Tinta Media - Selain mengajarkan rezeki itu sudah Allah SWT tentukan jumlahnya bagi setiap makhluk tanpa ada satu makhluk pun yang dapat menambah dan menguranginya, Islam juga mengajarkan melakukan koreksi terhadap penguasa yang berlaku zalim.
.
Liberalisasi BBM dari hulu hingga hilir (menyerahkan pengelolaannya kepada swasta bahkan kafir penjajah) merupakan kezaliman. Penaikkan harga BBM sebagai konsekuensi dari liberalisasi BBM juga kezaliman.
.
Karena Islam menyatakan BBM itu sebagai 𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ (kepemilikan umum) yang wajib dikelola negara. Rakyat membayar BBM hanya sekadar untuk mengganti biaya produksi (negara sama sekali tidak ambil untung, apalagi berdusta bilang menyubsidi karena harga jualnya lebih murah daripada harga internasional). Bila kebutuhan rakyat akan BBM tercukupi maka kelebihannya akan diekspor dengan harga internasional, keuntungannya dikembalikan kepada rakyat (salah satunya) dalam bentuk fasilitas pendidikan dan kesehatan gratis.
.
Andai, BBM dalam negeri kurang, maka akan impor. Bila menjual ke rakyat dengan harga impor dapat menyengsarakan rakyat, maka negara akan menyubsidinya sehingga rakyat dapat mengakses BBM dengan murah dan tercegahlah inflasi. Subsidi bisa diambil dari keuntungan pengelolaan 𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ lainnya, misalnya dari batu bara dan kelapa sawit.
.
Saat ini memang batu bara dan minyak sawit sangat untung besar, sayangnya sudah diswastakan oleh sistem kufur dan rezim zalim di negeri mayoritas Muslim ini, sehingga keuntungannya lari kepada oknum pejabat, oligarki, dan negara kafir penjajah.
.
Jadi, selain meyakini rezeki itu dari Allah SWT, orang Islam yang bertakwa juga akan melakukan koreksi terhadap penguasa zalim, atau paling tidak, merasa tidak rela, merasa benci dengan kezaliman tersebut. Merasa senang dan mendukung kaum Muslim lainnya yang melakukan 𝑚𝑢ℎ𝑎𝑠𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑙𝑖𝑙 ℎ𝑢𝑘𝑘𝑎𝑚.
.
Bila, merasa yakin rezeki dari Allah SWT, tetapi diam atas kezaliman, lebih parahnya lagi mengajak umat diam atas kezaliman tersebut, berarti orang tersebut terkategori salah satu dari tiga kemungkinan di bawah ini:
.
𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, tidak beres akidahnya, karena dirinya tidak meyakini adanya kewajiban 𝑚𝑢ℎ𝑎𝑠𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑙𝑖𝑙 ℎ𝑢𝑘𝑘𝑎𝑚 (mengoreksi penguasa). Tingkat terparahnya orang tersebut bisa dikategorikan sesat.
.
𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, tidak beres sikap dan perbuatannya, karena alih-alih melakukan 𝑚𝑢ℎ𝑎𝑠𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑙𝑖𝑙 ℎ𝑢𝑘𝑘𝑎𝑚 eh malah mengajak umat diam. Tentu itu merupakan pelanggaran terhadap syariat Islam tentang kewajiban 𝑚𝑢ℎ𝑎𝑠𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑙𝑖𝑙 ℎ𝑢𝑘𝑘𝑎𝑚 dan dalam waktu bersamaan orang tersebut berperan sebagai setan. Setan adalah makhluk durhaka yang mengajak maksiat kepada Allah SWT.
.
Dikatakan durhaka karena tidak mau melaksanakan kewajiban 𝑚𝑢ℎ𝑎𝑠𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑙𝑖𝑙 ℎ𝑢𝑘𝑘𝑎𝑚 padahal tahu itu wajib hukumnya. Dikatakan mengajak maksiat karena menyuruh umat diam atas kewajiban mengoreksi penguasa. Memang begitulah tugas setan: menyesatkan manusia dari jalan Islam.
.
𝑲𝒆𝒕𝒊𝒈𝒂, tidak menganggap liberalisasi migas sebagai maksiat dan kezaliman. Jadi, meski meyakini 𝑚𝑢ℎ𝑎𝑠𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑙𝑖𝑙 ℎ𝑢𝑘𝑘𝑎𝑚 adalah kewajiban, sikap dan perbuatannya pun akan menentang kezaliman dan mendukung pihak yang melakukan 𝑚𝑢ℎ𝑎𝑠𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑙𝑖𝑙 ℎ𝑢𝑘𝑘𝑎𝑚 tapi tidak mengetahui bahwa liberalisasi migas merupakan bentuk kezaliman karena mengira Islam tidak mengajarkan masalah ini. Sehingga, mengira mengurus BBM hanyalah urusan dunia semata (terserah kebijakan penguasa saja yang dianggap ahli mengurusnya, tanpa terkait halal-haram) maka akan diam saja ketika BBM diliberalisasi dan ketika pemerintah menaikkan BBM akibat liberalisasi BBM pun menganggap itu hal yang lumrah (bukan kemaksiatan).
.
Umat Islam saat ini bukan saja sedang dijajah kafir penjajah dan dizalimi rezim zalim, tetapi juga dikacaubalaukan pemahamannya oleh tiga golongan di atas. Bahkan sangat mungkin ketiga golongan di atas sengaja dipelihara kafir penjajah dan rezim zalim, agar kaum Muslim saling bertikai sesama Muslim, alih-alih kompak berjuang melawan kafir penjajah dan mengganti sistem kufur menjadi sistem Islam. 𝑊𝑎𝑙𝑙𝑎ℎ𝑢 𝑎'𝑙𝑎𝑚 𝑏𝑖𝑠ℎ-𝑠ℎ𝑎𝑤𝑎𝑏.[]
.
Depok 8 Safar 1444 H | 5 September 2022 M
.
.
Joko Prasetyo
Jurnalis