Pendidikan Liberal Mencipta Karakter Abu-Abu - Tinta Media

Selasa, 06 September 2022

Pendidikan Liberal Mencipta Karakter Abu-Abu

Tinta Media - Membentuk karakter individu agar mempunyai kepribadian baik merupakan sesuatu yang amat didambakan di negeri ini. Namun, harapan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi dengan banyaknya tantangan yang memengaruhi kehidupan, terlebih pada para pemuda dengan pola gaya hidup bebas yang lepas dari agama. Pembentukan karakter ini utamanya disasar pada sekolah maupun perguruan tinggi.

Namun mirisnya, masalah krisis karakter ini malah datang dari perguruan tinggi yang idealnya merupakan cikal-bakal penopang bangsa untuk membangun negeri agar menjadi lebih baik. Bagimanakah jadinya negeri ini jika masalah krisis karakter ini muncul di lingkungan pendidikan, terlebih oleh pihak-pihak yang harusnya menjadi contoh bagi generasi muda?

Sebagaimana dikutip dari kompas.com, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyatakan bahwa kejadian seorang rektor yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap menjadi pelajaran untuk melakukan perbaikan.

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan di negeri ini tidak bisa dijadikan pijakan atas masa depan. Ini karena pendidikan yang harusnya menjadi penjamin masa depan generasi malah menjadi lahan bagi sebagian orang yang tak bertanggung jawab untuk meraup untung sebanyak-banyaknya tanpa melalui jalur yang benar. Secara tak langsung, perbuatan ini akan menjadi hal yang mungkin akan ditiru oleh para peserta didik generasi berikutnya.

Padahal kalau kita mau melihat, negeri ini tak kurang dengan orang-orang yang berprestasi dan memiliki kemampuan untuk memajukan bangsa dan negara. Namun, hal ini ternyata tak mampu menjadi jaminan bahwa pendidikan kita akan terbebas dari pelaku-pelaku yang mampu mencemarkan nama baik pendidikan.

Baginilah jadinya ketika asas yang digunakan dalam pendidikan, baik keluarga, sekolah, dan masyarakat (lingkungan) tidak berlandaskan pada asas yang sahih, yakni sekuler kapitalis. Itu sebabnya, ujung dari kemajuan yang ada hanya karena dorongan materi belaka, bukan sebagai sumbangsih yang memang diperuntukkan demi kemaslahatan masyarakat.

Padahal, nantinya asas inilah yang menjadi cara pandang hidup bagi setiap individu untuk melakukan suatu perbuatan. Karena itu, tindakan individu tersebut bukan sekadar dorongan keinginan, suka tak suka, materi, atau bahkan nafsu belaka.

Dari masalah ini, harusnya pendidikan didorong untuk melakukan evaluasi mendasar pada sistem pembangunan generasi, mulai dari pendidikan di keluarga, sekolah, dan lingkungan. 

Generasi merupakan aset berharga bangsa dan negara. Mereka membutuhkan pendidikan dan pengawasan yang baik agar menjadi pribadi mulia. Tak hanya berbakti, tetapi mampu menjadi cahaya kehidupan yang menentramkan hati para orang tua, serta mampu menjadi ujung tonggak perjuangan untuk masa depan negara. 

Namun, pendidikan yang menjadi jargon mencerdaskan kehidupan bangsa hanya sebatas ucapan yang belum jelas buktinya. Pada kenyataannya, anak-anak berpendidikan setinggi-tingginya hanya sekadar mencapai nilai belaka, tidak membentuk kepribadian dan karakter yang baik. 

Pendidikan hanya menjadi pabrik pencetak tenaga pekerja, tanpa memperhatikan pembentukan ketakwaan yang dapat mengendalikan segala bentuk perilaku manusia, sehingga banyak dari individu-individu pendidikan malah menjadi individualis yang hanya peka pada dirinya. Belum lagi pendidikan keluarga yang kurang akibat dari kesibukan orang tua demi menyambung hidup. Juga pengaruh lingkungan yang tak sejalan dengan pembentukan kepribadian remaja.

Inilah bentukan dari kehidupan kapitalis sekuler yang meresahkan. Mereka mengagung-agungkan kebebasan dan membatasi peran agama dalam kehidupan. Padahal, manusia harusnya diatur dengan aturan yang sejalan dengan fitrahnya, yaitu aturan yang bersumber dari penciptanya. Sang Penciptalah yang paling mengetahui manfaat dan mudarat bagi manusia.

Pendidikan dalam sistem Islam hadir memberikan ladasan yang kuat bagi keimanan generasi. Penanaman akidah yang dimulai dari pendidikkan dasar, dapat menjadi pondasi generasi dalam berpendapat dan berperilaku. Dengan begitu, akan terbentuk generasi yang memiliki rasa takut kepada Allah Swt. sehingga akan selalu mengikatkan perbuatannya berdasarkan perintah dan larangan Allah Swt. 

Penanaman akidah ini tak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga dalam keluarga. Sebab, keluarga adalah madarasah yang utama. Tak ketinggalan pula lingkungan masyarakat yang akan memberi contoh perbuatan-perbuatan luhur yang akan memperkuat keyakinan remaja terhadap nilai-nilai kebenaran. Tentu saja terbentuknya masyarakat yang menjunjung nilai-nilai kebenaran akan terjadi jika negara memproteksi masyarakat dengan aturan Islam. Masalah yang terjadi saat ini tak lepas dari bagaimana peran pemerintah dalam mengurus rakyatnya. 

Beginilah cara Islam mendidik generasi dengan tujuan-tujuan yang jelas dan sejalan dengan arah kelangsungan hidup Islam. Tidak hanya kepada individu, tetapi memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan bersama. 

Ketakwaan karena dorongan keimanan yang kuat mengarahkan mereka agar bermanfaat bagi umat, menjadikan para generasi berlomba-lomba dalam memberikan sumbangsih bagi bangsa dan negara dengan tetap berada pada koridor syariat Islam.
Wallahu a'lam bissawab.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti, S.Pd.
Aktivis

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :