Tinta Media - Sobat. Warisan para Nabi dan peninggalan para Rasul adalah ilmu. Dengan ilmu, Allah SWT disembah dan timbangan ditegakkan. Dengan Ilmu Jibril turun kepada rasulullah SAW, dengan ilmu juga syariat Islam dikenal sehingga halal dan haram pun dapat dibedakan.
Sobat. Rasulullah SAW telah menginspirasi kita bahwa ilmu adalah Iman dan Yakin, ihsan dan makrifat, tunduk dan terampil. Yaitu mengimani apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW meyakini ajaran yang dinukil dan dipahami dengan akal. Kemudian dengan ihsan amalan akan menjadi lebih baik dan terhindar dari kesalahan.Makrifat akan mengarahkan untuk senantiasa bersyukur dan berdzikir. Ketundukan akan membimbing untuk melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan meridhoi takdir. Dengan keterampilan, ibadah pun lebih sempurna dan pahala bertambah.
Sobat. Islam adalah sebuah mabda’ atau ideology Islam telah datang dalam bentuk yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Mabda’ atau ideology ini tidak meninggalkan satu perkara pun kecuali menyodorkan solusinya. Maka Islam memiliki Fikrah dan thoriqoh yang berasal dari Islam itu sendiri.
Allah SWT Berfirman :
مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr (59) : 7)
Sobat. Ayat ini menerangkan bahwa harta fai' yang berasal dari orang kafir, seperti harta-harta Bani Quraidhah, Bani Nadhir, penduduk Fadak dan Khaibar, kemudian diserahkan Allah kepada Rasul-Nya, dan digunakan untuk kepentingan umum, tidak dibagi-bagikan kepada tentara kaum Muslimin. Kemudian diterangkan pembagian harta fai itu untuk Allah, Rasulullah, kerabat-kerabat Rasulullah dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib, anak-anak yatim yang fakir, orang-orang miskin yang memerlukan pertolongan, dan orang-orang yang kehabisan uang belanja dalam perjalanan.
Setelah Rasulullah Saw wafat, maka bagian Rasul yang empat perlima dan yang seperlima dari seperlima itu digunakan untuk keperluan orang-orang yang melanjutkan tugas kerasulan, seperti para pejuang di jalan Allah, para dai, dan sebagainya. Sebagian pengikut Syafi'i berpendapat bahwa bagian Rasulullah itu diserahkan kepada badan-badan yang mengusahakan kemaslahatan kaum Muslimin dan untuk menegakkan agama Islam.
Ibnus-sabil yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang yang terlantar dalam perjalanan untuk tujuan baik, karena kehabisan ongkos dan orang-orang yang terlantar tidak mempunyai tempat tinggal. Kemudian diterangkan bahwa Allah menetapkan pembagian yang demikian bertujuan agar harta itu tidak jatuh ke bawah kekuasaan orang-orang kaya dan dibagi-bagi oleh mereka, sehingga harta itu hanya berputar di kalangan mereka saja seperti yang biasa dilakukan pada zaman Arab Jahiliah.
Allah memerintahkan kaum Muslimin agar mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diputuskan itu, baik mengenai harta fai' maupun harta ganimah. Harta itu halal bagi kaum Muslimin dan segala sesuatu yang dilarang Allah hendaklah mereka jauhi dan tidak mengambilnya.
Ayat ini mengandung prinsip-prinsip umum agama Islam, yaitu agar menaati Rasulullah dengan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya, karena menaati Rasulullah saw pada hakikatnya menaati Allah juga. Segala sesuatu yang disampaikan Rasulullah berasal dari Allah, sebagaimana firman-Nya:
Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (an Najm/53: 3-4)
Rasulullah saw menyampaikan segala sesuatu kepada manusia dengan tujuan untuk menjelaskan agama Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an. Allah berfirman:
(Mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Adh-dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (an-Nahl/16: 44)
Ayat 44 surah an-Nahl ini mengisyaratkan kepada kaum Muslimin agar melaksanakan hadis-hadis Rasulullah, sebagaimana melaksanakan pesan-pesan Al-Qur'an, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Pada akhir ayat 7 ini, Allah memerintahkan manusia bertakwa kepada-Nya dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tidak bertakwa kepada Allah berarti durhaka kepada-Nya. Setiap orang yang durhaka itu akan ditimpa azab yang pedih.
Sobat. Termasuk dalam persoalan dakwah kita harus merujuk bagaimana metode Rasulullah SAW dalam berdakwah demi melangsungkan kehidupan Islam? Kalau kita mencermati lebih dalam dalam shirah maka ada tiga tahapan :
1. Tahapan pertama ( Tatsqif Murakazah ). Dakwah Rasulullah SAW pada tahap ini sebagai dakwah individu. Karena itu bias disaksikan bahwa Rasulullah SAW seringkali mengnjungi kenalan dan teman-temanya, atau orang-orang yang dekat dengannya, bisa diamati pula adanya tatsqif ( pembinaan ) mengenai masalah Aqidah. Rasulullah menjelaskan dengan menggunakan dalil yang pasti dan Al Quran agar mengimaninya dan menjelaskan kerusakan aqidah orang kafir yang saat itu berkuasa. Diriwayatkan mereka sering berkumpul di Dar al-Arqam. Disitulah Rasulullah SAW mengajarkan Islam kepada mereka sehingga menjadi orang yang berkepribadian Islam, yang hidup hanya untuk Islam, dan tidak ridha dengan kehidupan dunia kecuali dengan naungan Islam.
