Tinta Media - Ahli Hukum Indonesia Justice Monitor (IJM) Abu Muhammad Asyam mengungkap kenaikan BBM bersubsidi disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan saat ini, mengharamkan subsidi negara kepada rakyat.
“Sistem ekonomi kapitalis, sejatinya mengharamkan subsidi negara kepada rakyat. Rakyat tak boleh dimanjakan subsidi. Rakyat harus terjun bebas mengais sendiri rezeki ekonomi. Rakyat tidak boleh jadi beban negara atas nama subsidi,” tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (4/9/2022).
Abu Asyam menjelaskan, sistem ekonomi kapitalis sangat kejam, tanpa belas kasihan serta menjadikan semua barang menjadi milik individu. “Tak ada kepemilikan milik umum. Semua kepemilikan ekonomi menjadi milik individu yang untuk mendapatkannya, setiap pelaku ekonomi harus bersaing dan saling berebut untuk menguasainya,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, fungsi negara hanya sebagai wasit dalam persaingan tersebut. Oleh karena itu, menjadi wajar jika negara yang terjerat sistem ekonomi kapitalis menjadikan para aparatur negara berselingkuh dengan para oligarki ekonomi yaitu sekelompok elit ekonomi yang menguasai pusat-pusat ekonomi.
“Semua barang komoditas dipermainkan oleh para elit kekuasaan demi memenuhi keserakahan ekonomi para oligarki. Rakyat menjadi tumbalnya.” tegasnya.
Abu Asyam melanjutkan, logika ekonomi kapitalisme adalah menjadikan semua barang ekonomi sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Menjadi wajar, menurutnya, jika pemerintah meniscayakan jual beli dengan rakyatnya dengan mematok harga pasar mengikuti irama harga pasar dunia.
“Kesimpulannya, rakyat harus membeli kepada negara jika rakyat mau mendapatkan fasilitas kebutuhan ekonomi termasuk fasilitas-fasilitas lainnya, seperti fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan,” bebernya.
Hal ini menurutnya, berbeda dengan negara yang menerpakan sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, lanjutnya, fungsi negara adalah pelayan bagi rakyat. Pemerintah dilarang keras mengabaikan hak-hak ekonomi rakyat.
“Tindakan pemerintah yang mengabaikan pelayanan urusan rakyat, kelak mendapatkan azab yang sangat pedih dari Allah SWT. Pemerintah demikian diingatkan Rasulullah SAW bakal terkena kesempitan serta kesengsaraan dunia dan akhirat,” imbuhnya.
Dengan demikian, fungsi pemerintah sebagai pelayan rakyat berdasarkan sistem ekonomi Isalam menjadi semakin maksimal. Pemerintah, menurutnya, akan mendapatkan sumber-sumber kepemilikan ekonomi yang melimpah guna membiayai fasilitas pelayanan publik.
“Ini karena sistem ekonomi Islam tidak melulu menjadikan semua sumber kepemilikan ekonomi mutlak milik individu atau oligarki. Sistem ekonomi Islam, berdasarkan syariah, telah menetapkan beberapa sumber ekonomi sebagai milik umum. Diantaranya, barang tambang yang jumlahnya banyak tidak terbatas, semisal Bahan Bakar Minyak (BBM), dilarang keras dialihkan kepada kepemilikan individu atau diserahkan kepada oligarki,” jelasnya.
Ia pun lanjut menjelaskan, negara atau pemerintah dilarang keras memperjualbelikan BBM kepada rakyat. Hal ini menurutnya, BBM merupakan milik umum, bukan barang komoditas yang layak diperjualbelikan sesuai harga pasar.
“Status BBM sebagai milik umum menurut sistem ekonomi Islam, telah dijelaskan dalam berbagai kitab fikih ekonomi Islam, semisal Nizhamul Iqtishadi karya Sheikh Taqiyuddin An Nabhani, Al Amwal fi Daulah karya Sheikh Abdul Qadim Zallum, Al Amwal karya Abu ‘Ubaid,” ungkapnya.
Atas dasar itulah, menurut Abu Asyam, menaikan harga BBM adalah kezaliman luar biasa. Seharusnya, pemerintah memposisikan diri hanya mendistribusikan kepada rakyat.
“Negara tidak boleh mengeruk untung, apapun alasannya. Bahkan, bila perlu negara menyediakan gratis kepada rakyat atau paling tidak negara membebani harga BBM kepada rakyat dengan harga murah. Soalnya, BBM sekali lagi bukan barang komoditas yang diperjualbelikan di pasar. Status BBM adalah milik umum (Al-Milkiyatul Aam) yang tidak boleh diperjualbelikan kepada rakyat,” pungkasnya. [] Ikhty