Jangan Menyetarakan Kekhilafahan Islam dengan Monarki - Tinta Media

Kamis, 22 September 2022

Jangan Menyetarakan Kekhilafahan Islam dengan Monarki

Tinta Media - Kenaikan takhta Pangeran Charles menjadi Raja Inggris menandai babak baru perpolitikan Inggris sebagai negara Persemakmuran. Mahkota kerajaan yang akan segera disematkan di kepala Charles III itu mengikuti alur suksesi putra mahkota kerajaan Inggris. Ia ditetapkan menggantikan ibunya, Ratu Elizabeth II yang baru saja wafat pada Kamis (8/9/2022) lalu. Raja Charles III resmi dilantik menggantikan Ratu Elizabeth II menjadi Raja Inggris pada Sabtu (10/9/2022) kemarin.

Namun, baru satu hari setelah Raja Charles III naik tahta, pemerintah Antigua dan Barbuda mengumumkan rencana menggelar referendum menghapuskan Raja Inggris sebagai kepala negara mereka. Sebagaimana diketahui, Ratu Elizabeth II memerintah sebagai Ratu Monarki Konstitusional dari 16 negara berdaulat dengan teritori beserta dependensinya. Ia juga mengepalai 54 Negara-Negara Persemakmuran, sejak dinobatkan menjadi Ratu pada 6 Februari 1952 sampai wafatnya 2022 ini.

Antigua dan Barbuda adalah negara di antara negara-negara Persemakmuran Inggris. Masih ada enam Negara Karibia lainnya, seperti Jamaika dan Belize, yang juga telah menyatakan keinginan untuk lepas dari Kerajaan Inggris. Dikutip dari kantor berita NPR pada Minggu (11/9/2022), Perdana Menteri Antigua dan Barbuda, Gaston Browne mengumumkan rencana mengadakan referendum dalam tiga tahun ke depan untuk mengubah bentuk negara menjadi Republik.

Memang ada upaya melepaskan diri dari kerajaan Inggris oleh negara-negara Karibia pada beberapa tahun terakhir. Upaya itu menguat seiring desakan agar Inggris meminta maaf atas sejarah perbudakan di wilayah mereka. Bahkan, kemudian menguat desakan dari sejumlah politikus dan aktivis di negara-negara bekas koloni Inggris di Karibia berupa tuntutan agar Raja Inggris dicopot sebagai kepala negara dan agar Inggris membayar ganti rugi perbudakan terhadap mereka, Kompas.com (9/9/2022).

Bahkan di India, Perdana Menteri Narendra Modi yang seorang nasionalis beberapa jam sebelum kabar kematian Ratu Elizabeth II tersebar, berpidato dengan berapi-api mengajak bangsa India menghapus ikatan masa kolonial dengan Kerajaan Inggris. Modi juga mengubah nama bulevar Kingsway di India yang dahulu untuk menghormati Raja George V, menjadi Jalur Kartavya. Menurutnya, nama Kingsway adalah simbol perbudakan kolonialisme Inggris terhadap India. 

Pidato bersemangat politikus Partai Bharatiya Janata (BJP) tersebut menggambarkan keinginan kuat India untuk membersihkan relik-relik kolonialisme. India bertekad beranjak dari pemerintahan imperial yang berlangsung selama dua abad dengan menciptakan sejarah baru. Sejalan dengan itu, bagi sebagian rakyat India, kematian sang ratu memunculkan kembali bayangan masa-masa yang penuh darah di bawah pemerintahan kolonial Inggris. India dan Pakistan memang telah menderita bencana kelaparan, eksploitasi ekonomi, serta banyak pertumpahan darah selama berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris.

Keberlangsungan Sistem Monarki Inggris Semakin Minim Dukungan

Saat wafatnya Pangeran Philip, suami Ratu Elizabeth II pada 9 April 2021, banyak orang bersimpati kepada keluarga kerajaan yang berduka. Namun, sesungguhnya tidak semua rakyat Inggris mendukung monarki Inggris sebagai sebuah institusi. Mereka menghargai tradisi dan simbol keluarga kerajaan, tetapi sebagian besar warga Inggris lebih memilih dilakukannya reformasi konstitusional dengan seorang kepala negara yang dipilih. 

Dikutip dari Detiknews (14/4/2021), jajak pendapat yang dilakukan oleh YouGov Februari 2021 mencatat, satu dari empat orang warga Inggris mengatakan bahwa mereka lebih suka memilih kepala negara terpilih. Masa depan keluarga kerajaan memang telah menjadi bahan perdebatan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini karena monarki sangat identik dengan penggambaran sebuah kolonialisme. Sementara, sistem monarki konstitusional secara teoritis menetapkan Raja atau Ratu menjadi penentu kebijakan, padahal sejatinya ia hanyalah seorang pemimpin tanpa kekuasaan. Ia hanya simbol kedaulatan saja. 

Di sisi lain, biaya yang harus dikeluarkan untuk keluarga kerajaan sangatlah mahal. Pada 2020 misalnya, biaya keluarga kerajaan yang dibayar pembayar pajak Inggris mencapai 69,4 juta Pound (Rp1,4 triliun). Uang ini disebut Sovereign Grant. Ia digunakan untuk mendanai pekerjaan Ratu dan keluarganya, perjalanan-perjalanan resmi kerajaan dan pemeliharaan istana kerajaan, termasuk renovasi terbaru Istana Buckingham dan renovasi di Frogmore Cottage. 

Pajak juga digunakan untuk mendukung para bangsawan -yang dengan gelar mereka- bisa mendapatkan pekerjaan tertentu. Mereka juga mendapat tunjangan, sejumlah perlindungan dan lain-lain, tetapi secara fakta kontribusi mereka minim untuk negara. Belum lagi terkait fakta kelam dan kejam penguasaan monarki atas negara-negara di bawah kekuasaan mereka. Inilah beberapa penyebab semakin minimnya dukungan terhadap keberlangsungan sistem monarki konstitusional.

Monarki Berbeda dengan Kekhilafahan Islam

Banyak kalangan berpendapat bahwa sistem Kekhilafahan Islam sama dengan sistem Monarki (kerajaan). Mereka mengambil contoh saat Muawiyah bin Abi Sufyan wafat, yang jadi khalifah berikutnya adalah Yazid bin Muawiyah, putra Muawiyah. Di masa berikutnya, Yazid mempunyai anak bernama Muawiyah juga, yang kemudian naik menjadi Khalifah menggantikan ayahnya. Begitu seterusnya sampai khalifah terakhir dari Bani Utsmaniyah di Turki. 

Mereka juga mengatakan bahwa yang tidak mirip kerajaan hanyalah kekhilafahan di masa para shahabat, yaitu Khilafah Rasyidah. Para Khalifah di kurun ini adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dengan masa pemerintahan 2 tahun, Umar bin Al-Khattab ra. 10 tahun, Utsman bin Al-Affan ra. 12 tahun dan Ali bin Abi Thalib ra. 5 tahun. 

Masing-masing diangkat menjadi khalifah bukan karena mereka anak khalifah, bukan pula dengan ketentuan putera mahkota, tetapi semata-mata dipilih oleh umat Islam melalui pemilihan para calon khalifah. Ketika Abu Bakar wafat, anaknya tidak otomatis jadi khalifah. Begitu juga ketika Umar, Ustman, dan Ali wafat, anak-anak mereka tidak otomatis menjadi khalifah berikutnya.

