunyi-sembunyi.
 
Islam
 
Sjaiful mengatakan, Islam memiliki seperangkat sistem sebagai aturan  yang datang dari Sang Pencipta, untuk menangani problematika ekonomi semisal PGOT. “Pertama, Islam menetapkan aturan bahwa pemimpin atau pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan sosial termasuk pelayanan kebutuhan dasar rakyat secara maksimal,” jelasnya.
 
Baginda Nabi Saw. ucap Sjaiful,  menyatakan bahwa pemimpin bertindak serta bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. “Pemerintah bahkan dalam perspektif Islam dilarang keras berdagang atau mengeksploitasi rakyat dalam rangka memberikan pelayanan kebutuhan dasar ekonomi rakyat,” imbuhnya.
 
Pada konteks kewajiban pemerintah memberikan pelayanan kebutuhan dasar rakyat, jelasnya,  maka tidak semua aset-aset ekonomi diserahkan pengelolaannya kepada individu atau sekelompok elit tertentu.
 
“Islam menetapkan ada aset ekonomi yang merupakan kepemilikan umum, dilarang keras pemerintah menyerahkan kepemilikan umum itu  kepada kelompok atau individu tertentu, semisal barang tambang,” terangnya.
 
Barang tambang adalah milik umum atau milik rakyat, ucap Sjaiful,  maka pengelolaan hasilnya wajib untuk memenuhi pelayanan kebutuhan dasar ekonomi rakyat.
 
“Kedua, Islam sangat melarang orang yang mampu bekerja untuk mengemis atau meminta-minta. Setiap orang terutama laki-laki dewasa, yang sehat dan kuat harus bekerja,” tegasnya.  
 
Ia lalu memberikan  contoh kasus ada seorang laki-laki yang sehat dan kuat, pada masa Baginda Nabi Saw. datang mengemis. Lantas baginda Nabi Saw. masuk ke biliknya, mengambil tali dan kapak lalu menyerahkan kepada laki-laki peminta seraya bersabda, “Ambillah tali dan kapak ini carilah kayu di hutan, tebang dan ikatlah lalu kamu jual ke pasar, hasilnya itu kamu gunakan sebagai nafkah.”
 
“Begitulah solusi Islam menangani PGOT,” tandasnya. [] Irianti Aminatun
 
 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :