Tinta Media - Mengomentari Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah satu oknum Hakim Agung atas dugaan kasus suap pengurusan perkara, Ahli Hukum Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H. mengatakan, ada masalah sistemik yang harus digeledah.
"Sangat ironis. Tentu ada persoalan dasar sistemik yang harus digeledah mengapa lembaga peradilan sekelas MA, pada akhirnya terseret lingkaran mafia peradilan," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (24/9/2022).
"Padahal, MA didesain sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang memiliki kredibilitas paling top mengakomodir kepentingan para pencari keadilan," ujarnya.
Dr. Sjaiful menjelaskan terkait sejarah MA yang mana merupakan produk lembaga peradilan yang lahir dari rahim peradaban Eropa. Lembaga tersebut, menurutnya, diadopsi dari produk kolonial Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental dengan berdasarkan asas konkordansi.
"Sebagai produk sistem peradilan Eropa yang nyaris bertumpu kepada paradigma sekuleristik, maka saat bersamaan, rujukan hukum bagi para hakim agung memutus perkara adalah undang-undang tertulis hasil produk berpikir manusia yang kemudian menjadi pertimbangan hukum atau ratio decidendi dalam putusan kasasi MA. Pertimbangan hukum umumnya lahir dari subjektivitas nalar para hakim agung," paparnya.
Sementara itu, Dr. Sjaiful menambahkan, pada kasus tertentu, pertimbangan hukum dibuat berdasar arus kepentingan pragmatis oknum hakim, misalnya kepentingan ekonomi atau intervensi kekuasaan. "Ini salah satu problematika sistemik yang menghinggapi MA," tegasnya.
Masalah lain, menurutnya, MA masih terkoptasi dengan gagasan positivistik yang abai dengan nilai-nilai spiritual. Ia melanjutkan, meskipum di atas kertas termaktub kalimat Dengan Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi sekedar kata-kata simbolik.
"Problematik sistemik tersebut hingga kini menjangkiti atau boleh dibilang merusak marwah MA," ungkapnya.
Kondisi-kondisi tersebut, menurutnya, menjadi alasan sulitnya MA keluar dari lingkaran setan mafia peradilan. Apalagi, semua pilar penegakan hukum yang menyangga sistem peradilan Indonesia, hampir dipastikan tidak ada yang lepas dari jeratan lingkaran mafia peradilan.
"Tentunya, MA secara empiris sulit mengelak dari lingkaran setan mafia peradilan," katanya.
Hal tersebut menurut Dr. Sjaiful, menjadi bukti bahwa peradilan berbasis sekuleristik pragmatis tidak bisa diharapkan mampu mengakomodir kepentingan para pencari keadilan yang menginginkan penegakan hukum, semua orang sama di depan hukum.
Lain halnya dengan sistem peradilan Islam, yang menurutnya mampu memberikan cahaya keadilan bagi umat manusia. "Alasannya, sistem peradilan Islam berasal dari Sang Pencipta yang Maha Agung dan Maha Adil," tegasnya.
Dr. Sjaiful kembali menegaskan, sistem peradilan manapun selain sistem peradilan Islam, tidak akan mampu memberikan jaminan keadilan atas dasar semua orang sama di depan hukum.
"Sistem peradilan produk manusia, serba lemah dan terbatas. Produk akal manusia, betapapun jeniusnya, tak akan mampu menandingi produk wahyu yang maha sempurna," pungkasnya.[] Ikhty