2. Tahapan kedua ( Tasqif Jama’I dan Tafaúl ma’ al Ummah ). Tahapan kedua ini dimulai dengan adanya perintah Allah SWT kepada Rasulnya untuk menyerukan dakwah Islam kepada masyarakat kafir saat itu. Tidak lagi secara individu namun secara jamaíyah ( kelompok ) yaitu dengan adanya perintah untuk menampakkan kelompok, jamaah atau partainya. Ini terjadi tiga tahun setelah diutusnya Rasulullah SAW. Rasulullah dan para sahabat beliau mulai berinteraksi dengan masyarakat ( Tafaúl maá al umma). Mengajak kaumnya kepada Islam hal itu dilakukan secara terang-terangan sebagaimana yang diperintakan oleh Allah SWT.
فَٱصۡدَعۡ بِمَا تُؤۡمَرُ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr (15) : 94)
Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad saw agar menyiarkan agama Islam dengan terang-terangan, tidak lagi dengan sembunyi-sembunyi, menantang orang-orang musyrik, tidak mempedulikan mereka dan apa yang mereka katakan, dan tidak takut kepada mereka yang menghalanginya dalam menyiarkan agama Allah, karena Allah melindunginya dari gangguan mereka.
Sebagian ahli tafsir menafsirkan "Berpalinglah dari orang-orang musyrik" maksudnya adalah janganlah mempedulikan segala macam tindak-tanduk orang-orang musyrik yang telah mendustakan, memperolok-olok, dan menentang kamu. Janganlah tindakan mereka itu menghalangimu menyiarkan agama Allah, karena Allah memelihara kamu dari gangguan mereka.
Pada tahapan ini berlangsung Perang pemikiran ( Shiraúl Fikr), terjadi konflik antara ide-ide Islam dengan ide-ide dan pemahaman kufur, berlangsung pula Perjuangan politik ( Kifah Assiyasi ) Rasulullah SAW membongkar kebobrokan dan kejahatan para pemuka Quraisy.
Sobat. Ketika keadaan yang menimpa kaum muslimin semakin genting, Rasulullah mulai mencari lahan yang lebih subur bagi dakwahnya dan mencari kaum yang siap melindungi dakwah dan anggota jamaahnya, serta siap menolong agama-Nya inilah yang disebut aktivitas mencari perlindungan dan pertolongan ( Thalab al-Himayah wa an-nushrah ). Sampai terjadi Baiát Aqobah yang pertama sejumlah 12 orang dari kabilah Aus dan Khazraj ( dari Yatsrib) melakukan sumpah setia kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW kemudian mengutus Musháb bin Umair bersama jamaah yang telah beriman itu ke kota Madinah untuk mengajarkan Islam. Kemudian terjadilah Baiát Aqabah yang kedua sejumlah 73 orang laki-laki dan 2 orang wanita dari Aus dam Khazraj bersumpah setia kepada Rasulullah SAW siap memerangi manusia baik yang berkulit merah maupun hitam dan berjanji untuk melindungi beliau SAW jika berhijrah ke madinah.
3. Tahapan Ketiga ( Istilamul Hukmi ). Pada tahapan ini Rasulullah SAW berhijrah ke kota Madinah dan menyemai benih Negara Islam ( Daulah Islam) yang siap menceburkan diri ke dalam kancah perperangan dan mengokohkan berbagai tatanan Negara yang agung demi kelangsungan agama termulia sepanjang sejarahnya.
Sobat. Inilah metode yang dilakukan dan dijalani oleh Rasulullah SAW dengan tiga tahapan dakwahnya yang amat jelas. Sejak dimulainya seruan kepada ideology yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada beliau hingga keberhasilan Rasulullah SAW dengan bimbingan Allah SWT mendirikan Negara Islam yang menerapkan Islam secara kaffah kemudian dilanjutkan oleh Khulafaúr Rasyidin, para Khalifah setelah hingga kekhilafahan Turki Usmani mengemban Islam melaui aktivitas dakwah dan jihad ke seluruh jazirah Arab dan penjuru dunia. Insya Allah segera kembali muncul Khilafah ála Minhaj An-nubuwah. Semoga kita bagian dari kaum muslimin yang ikut andil memperjuangkannya. Allahu Akbar !
Sobat. Berdasarkan hal ini, kaum Muslimin wajib berupaya untuk menegakkan Negara Islam dalam rangka membangkitkan umat Islam, dengan menggunakan metode yang dijalani oleh Rasulullah SAW saja. Hal itu bisa dilakukan secara sempurna dengan mempelajari sejarah Nabi yang suci, dan memahami hokum-hukum syara’ yang ada di dalam Al-Quran dan as-Sunnah secara teliti dan mendalam, agar mereka bisa memperoleh kesadaran yang benar , yang bisa membawa pada aktivitas produktif, yakni aktivitas yang bisa meraih ridha Allah SWT dan membawa kaum muslimin pada kebangkitan dan Rahmatan Lil’aalamin.
Dr. N. Faqih Syarif H, M.Si.
Penulis, Dosen dan Pengemban Dakwah Islam di Indonesia