Tinta Media - Setelah tertarik dengan judul, maka perhatian pembaca akan beralih ke paragraf pertama (𝑙𝑒𝑎𝑑/teras). Peran paragraf pertama ini sangat penting, sepenting peran leher dalam anatomi tubuh manusia.
.
Ya, bila diumpamakan sebagai leher, teras berperan untuk menghubungkan kepala (judul) dengan tubuh (paragraf kedua dan seterusnya). Jangan sampai fungsi leher sebagai penopang kepala serta penyampai nutrisi dan pernafasan dari kepala untuk tubuh gagal dilakukan, bila gagal bisa-bisa tewas alias pembaca enggan membaca paragraf berikutnya.
.
Teras banyak ragamnya. Semuanya memiliki fungsi yang sama yakni menarik minat pembaca untuk membaca paragraf berikutnya. Bila menguasai aneka jenis teras, maka selain dapat membuat karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) yang menarik, Anda dapat mengubah karangan khas tersebut menjadi banyak versi.
.
Masing-masing versinya dapat dikirim ke media massa berbeda. Dan tentu saja, sebelum dikirim mesti diubah pula judulnya. Serta sangat mungkin adanya perubahan ---sedikit atau banyak--- pada beberapa paragraf lainnya agar lebih selaras dengan teras.
.
FN 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK), misalnya. Terasnya bisa diubah menjadi beragam jenis. Di antaranya seperti di bawah ini.
.
.
𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, 𝒕𝒆𝒓𝒂𝒔 𝒌𝒐𝒏𝒕𝒓𝒂𝒔. Teras ini memperlihatkan perbedaan yang nyata apabila diperbandingkan. Baik perbandingan saat ini dengan masa lalu; perbandingan warna, rupa, ukuran; perbandingan karakter ataupun kepribadian; dan perbandingan lainnya. Targetnya, begitu membaca paragraf pertama, pembaca langsung mendapatkan berbedaan yang mencolok suatu hal dengan hal lainnya.
.
𝐂𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡:
Sekitar 550 wakil rakyat yang berkumpul dalam Sidang Konstituante (1956-1959) terbelah menjadi dua blok besar yakni Islam (230 kursi, 44,8 persen) dan Pancasila (274 kursi, 53,3 persen). Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan parpol kubu Islam lainnya berargumentasi dasar negara yang paling tepat untuk negeri mayoritas Muslim ini adalah Islam. Sedangkan Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan parpol kubu Pancasila lainnya bersikukuh dasar negara haruslah Pancasila.
.
.
𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, 𝒕𝒆𝒓𝒂𝒔 𝒂𝒏𝒂𝒍𝒐𝒈𝒊. Teras yang menunjukkan kesamaan sebagian ciri antara dua benda, dua peristiwa, dua watak, dua suasana atau dua hal lainnya yang dapat dipakai untuk dasar perbandingan. Tujuannya, agar pembaca langsung menemukan persamaan antara dua hal yang diperbandingkan.
.
𝐂𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡:
Sebagaimana para 𝑓𝑜𝑢𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑓𝑎𝑡ℎ𝑒𝑟 (bapak pendiri bangsa) dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/PPKI, 1945), para wakil rakyat dalam Sidang Konstituante (1946-1949) pun terbelah menjadi dua kubu: kubu yang ingin Islam sebagai dasar negara versus kubu yang ingin Islam bukan sebagai dasar negara. Dalam kedua peristiwa bersejarah tersebut peran Soekarno juga sama: mengkhianati kesepakatan Piagam Jakarta 1945 dan membubarkan sepihak Sidang Konstituante sembilan bulan lebih awal dari jadwal yang disepakati.
.
.