Sebenarnya, jika mendalami sejarah terkait pergantian kepemimpinan dalam sistem Kekhilafahan Islam, baik di masa Khilafah Rasyidah ataupun sesudahnya, teknis pemilihannya memang tidak baku. Bisa melalui pemilihan langsung oleh umat, bisa melalui pemilihan lewat Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi, bisa juga dengan teknis yang lain. Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi adalah sekelompok orang yang berwenang memutuskan dan menentukan keputusan (dalam pemilihan khalifah).

Namun, dalam pemilihan dan pengangkatan khalifah, ada hal yang memang baku. Hal yang baku tersebut adalah pembaiatan khalifah. Pengangkatan yang dilanjutkan dengan pembaiatan seseorang menjadi khalifah oleh umat Islam selalu ada dan tidak pernah ditinggalkan oleh umat Islam, baik pada masa Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, ataupun pada masa para khalifah sesudahnya. Pembaiatan ini sudah baku sehingga bisa disebut sebagai satu-satunya metode pengangkatan Khalifah (tharîqah li nashb al-khalîfah).

Terkait dengan istikhlâf atau wilâyah al-‘ahdi (penunjukkan khalifah sebelumnya, atau disebut juga sistem putra mahkota), tidak sah menjadi metode pengangkatan Khalifah. Sebabnya karena kekuasaan adalah milik umat Islam, bukan milik khalifah sebelumnya. Adapun penunjukan pengganti khalifah (istikhlâf) yang dilakukan Khalifah Abu Bakar terhadap Umar, sifatnya hanya pencalonan (tarsyîh). 

Sedangkan yang diberlakukan bukan akad pengangkatan Umar sebagai khalifah. Umar menjadi khalifah bukan karena penunjukan oleh Abu Bakar, melainkan karena baiat yang diberikan umat Islam setelah Khalifah Abu Bakar wafat (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 86-87). Penting dipahami bahwa, teknis yang berbeda-beda dalam pemilihan khalifah itu sah dalam Islam berdasarkan Ijma Sahabat. Ijma Sahabat adalah sumber hukum syariat Islam yang ketiga sesudah al-Qur’an dan as-Sunnah.

Terkait masalah kolonialisme terhadap negara-negara yang dikuasai, sesungguhnya dalam penerapan sistem Islam tidak dikenal sama sekali. Tidak seperti monarki Inggris dengan negara-negara dalam kekuasaannya (persemakmuran), Kekhilafahan Islam menyejahterakan dan melindungi seluruh penduduk di dalam wilayah Daulah Islam. Kewajiban khalifah adalah menjadi raa’in (pelayan) dan junnah (penjaga) rakyatnya. 

Khalifah harus hadir sebagai pelayan, penanggung jawab, dan pelindung warga negaranya.  Khalifah akan berada di baris terdepan untuk melindungi rakyatnya dari setiap ancaman dari dalam ataupun luar negeri. Contoh sejarah yang tidak bisa terbantahkan adalah saat Sultan (Khalifah) Abdul Hamid II menjawab permintaan Theodor Herzl  agar Sultan mengalihkan pemerintahan kepada orang-orang Yahudi. 

Mendengar perkataan Herzl tersebut, Sultan menolak dengan tegas. Beliau berkata, “Saya tidak akan menjual apa pun bahkan satu inci pun dari wilayah Palestina karena wilayah ini bukan milik saya, melainkan milik semua rakyat. Rakyat saya memenangkan tanah ini dengan darah mereka.” 

Tinta emas sejarah telah mencatat kegemilangan Kekhilafahan Islam melalui gambaran betapa baiknya pengurusan yang dilakukan oleh para khalifah terhadap warga negaranya. Berbeda dengan sistem monarki yang menyengsarakan rakyat di bawah kekuasaannya. Karenanya, umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya harus dibebaskan dari narasi dan pendapat buruk tentang sistem pemerintahan Islam (Kekhilafahan Islam). Perlu upaya yang luar biasa untuk mencerdaskan umat agar terbuka mata hati dan pikirannya terhadap kebenaran dari Islam ini. []

Oleh: Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :