IJM: Naiknya Sosok Islamofobia Menjadi Presiden Lantaran Sistem Demokrasi - Tinta Media

Rabu, 14 September 2022

IJM: Naiknya Sosok Islamofobia Menjadi Presiden Lantaran Sistem Demokrasi

Tinta Media - Saat mayoritas masyarakat berpendapat bahwa terpilihnya sosok islamofobia menjadi presiden karena banyaknya kaum muslimin yang tidak memilih orang yang peduli Islam sebagai pemimpin mereka, Abu Muhammad Asyam Fathul ‘Ulum dari Indonesia Justice Monitor (IJM) justru berpendapat berbeda.

”Persoalan naiknya sosok Islamophobia menjadi presiden bukan karena persoalan pilihan suara. Namun yang menjadi sebab musababnya karena diterapkannya sistem demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang diadopsi dari tsaqofah barat sekuler yang memberikan peluang pintu masuk sosok Islamofobia menguasai muslim di Indonesia,” tuturnya pada Tinta Media, Senin (12/9/2022).
 
Menurutnya,  lpersoalan itu harus didudukkan secara proporsional, melalui perspektif syariah. “Jadi sebetulnya, opini yang harus dilakukan untuk menghadapi gelombang dahsyat kemungkinan peluang sosok Islam phobia, menjadi pemimpin kaum muslimin di Indonesia, adalah dengan menyerang  sistem demokrasi yang destruktif dan jahat sebagai biang keroknya,” tandasnya.
 
Yang paling fundamental untuk dilakukan, tambahnya, memperkuat opini melalui edukasi politik kepada umat Islam Indonesia bahwa sistem demokrasilah penyebab kesengsaraan politik yang melanda kaum Muslimin saat ini. “Dalam konteks aqidah maupun syariah  Islam sistem demokrasi inilah yang wajib kita buang,” tukasnya.
 
Ia lalu menyontohkan kenapa Megawati sebagai seorang perempuan bisa menjadi presiden, sementara kepala negara perempuan haram hukumnya dalam Islam, tidak lain karena diterapkannya sistem demokrasi dalam tatanan bernegara.
 
“Sisi lain, presiden adalah simbol kepala negara yang diusung negara dengan sistem demokrasi, maka sudah pasti presiden hasil pilihan demokrasi, didesain tidak  untuk menerapkan hukum-hukum Allah Swt. yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad Saw.,” yakinnya.
 
Tidak Memberikan Sumbangsih
 
Jadi dalam konteks kerangka pandang syariah, kata Abu Muhammad, meskipun nantinya  ada seorang muslim menjadi presiden tentu tidak akan memberikan sumbangsih bagi diterapkannya hukum-hukum Allah Swt. secara totalitas.
“Perhatikan sosok presiden Indonesia, mulai Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, sampai Jokowi saat ini, adakah diantara mereka yang sangat konsen dalam menerapkan hukum-hukum Allah swt secara totalitas? Kalaupun ada itupun sifatnya sangat parsial tidak totalitas,” bebernya memberikan contoh.

Menurutnya, logika demokrasi terletak pada suara mayoritas, siapa yang berhasil mengumpulkan suara mayoritas akan memegang kendali politik.  
 
“Tapi fakta-fakta politik yang ada menunjukkan  pernyataan ini tidak sepenuhnya benar malah keliru. Ada fakta politik dimana sebuah partai telah berhasil menang dalam pemilu dan menguasai suara mayoritas pada akhirnya dikudeta dengan segala macam cara  agar tidak memegang kekuasaan,” bebernya.
 
Umat muslim, sebutnya, seringkali mengalami hal ini. Contoh kasus, pada masa Presiden Soekarno ketika Dewan Konstituante dikuasai oleh mayoritas kaum muslimin  yang direpresantikan partai Masyumi hendak menerapkan syariat Islam secara totalitas, Presiden Soekarno  berkonspirasi dengan TNI AD mengeluarkan Dekrit 5 Juli untuk membubarkan Dewan Konstituante. “Adnan Buyung Nasution, pengacara senior Indonesia, pernah menulis  bahwa Dekrit 5 Juli sejatinya merupakan buah kebijakan yang tidak demokratis,” imbuhnya.
 
Contoh lain,  imbuhnya, kemenangan partai Islam di Al Jazair, atau Ikhawnul Muslimin di Mesir pada akhirnya di kudeta oleh militer atas pesanan barat karena dicurigai akan menerapkan Islam secara totalitas dan merugikan kepentingan barat.  
 
“Jadi sesungguhnya, kemenangan dalam sistem demokrasi tidak selamanya ditentukan oleh suara mayoritas tetapi sangat ditentukan oleh siapa yang paling berkepentingan,” simpulnya.
 
Di Indonesia pun demikian, lanjutnya.  Naiknya sosok Islamophobia tergantung dari kepentingan para kapitalis barat tak terkecuali Amerika.  ”Kalau dalam kacamata barat, Amerika, naiknya seseorang yang menang dalam pemilu sebagai presiden dapat membahayakan fasilitas-fasilitas, perusahaan-perusahaan besar, dan modal milik kapitalis barat maka tentu saja yang bersangkutan akan dijegal untuk menjadi Presiden Indonesia,” jelasnya.  
 
Abu Muhammad menegaskan, untuk membendung komplotan pengusung sosok islamophobia, menguasai kaum muslimin Indonesia, yang paling tepat adalah membuang jauh-jauh sistem demokrasi dan menegakkan kembali sistem pemerintahan Islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya, yaitu Daulah Khilafah Islam.
 
“Daulah Khilafah ala minhaj nubuwwah, akan menutup pintu serapat-rapatnya bagi orang-orang kafir untuk menjadi pemimpin kaum muslimin. Sudah sangat jelas dalam nash Al-Qur’an bahwa haram hukumnya orang kafir menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Penerapan dalil ini hanya bisa dilakukan lewat ditegakkannya Daulah Khilafah Islam bukan melalui sistem demokrasi yang kufur,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :