Narasi Bohong Kasus Pembunuhan Polisi, FDMPB: Hegemoni Post Truth - Tinta Media

Kamis, 01 September 2022

Narasi Bohong Kasus Pembunuhan Polisi, FDMPB: Hegemoni Post Truth

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra mengungkapkan datangnya hegemoni post truth terhadap narasi bohong seputar kasus pembunuhan polisi. “Narasi-narasi bohong seputar kasus pembunuhan polisi menunjukkan datangnya hegemoni post truth,” ungkapnya kepada Tinta Media, Rabu (31/8/2022).

Kasus pembunuhan keji seorang polisi oleh polisi menjadi sangat rumit dan berbelit-belit karena selain hilangnya barang bukti juga karena berubah-ubahnya keterangan.
“Berita terbunuhnya Brigadir J yang menyeret nama Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dan Bharada Richard Eliezer, dinilai masyarakat berbelit-belit dan sarat kesaksian bohong dan rekayasa peristiwa yang melibatkan banyak pihak,” tuturnya.

Ahmad Sastra menilai para pelaku sebagai polisi yang notabene adalah penegak hukum, seharusnya memberikan contoh kejujuran dan tanggung jawab atas apa yang dilakukan.
“Padahal semestinya seorang polisi yang notabene adalah penegak hukum memberikan contoh kejujuran dan tanggung jawab atas apa yang dilakukan,” ujarnya. 

“Banyak yang mengatakan bahwa kasus ini mudah diungkap, yakni ketika para pelaku benar-benar berkata jujur,” lanjutnya.
Ia mengkritisi atas kasus penembakan polisi oleh polisi ini dengan mengatakan bahwa negeri ini tampak tengah masuk dalam jerat kebohongan. 

“Pemimpin yang merekayasa kebohongan agar terlihat sebagai kebenaran akan berdampak sangat besar dibandingkan jika yang melakukannya rakyat jelata, tidak terlalu salah jika negeri ini telah mengalami darurat kebohongan,” kritiknya.

Hal ini menurutnya ditunjukkan dengan sifat-sifat pembohong yang telah menjerat para pemimpin suatu negeri. Maka akan banyak rakyat kecil yang menjadi tumbalnya.
“Mengakibatkan kepercayaan rakyat kepada polisi akan berkurang, bahkan bisa hilang, walaupun penanganan kasus pembunuhan polisi itu masih terus berjalan,” tuturnya.

Baginya seorang pemimpin berbohong akan memberi efek domino yang akan tersebar luas menyentuh berbagai aspek.

“Tidak mudah mengembalikan kepercayaan rakyat kepada institusi kepolisian jika terbukti di pengadilan yang jujur bahwa seorang jenderal terlibat pembunuhan kepada ajudannya sendiri,” ujarnya.
Ia memaparkan tentang post truth, merupakan kata yang mengacu kepada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali. 

“Dalam bahasa agama, era post truth adalah saat kebohongan dipropagandakan sebagai kejujuran, dan secara psiko-sosiologis, post truth adalah zaman penuh tipu daya,” paparnya.
Ahmad Sastra menjelaskan karakteristik era post truth adalah suatu keadaan fakta kurang berperan untuk menggerakkan kepercayaan umum daripada sesuatu ynag berhubungan dengan emosi dan kebanggaan tertentu.

“Karakteristik era post truth, dapat dilihat dalam tiga kondisi, yakni simulakra, pseudo-event, dan pesudosophy,” ucapnya. 

“Pertama, Simulakra merupakan situasi di mana batas-batas antara kebenaran dan kepalsuan, realitas dan rekaan, fakta dan opini semakin kabur dan sulit untuk diidentifikasi. Realitas yang ada adalah realitas yang semu dan realitas hasil simulasi (hyper-reality),” jelasnya.
Kedua, pseudo-event, yakni suatu keadaan di mana sesuatu yang dibuat dan diadakan untuk membentuk citra dan opini publik.
“Padahal itu bukan realitas sesungguhnya, dalam istilah politik praktis disebut sebagai tindakan pencitraan,” tuturnya.
Ketiga, pseudosophy adalah upaya menghasilkan suatu realitas' sosial, politik, dan budaya yang sekilas tampak nyata.
“Padahal sebenarnya adalah palsu, masyarakat lalu dikondisikan untuk lebih percaya pada ilusi yang dihasilkan daripada realitas yang sesungguhnya.” Bebernya.
Kasus pembunuhan Brigadir J, menurutnya sangat mungkin sebagai fenomena gunung es dan merupakan malapetaka bagi negeri ini. Bangsa ini mesti muhasabah nasional.
“Karena gagal mewujudkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Bangsa ini harus kembali melakukan reorientasi berkebangsaan yang lebih religius,” ucapnya.
Reorientasi dengan meninggalkan sekulerisme yang menjauhi nilai-nilai kebajikan agama. 

“Tentu saja dalam berbangsa dan bernegara lebih baik mendekat kepada agama daripada menjauhinya,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :