Bjorka, Pahlawan Digital Rakyat Indonesia? - Tinta Media

Kamis, 22 September 2022

Bjorka, Pahlawan Digital Rakyat Indonesia?

Tinta Media - Aksi heroik tokoh kartun Vir dan Shiva membuat berandai-andai munculnya pahlawan di dunia nyata. Merindu seorang pahlawan ternyata berat. Mungkin karena sosok yang benar-benar terdepan membela kepentingan rakyat sudah langka. 

Saat ini, masyarakat dihadapkan dengan berbagai kebijakan pemerintah yang mengimpit. Tatkala muncul ‘pahlawan’ yang mengungkap hak, justru sering dibungkam kemudian menghilang. Kemunculan Bjorka pun akhirnya dielu-elukan sebagian masyarakat sebagai pahlawan digital yang akan membongkar kezaliman. 

Bjorka si Penjual Es?

Muhammad Agung Hidayatullah (MAH), pemuda asal Desa Banjarsari Kulon, Kecamatan Dagangan, Madiun viral setelah menjadi tersangka kasus Bjorka, Rabu (14/9/2022). Nettizen pun ramai berkomentar. Hacker Bjorka sempat mengaku berbasis di Warsawa, Polandia, tetapi yang ditangkap malah penjual es dari Madiun. Sebelumnya, ada Muhammad Said Fikriansyah yang dituding sebagai hacker Bjorka. Namun, pemuda berusia 17 tahun asal Cirebon tersebut membantah keras. 

MAH kemudian meminta maaf kepada publik, tetapi bukan karena dia seorang Bjorka. Akun telegramnya telah dijual kepada admin Bjorka seminggu sebelum penangkapan. Ia pun meminta maaf karena memberi sarana kepada Bjorka dengan menjual akun telegramnya. MAH menambahkan, pihak Polsek Dagangan memberinya ponsel baru karena ponsel lama disita sebagai barang bukti (detik.com, 17/9/2022). 

Pemberitaan kasus Bjorka tiba-tiba menjadi dramatis dan massif. MAH sendiri tidak ditahan, tetapi masih wajib lapor karena statusnya sebagai tersangka. 

Kasus tersebut booming, menenggelamkan kasus Ferdy Sambo. Tak berlebihan jika sebagian masyarakat menganggap munculnya Bjorka untuk menutupi isu viral. Sudah menjadi narasi umum bahwa untuk menutupi kasus besar, dibutuhkan kasus tandingan yang sama besar, hingga kasus tersebut tertutupi. Entah kebetulan atau tidak, Bjorka muncul saat kasus Sambo panas-panasnya.

Sebaliknya, ada yang menganggap Bjorka sebagai pahlawan. Hal ini pun beralasan, mengingat Bjorka meretas dan memublikasikan data pribadi sejumlah pejabat negara, mulai dari Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G. Plate, Menteri Marves Luhut Binsar Panjaitan, Ketua DPR RI Puan Maharani, hingga Presiden Jokowi. 

Berbagai kebijakan pemerintah akhir-akhir ini menciptakan kekecewaan publik. Rakyat pun merasa butuh sosok yang mampu membongkar permainan para pejabat elit. 

Bjorka Berbicara  

“Hallo Indonesia. Kami anonymous. Sudah tiba waktunya untuk melindungi rakyat Indonesia, saudara-saudara kita, tanah air kita. Sudah tiba waktunya bagi kita menyuarakan hak, keadilan, kebebasan berbicara. Bjorka bukanlah nama, bukan seseorang. Bjorka adalah nama sebuah gerakan peretasan, atau serangan cyber. Nama bjorka akan mewakili rakyat Indonesia, rakyat-rakyat yang tidak mendapatkan keadilan, serta hak-hak mereka. Jangan panik. Kami memang meretas atau mencuri data pribadi presiden dan rakyat Indonesia, tetapi kami tidak akan menjual data tersebut,” ujar Bjorka dalam sebuah video yang sempat viral di twitter. 

“Bjorka ada karena monster. Bjorka ada karena pancasila. Bjorka meretas karena pancasila tidak dibuktikan. Negara ini sedang di situasi tidak baik, harga bahan bakar yang mulai naik, beberapa kasus yang tidak dapat ditangani oleh hukum negara. Masihkah Anda ingin bersantai dan menonton siaran berita di televisi? Masihkah Anda tidak peduli sama sekali dengan semua ini? Berjuanglah, Bung! Kita bisa pulihkan ini semua. Sampai jumpa. Saya mencintai kalian semua. We are anonymous. We are leagion. We do not forget. We do not forgive. Expect us,” tambahnya. 

Sampai saat ini, motif peretasan Bjorka belum jelas, apakah karena demi eksis atau pengakuan semata? Ataukah karena motif kriminal, ekonomi dan politik? Posisinya juga belum jelas, apakah berpihak kepada rakyat ataukah kepada penguasa. Andai benar menyuarakan hak-hak rakyat, kenapa tak membongkar data terkait kenaikan harga minyak goreng, BBM, LPG serta kebijakan konversi kompor gas ke listrik? Informasi tentang isu-isu tersebut sangat dibutuhkan masyarakat saat ini.

Jika benar ingin melindungi rakyat Indonesia, tidak seharusnya Bjorka meretas data pribadi masyarakat. Sebelumnya, Bjorka mengaku meretas 150 juta data penduduk Indonesia serta 1,3 miliar data pengguna SIM card. Meski dalam pengakuannya tidak menjual data tersebut, akan tetapi upaya peretasan tidak dibenarkan dalam hukum positif maupun hukum agama. Dalam Islam, meretas data seseorang terkategori perbuatan tajassus (memata-matai). Hal tersebut haram dilakukan kepada umat Islam. Sementara, penduduk Indonesia mayoritas muslim.   

Nettizen heboh saat Bjorka mengungkap kasus Munir. Ia menyatakan bahwa purnawirawan sekaligus mantan Danjen Kopassus, Mayor Jenderal Muchdi Purwopranjono merupakan dalang di balik pembunuhan Munir. Kasus pelanggaran HAM Munir memang perlu diungkap, tetapi kasus yang sedang panas adalah kasus Sambo dan KM50. Sayangnya, kedua kasus tersebut tidak diungkap. Data pribadi pejabat negara yang diretas pun bersifat umum, tidak sampai pada hal-hal privasi yang mengancam martabat ataupun jabatan. 

Kuatkan Sistem Pengamanan Data

Terlepas dari motif Bjorka, kasus peretasan data di Indonesia sudah kerap terjadi. Kondisi ini setidaknya menunjukan lemahnya sistem pengamanan data di negeri ini. Seharusnya, hal ini menjadi bahan evaluasi pemerintah, perlu upaya sungguh-sungguh dalam penguatan sistem pengamanan data. Jika tidak ada upaya perbaikan, maka jangan berharap masyarakat akan percaya kepada pemerintah. Apalagi, pemilu 2024 sudah dekat. Ketidakpercayaan publik akan data pemerintah bisa memancing konflik vertikal maupun horizontal. Hal ini tentu berbahaya.

Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, tidak ada data rahasia milik pemerintah yang diungkap Bjorka. Ia menambahkan, Bjorka tidak punya keahlian untuk membobol data. Meski demikian, pemerintah tetap wajib melindungi data pribadi masyarakat. Andai data tersebut dianggap tidak penting bagi pemerintah, tetapi sangat penting bagi rakyat, mengingat data-data tersebut bisa disalahgunakan oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Apalagi, jika data itu berhasil dikloning (copy-paste) kemudian berpindah tangan. Tentu potensi penyalahgunaan data tersebut lebih besar lagi.

Terasa janggal jika pemerintah meminta masyarakat melindungi data pribadi, sementara pengurusan administrasi pada dinas kependudukan, imigrasi, kepolisian, dan institusi lainnya  harus menyerahkan data. Tentu pihak yang tepat dan lebih berwenang adalah pemerintah. Pemerintah memiliki sumber daya, baik anggaran maupun tenaga ahli yang bisa digunakan untuk meningkatkan sistem pengamanan data. Platform digital yang dipakai lembaga pemerintah harus aman hingga tak ada hacker yang mengganggu ketenangan hati rakyat. Wallahu ‘alam bish shawab.

Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos.
Pemerhati Sosial dan Politik
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :