Tinta Media - Pemerintah telah menaikkan bahan bakar minyak jenis Pertalite dan Solar Subsidi per 1 September 2022. Kebijakan ini harus diambil mengingat Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa biaya tagihan subsidi telah mencapai Rp502 Triliun dan khawatir akan berpengaruh pada defisit anggaran di atas 3%. Bengkaknya subsidi disebabkan karena pemerintah harus menanggung beban akibat naiknya harga ICP dari US$63 menjadi US$100 per barel.
Dicabutnya subsidi BBM tersebut semakin menandai bahwa ekonomi sekuler sangat rapuh, di tengah negara yang kaya sumber daya. Ekonomi sekuler pada hakikatnya adalah pintu liberalisasi sumber daya bagi kapitalis global.
Perjalanan pengelolaan migas di Indonesia dapat kita lihat dari tiga masa, yaitu pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi. Pada masa orde lama pengelolaan migas, aset nasional diatur sepenuhnya oleh negara. Pada masa ini tidak ada kenaikan harga BBM. Pada masa orde baru, Pertamina dijadikan sebagai satu-satunya perusahaan minyak negara melalui UU no. 8 tahun 1971. Sedangkan pada masa reformasi, migas dikelola dengan norma-norma yang dianggap liberal karena menerapkan persyaratan IMF yang tertuang dalam LoI melalui UU no. 22 tahun 2001.
Subsidi BBM terus mengalami pengurangan. Hal ini menyebabkan harga bahan bakar minyak langsung dibebankan kepada masyarakat. Karena itu, BBM naik secara signifikan. Misalnya saja pada masa Presiden SBY, kenaikan bahkan mencapai 370 %. Pada awal pemerintahan SBY, harga minyak 1.810 per liter, hingga di tahun 2008 minyak mencapai harga Rp6000 per liter.
Peningkatan peran asing dalam industri migas di Indonesia pun tidak terlepas dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 2001 yang menjadi dasar privatisasi dan liberalisasi di tingkat hulu dan hilir industri migas di Indonesia.
Karena itu, wajar jika subsidi terus dikurangi. Hal ini karena dalam prinsip ekonomi sekuler keberadaan subsidi bertolak belakang dengan prinsip kapitalisasi sumber daya alam.
Pemerintah dalam ekonomi sekuler bukan sebagai pelayan, melainkan sebagai pedagang yang menghitung untung rugi. Padahal, fungsi pemerintahan pada hakikatnya haruslah sebagai pengurus seluruh kemaslahatan masyarakat yang ada di bawahnya.
Negara yang kuat dan memiliki sumber daya alam yang melimpah tidak akan terimbas dengan kenaikan harga bahan bakar minyak dunia, mengingat negara tersebut telah mandiri dalam hal menghasilkan kebutuhan kebutuhan dasar warga negara. Indonesia dengan kelimpahan sumber daya alam minyak bumi memiliki peluang untuk menjadi negara yang kuat dan mandiri, sehingga harga tidak bergantung pada dunia global, melainkan bebas dari pengaruh harga global. Satu satunya acuan harga utama adalah biaya produksi.
Negara yang telah mampu mengelola sumber daya minyak bumi secara mandiri, seperti Arab Saudi misalnya, memberlakukan harga yang relatif murah di tengah pendapatan per kapita yang tinggi. Diduga, faktor utama penentuan harga hanya dari perhitungan biaya produksi. Beda jika harus membeli dari negara lain, perhitungan harga didasarkan pada biaya produksi dan profit perusahaan pengelola BBM, ditambah faktor lain.
Kenaikan harga pertalite dan solar, yang proporsi jumlah penggunanya di atas 70% pasti akan menyulut inflasi. Inflasi sebesar itu akan memperpuruk daya beli dan konsumsi masyarakat sehingga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah mencapai 5,4%. Adanya bantuan sosial yang digelontorkan pada akhirnya hanya menjadi solusi tambal sulam. Namun, kesulitan ekonomi yang dirasakan masyarakat pasca kenaikan BBM siapa yang peduli?
Dari sini dapat dilihat bahwa sistem ekonomi liberal tidaklah mampu menjadi pelayan bagi masyarakat. Hal ini karena sejak awal sistem ini menempatkan rakyat sebagai sumber kapital. Sementara dalam pandangan Islam, rakyat adalah gembalaan yang harus diurusi dengan sebaik-baiknya.
Rasulullah saw. bersabda:
"Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).
Oleh: Shela Ramadhani
Sahabat Tinta Media