Tinta Media - Menanggapi terjadinya tindakan korupsi di negeri ini, Suardi Basri dari el Harokah Research Center (HRC) mengungkap faktor pendorongnya.
"Saya kira, bahwa kita kan sekarang hidup dalam satu keadaan yakni materi sebagai driving motive atas segala sesuatu," tuturnya dalam acara Kabar Petang: Industri Politik Demokrasi, Selasa (20/09/2022), di Kanal Youtube Khilafah News.
Menurutnya, sudah menjadi satu kesimpulan bahwa ternyata untuk menjadi kaya atau bergelimang materi itu tidak saja bisa didapat melalui aktivitas-aktivitas bisnis, bekerja, dan seterusnya.
"Tetapi, kelihatannya dunia politik ini, dia lebih menjanjikan raihan materi yang jauh lebih cepat dan jauh lebih besar segalanya," ujarnya
Ia memandang dalam dunia politik yang dikendalikan oleh materi ini, politik itu kemudian bergerak cepat menjadi satu industri yang melibatkan banyak sekali resourch, baik sumber daya manusia, maupun sumber daya ekonomi.
"Nah maka, kalau tadi disebutkan bahwa kemudian angkanya makin besar itu selaras juga dengan besaran angka yang nanti akan dikorup oleh pejabat-pejabat itu ketika nanti dia menjadi kandidat," terangnya.
Menurutnya, ini menjadi satu kesatuan antara materi kemudian tahta, kekuasaan dan penjara. "Jadi, harta, tahta, dan penjara. Dari harta mendapatkan tahta, tahta kemudian berujung dengan penjara," ungkapnya.
"Dan itu dulu pernah ada video viral bagaimana Zulhas (Zulkifli Hasanudin) menyampaikan bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan rekor Indonesia dalam predikat pejabat yang korup. Tahun itu kita catat sudah lebih dari separoh gubernur," terangnya.
Seperti Roda Berputar
Ia mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) tentang kasus korupsi.
"Kalau katanya Cak Imin kan, ini seperti roda yang berputar saja. Terserah nanti dia berhenti di velg yang mana," kutipnya.
Jadi, lanjutnya, "Saya kira ini memberikan satu konsekwensi yang besar. Nah, problemnya, kenapa kemudian biaya itu menjadi tinggi?" tanyanya retoris.
Suardi kembali menegaskan bahwa politik di negeri ini telah menjadi sebuah industri. Kalau dia menjadi industri politik, maka langkah-langkah yang ditempuh oleh kandidat itu pasti juga melibatkan banyak pihak..
"Salah satu mungkin yang bisa kita lihat sekarang itu adalah massifnya, misalnya lembaga-lembaga survey yang mengangkat beberapa figur-figur tertentu. Sementara pada saat yang sama kita tidak bisa melihat atau lembaga survey itu tidak bisa membuktikan sebenarnya dari mana sumber keuangan mereka sedemikian, sehingga mereka melakukan survey- survey itu," jelasnya.
Itu baru level survey saja, selanya. Makanya tidak heran, sambungnya, kalau dari beberapa nama yang muncul itu, orang kemudian mempertanyakan apa prestasinya.
"Jadi, surveynya tinggi, tetapi prestasinya nol. Bayangkan.., misal ada satu kementrian yang diketahui publik bahwa badan usaha itu banyak yang rugi. Tapi kepopuleran atau keterkenalannya cukup tinggi. Demikian halnya juga, misalnya Gubernur tertentu yang di elektabilitasnya tinggi, sementara misalnya tercatat bahwa desa atau kota yang di bawah naungan dia ternyata banyak yang melorot menjadi kota miskin," paparnya dengan nada heran.
Jadi tidak ada prestasi. Jadi, dari tercemar kemudian menjadi terkenal. Makanya, kemudian publik meragukan survey itu.
Biaya Politik
Suardi melihat sebagian orang berpendapat bahwa di era digital ini, biaya politik akan menjadi lebih murah, menjadi lebih efisien, karena sudah tidak ada baliho, sudah tidak ada yang semodel itu.
"Tetapi ternyata tidak juga. Jadi mengubah citra oleh lembaga pembentuk citra itu juga biayanya ternyata juga tidak sedikit. Jadi, mengubah seseorang yang tercemar menjadi terkenal itu kan sesuatu yang tidak mudah," ujarnya.
Belum lagi, menurutnya, dari sisi pelibatan lembaga-lembaga semacam LSM, ormas, kemudian membutuhkan jaringan media dan seterusnya. Itu kan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan semua unsur-unsur politik itu hanya bisa jalan ketika ketersediaan dana.
"Nah, dana ini siapa yang menyediakan? Bisa dari kandidat itu, atau bisa juga melalui orang-orang yang punya duit. Jadi, saya kira itu yang kemudian menjadi masalah di kita. Ini sifatnya berurat dan berakar di dalam politik kita belakangan ini," pungkasnya.
[] 'Aziimatul Azka