𝑲𝒆𝒕𝒊𝒈𝒂, 𝒕𝒆𝒓𝒂𝒔 𝒆𝒌𝒔𝒑𝒓𝒆𝒔𝒊. Sesuai namanya, teras ini tentu saja menunjukkan ekspresi tokoh atau tokoh-tokoh yang diceritakan. Cirinya, gambaran dari ekspresi ---kegembiraan, kesedihan, kemenangan, kekalahan, kemarahan, kesabaran, keterkejutan, atau ekspresi lainnya--- yang lebih mendominasi paragraf pertama. Tujuannya, supaya pembaca langsung mengetahui perasaan dari tokoh atau tokoh-tokoh yang diceritakan.
.
𝐂𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡:
Tidak hanya pihak pendukung Pancasila, para pendukung negara Islam pun sama-sama terkejut ketika Buya Hamka dari Partai Masyumi dengan lantang dan blak-blakan mengingatkan para peserta Sidang Konstituante (1956-1959) akan bahayanya Pancasila sebagai dasar negara. “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka …," tegas tokoh Muhammadiyah tersebut sebagaimana diceritakan KH Irfan Hamka, putra Buya Hamka yang ketujuh, dalam bukunya yang berjudul 𝐾𝑖𝑠𝑎ℎ-𝐾𝑖𝑠𝑎ℎ 𝐴𝑏𝑎𝑑𝑖 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑎𝑚𝑎 𝐴𝑦𝑎ℎ𝑘𝑢 𝐻𝑎𝑚𝑘𝑎.
.
.
𝑲𝒆𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕, 𝒕𝒆𝒓𝒂𝒔 𝒑𝒂𝒓𝒐𝒅𝒊. Teras parodi itu teras yang dengan sengaja menirukan kata-kata dari peribahasa, lagu, film atau apa pun yang sudah ada bahkan popular dengan maksud mencari efek menggelikan atau cemoohan. Namun sejatinya, bukan benar-benar mencemooh melainkan salah satu cara mengkritik agar tumbuh kesadaran untuk berubah ke arah yang lebih baik. Targetnya, pembaca langsung menangkap pesan bahwa ada masalah serius yang semestinya tidak terjadi dan jangan sampai terulang kembali.
.
𝐂𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡:
Keledai saja tidak jatuh ke lubang yang sama sampai dua kali. Namun ironisnya, para pendiri bangsa (𝑓𝑜𝑢𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑓𝑎𝑡ℎ𝑒𝑟) yang menginginkan Islam sebagai dasar negara bisa berkali-kali dikhianati oleh orang yang sama, orang yang menghalalkan segala cara agar Islam tidak jadi dasar negara.
.
.
𝑲𝒆𝒍𝒊𝒎𝒂, 𝒕𝒆𝒓𝒂𝒔 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒈𝒖𝒈𝒂𝒕. Fungsi dari teras ini untuk menggugat atau menyanggah pernyataan, kebijakan, dan lainnya. Cirinya, tentu saja berisi argumen yang mendukung sanggahan tersebut. Tujuannya, agar pembaca langsung sepakat dengan gugatan penulis. Atau, paling tidak, pembaca mengetahui ternyata pernyataan, kebijakan, dan semisalnya itu ada yang mempermasalahkannya.
.
𝐂𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡:
Kalau benar-benar Pancasila merupakan kesepakatan para pendiri bangsa (𝑓𝑜𝑢𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑓𝑎𝑡ℎ𝑒𝑟) tentu saja tidak akan ada penghapusan sepihak tujuh kata (Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalam Piagam Jakarta 1945; tidak akan ada penagihan janji agar diadakan pemilu; tidak akan ada polarisasi kubu Islam versus kubu Pancasila dalam Sidang Konstituante (1956-1959); dan tidak akan ada pula pembubaran sepihak sidang yang merumuskan dasar negara (Islam atau Pancasila) sembilan bulan lebih awal dari jadwal yang disepakati.
.
.
𝑲𝒆𝒆𝒏𝒂𝒎, 𝒕𝒆𝒓𝒂𝒔 𝒕𝒆𝒐𝒓𝒆𝒕𝒊𝒔. Teras ini berdasarkan teori alias berisi pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Tujuannya, agar pembaca langsung mengiyakan pendapat penulis sejak paragraf pertama bila memang di benaknya terdapat data yang sama. Bila belum memiliki data yang sama, diharapkan pembaca jadi penasaran ingin mengetahui datanya mengapa penulis sampai berkesimpulan demikian.
.
𝐂𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡:
Pernyataan beberapa pejabat yang menyebut Pancasila merupakan kesepakatan para pendiri bangsa (𝑓𝑜𝑢𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑓𝑎𝑡ℎ𝑒𝑟) belum tentu benar, bila dikaji ulang sejarahnya justru hasilnya dapat menunjukkan kebalikannya. Penghapusan sepihak tujuh kata (Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalam Piagam Jakarta 1945; penagihan janji agar diadakan pemilu; polarisasi kubu Islam versus kubu Pancasila dalam Sidang Konstituante (1956-1959); dan pembubaran sepihak sidang yang merumuskan dasar negara (Islam atau Pancasila) sembilan bulan lebih awal dari jadwal yang disepakati, malah lebih menunjukkan bahwa kesepakatan itu tidak pernah ada.
.
.
𝐓𝐞𝐫𝐚𝐬 𝐋𝐚𝐢𝐧𝐧𝐲𝐚
Selain keenam teras di atas, masih banyak teras lainnya. Di antaranya adalah: teras ringkasan; teras bercerita; teras deskriptif; teras pertanyaan; teras menuding; teras kutipan; dan teras gabungan dari beberapa teras yang ada.
.
Penjelasan terkait macam-macam teras tersebut berikut contohnya, bisa dibaca pada 𝑇𝑖𝑝𝑠 𝑇𝑎𝑘𝑡𝑖𝑠 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑙𝑖𝑠 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑆𝑎𝑛𝑔 𝐽𝑢𝑟𝑛𝑎𝑙𝑖𝑠 𝐽𝑖𝑙𝑖𝑑 𝐼𝑉: 𝐾𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎 𝑆𝑒𝑙𝑒𝑘𝑡𝑎 𝐾𝑒𝑗𝑢𝑟𝑛𝑎𝑙𝑖𝑠𝑡𝑖𝑘𝑎𝑛, bab 𝐴𝑔𝑎𝑟 𝑇𝑎𝑘 𝑇𝑒𝑟𝑗𝑒𝑏𝑎𝑘 𝑆𝑖𝑛𝑑𝑟𝑜𝑚 '𝑃𝑎𝑑𝑎 𝐻𝑎𝑟𝑖 𝑀𝑖𝑛𝑔𝑔𝑢' (𝑀𝑎𝑐𝑎𝑚-𝑀𝑎𝑐𝑎𝑚 𝑇𝑒𝑟𝑎𝑠 𝐵𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎) atau klik https://bit.ly/35jdsL3.
.
Nah, bagi Anda yang belum pernah membuat FN, kini sudah terbayang 𝑘𝑎𝑛 bagaimana cara memulai membuat paragraf pertamanya? Tentukan salah satu teras yang menurut Anda lebih mudah dipraktikkan.
.
Sedangkan bagi Anda yang pernah membuat FN, coba sekarang lihatlah kembali naskah yang pernah Anda buat, sudah terbayang 𝑘𝑎𝑛 kalau terasnya diubah ke beragam teras lainnya yang tidak kalah berkualitas?
.
Bagi kita semua, jangan lupa baca bismillah sebelum memulainya ya, agar bernilai ibadah. Selamat mempraktikkan, semoga Allah mudahkan dan berkahi. 𝐴𝑎𝑚𝑖𝑖𝑛.[]
.
Depok, 27 Safar 1444 H | 24 September 2022 M
.
Joko Prasetyo
Jurnalis