Pencabulan Santriwati - Tinta Media

Selasa, 13 September 2022

Pencabulan Santriwati

Tinta Media - Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung berusaha mengungkap kasus dugaan tindak asusila yang diduga dilakukan oleh oknum pimpinan pesantren kepada santriwatinya. Kepala DP2KBP3A mengungkapkan, pada prinsipnya pihaknya bekerja sesuai tupoksi dan sudah berkoordinasi baik dengan pusat, provinsi ataupun pelapor serta pengacaranya, bahkan sudah menyiapkan psikolog hingga selter untuk para korban jika memang dibutuhkan. (jabar.tribunnews.com)

Kasus seperti ini seringkali berulang dan semakin marak. Hukum sepertinya tidak memiliki efek jera, bahkan kadang berakhir damai. Di satu sisi, pesantren diharapkan bisa menjadi solusi pendidikan saat ini yang minim agama. Di sisi lain, sebagian masyarakat khawatir menyekolahkan anak ke pesantren karena banyak kasus seperti ini.

Berbagai peristiwa kekerasan seksual di pondok pesantren sekarang ini, tentu menimbulkan kekhawatiran bagi orang tua, khususnya anak yang berada di pondok pesantren. Padahal, pondok pesantren menjadi salah satu cara agar anak-anak atau generasi memiliki tsaqofah Islam yang mumpuni di tengah gempuran liberalisme yang terjadi sekarang ini. 

Inilah jika pendidikan berasaskan sekuler. Di lembaga pesantren pun, aturan Islam sekadar normatif. Pengasuh pesantren yang seharusnya paham tentang aturan interaksi laki-laki dan perempuan, malah menjadi pelaku kejahatan.

Tak bisa dimungkiri, bahwa setiap pondok pesantren pasti ingin memberikan pelajaran agama yang terbaik baik santriwan dan santriwati. Guru-guru pun memiliki tsaqofah Islam yang mumpuni. Namun, ketika dijumpai kasus kekerasan seksual terhadap para santri, tentu bukanlah kesalahan dari pondok pesantren, tetapi kesalahan dari individunya sendiri. Hal tersebut bisa terjadi tentu tidak luput dari sekulerisme yang tertanam pada sang guru. 

Sistem kapitalis yang memiliki asas sekuler telah berhasil menghancurkan moral manusia, termasuk guru agama. Sekulerisme menganggap bahwa urusan agama harus dipisahkan dari kehidupan manusia. Artinya, agama tidak boleh mengatur manusia dalam menjalankan muamalah dengan orang lain. Akibatnya, ketika diluar ibadah ritual, maka manusia berhak melakukan apa pun sesukanya, tanpa ada syariat yang membatasi atau melarang, sehingga tindakan asusila seperti itu bisa terjadi di pondok pesantren.

Islam memandang bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan yang berdosa. Adapun untuk mencegah adanya kekerasan seksual, maka perlu adanya sistem pergaulan dalam Islam.

Ketika Islam berjaya lebih dari 1300 tahun yang lalu dalam bentuk Khilafah Islamiyyah, negara menerapkan aturan bergaul antar individu, yakni sebagai berikut:

Pertama, larangan ikhtilat atau campur baur dengan lawan jenis

Kedua, larangan berkhalwat atau berdua-duaan tanpa didampingi mahram

Ketiga larangan safar lebih dari 24 jam tanpa didampingi mahram

Keempat, larangan tabarruj atau berdandan berlebih-lebihan

Kelima, wajib menutup aurat dihadapan selain mahramnya, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surah An-Nur ayat 31

Keenam, menundukkan pandangan ketika bertemu dengan lawan jenis selain mahramnya, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS An-Nur ayat 30.

Ketika kaum muslimin menerapkan hal itu, maka akan terjaga dari hal-hal yang menjerumuskan pada kemaksiatan. Insyaallah kaum muslimin akan terhindar dari kasus kekerasan seksual.

Maka dari itu, tidak ada lagi pilihan bagi kaum muslimin untuk bersegera meninggalkan sistem kapitalis sekuler dan beralih kepada sistem Islam. Dengan sistem Islam, niscaya kasus pencabulan, khususnya di pondok pesantren tidak akan terulang lagi. Sebaliknya, melalui pondok pesantren, akan lahir generasi-generasi yang gemilang buah dari keagungan peradaban Islam.

Wallahu alam bishawab

Oleh: Sri Mulyani
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :