LBH Pelita Umat: Perlu Ada Pemisahan antara Institusi Keamanan dan Polisi - Tinta Media

Selasa, 27 September 2022

LBH Pelita Umat: Perlu Ada Pemisahan antara Institusi Keamanan dan Polisi

Tinta Media - Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Candra Purna Irawan, S.H., M.H. berpendapat bahwa terkait kasus Ferdy Sambo maka perlu adanya pemisahan antara institusi keamanan dan polisi. 

“Terkait masalah kasus Sambo maka saya berharap, kita perlu menggulirkan bahwa harus dipisah institusi keamanan dan polisi,” tuturnya dalam Program Perspektif PKAD: Dugaan (Obstruction of Justice, Pembunuhan Berencana) & Bebasnya Ferdy Sambo, Senin (19/9/2022) di kanal Youtube Prof. Suteki.

Memandang kasus Ferdy Sambo, ia menilai semestinya orang yang memegang senjata dengan orang yang menegakkan hukum itu dipisah. 

“Mungkin perlu dikaji ulang, mesti dipisah satu institusi keamanan dalam negeri di mana dia mempunyai kewenangan memegang senjata dan satu lagi yang fokus menegakkan hukum,” bebernya.

Ia berpendapat jika orang institusi memegang senjata lalu dia juga menegakan hukum, ini akan dua kewenangan yang begitu besar digabung dalam satu institusi.

“Diberikan kewenangan besar itu kepada seseorang, satu sisi keamanan, pemegang senjata dan satu sisi pemegang hukum. Ini kewenangan yang terlalu besar,” pendapatnya.
 
Diharapkan institusi dalam konteks ini adalah aparat penegak hukum agar tidak terjadi conflict of interest, yakni konflik kepentingan.
“Saya kira perlu wacana ini dikembangkan kembali dalam konteks kasus Ferdy Sambo, ini menjadi momentum untuk memisahkan dua kewenangan besar,” ujarnya.

Menurutnya, ketika institusi penegak hukum ini membutuhkan bantuan aparat untuk melakukan penangkapan segala macam, tinggal berkoordinasi dengan institusi keamanan.

“Contoh sederhana adalah KPK, sebagai penegak hukum tapi bukan dari pihak kepolisian, dan tidak punya senjata. Ketika akan menangkap pelaku korupsi, dia meminta bantuan kepada kepolisian,” urainya.

Menanggapi aparat penegak hukum yang terlibat kasus ini hanya diberikan sanksi administratif atau sidang kode etik. Ia mengungkapkan bahwa ia tidak sependapat dengan penetapan hukum tersebut.

“Saya tidak sependapat jika para aparat penegak hukum yang terlibat dalam dugaan manipulasi atau merekayasa kasus, hanya diberikan istilahnya sanksi administratif atau sidang kode etik, saya tidak sependapat kalau hanya itu yang dilakukan,” ucapnya.

Seharusnya saat ini yang ditetapkan tersangka itu banyak, sejumlah orang yang diperiksa, bukan tujuh orang saja. Semua yang terbukti dalam sidang kode etik turut membantu melakukan dugaan tindak pidana, merekayasa kasus harus dijadikan tersangka.

“Kurang lebih 90 orang telah diperiksa, semestinya semua orang yang turut serta dalam melakukan tindak pidana itu dikenakan semua,” tuturnya.

Baginya tidak fair seseorang yang terbukti membantu hanya diberikan sanksi administratif. Dalam konteks menggunakan pasal 55 ayat 1 bagian ke-1 KUHP, ada yang disebut turut serta, dan seterusnya, maka semua yang terlibat itu dikenakan tersangka.

“Tidak fairnya adalah ketika masyarakat yang turut serta kemudian melakukan tindak pidana, itu semua kena. Apalagi dalam kasus UU Terorisme Ustaz Farid Ahmad Okbah, dalam UU Terorisme itu cukup ngeri, mengetahui adanya informasi teroris, ada mengetahui seseorang itu ternyata teroris tapi tidak memberitahukan, itu dikenakan pidana,” jelasnya.

Ia mempertanyakan dalam konteks Sambo ini, dari 90 orang yang terlibat dan segala macam, dia mengetahui tapi kemudian tidak melapor. “Maka dalam konteks Ini, pendapat saya semua orang yang di sanksi kode etik itu diperiksa, mestinya dipidana,” lanjutnya.

Chandra menyatakan bahwa dugaan manipulasi kasus ini adalah kejahatan yang sangat luar biasa, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Maka hukum yang ditetapkan berat karena yang terlibat adalah orang-orang yang punya keahlian khusus. Tidak semestinya sekedar sanksi administratif saja.

“Menjadi pertanyaan selanjutnya, kenapa ini tidak berlanjut ke sana?” tanyanya.

Hal ini akibat dari mereka (para aparat hukum) yang mempunyai kekuasaan kewenangan untuk menetapkan tersangka. Mereka yang punya kewenangan.

“Oleh karena itu, agar transparansi bagus, begitu penangkapan ini alangkah bagusnya dalam konteks penyidikan diserahkan kepada lembaga lain, misalnya Kejaksaan dan atau melibatkan sipil,” pungkasnya.[] Ageng Kartika
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :